Nama Nadiem Makarim CEO Go-Jek
yang merupakan Unicorn terkemuka
dari keempat Unicorn yang kini sudah ada di Indonesia mencuat setelah debat ke dua
Capres 01 Joko Widodo dan Capres 02 Prabowo Subianto tanggal 17 Februari
2019 yang lalu
Ketika itu Capres 01.Joko Widodo menanyakan apa rencana
Capres Prabowo dalam mengembangkan Unicorn bila terpilih. Tapi Capres 02
terlihat sedikit bingung dengan istilah itu, sehingga merasa perlu minta
penjelasan lebigh dahulu sebelum mengomentari.
Insiden kecil itu kemudian merebak
menjadi perbinangan di mana-mana, baik mengenai pengertian unicorn itu sendiri
maupun tentang empat perusahaan yang sudah tergolong unicorn di Indonesia itu.
Unicorn sebagaimana banyak dipublikasikan adalah
perusahaan rintisan yang telah memiliki valuasi lebih dari US $ 1 milyard atau
Rp 14 , triliyun. Sedang keempat perusahaan yang sudah masuk peringkat unicorn
itu masing-masing Gojek, Buka Lapak, Traveloka dan Tokopedia.
Bagi penulis tak mengherankan kalau anak
muda usia 35 tahun kelahiran Singapura
itu begitu briliant kalau mengenal siapa kedua orangtuanya bahkan
kakek neneknya. Mereka adalah memang figur-figur yang bukan saja cerdas tetapi
juga aktif dan kreatif. Ibarat kata peribahasa : “Buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya”.
Ada media sosial yang menyayangkan
publikasi tentang keluarga pengusaha muda
ini sangat kurang sehingga mereka kurang dikenal. Karena itu disini akan
saya bagikan beberapa kenangan di sekitar oangtua CEO Go-Jek ini.
Kebetulan sekali saya sebagai wartawan
pernah hampir sepuluh tahun (1966 – 1974) bekerja bersama dibawah pimpinan Bpk. Nono Anwar Makarim sebagai Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Harian KAMI.
Ketika saya bergabung dalam Harian Kami tahun
1966, Nono Makarim yang keturunan Minang-Arab ini masih berstatus sebagai mahasiswa Hukum di Universitas Indonesia. Namun seperti juga
banyak mahasiswa rekannya, jarang kuliah karena mereka lebih banyak aktif dalam gerakan
mahasiswa ekstra univesiter. Mereka sibuk di organisasi seperti Ikatan Mahasiswa Jakarta (IMADA) dan Ikatan
Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang kemudian menerbitkan Harian Kami. Disamping
itu IPMI juga menyelenggarakan kursus jurnalistik bagi para anak muda yang
ingin menjadi wartawan.
Bersama dengan gerakan-gerakan mahasiwa
dari perguruan tinggi lainnya, oganisasi-organisasi mahasiwa ini semuanya ikut
bergabung dalam gerakan Kesatuan AKSI Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gerakan ini
menjadi salah satu kekuatan yang ikut mendorong jatuhnya kekuasaan pemerintahan
Orde Lama ketika itu.
Bagi yang selalu membaca Induk Karangan
Harian Kami dahulu, maka itu hampir seluruhnya merupakan pemikiran dari seorang Nono Anwar Makarm. Dan dari situ dapat kita
tahu pandangannya mengenai berbagai hal seperti politik, hukum, pertahanan-keamanan
dan sebagainya.
Namun dibalik keseriusannya, bukan
berarti Pak Nono Makarim yang hanya beda
usia enam tahun dengan saya, kurang humoris. Salah satu ceriteranya adalah sbb :
“Dalam suatu acara pesta, panitia
menampilkan sejumlah artis penyanyi dan penari. Sedangkan diantara
undangan hadir para tokoh-tokoh pemerintahan
dan juga tokoh agama. Pada acara hiburan tampilah para artis bergantian menghibur
undangan. Tiba-tiba muncullah seorang penyanyi setengah telanjang melenggok-lenggok di panggung. Salah seorang
tokoh agama berseru: ” Astagfirulah......!!”. Tetapi ketika penyanyi itu
berkeliling lalu duduk di pangkuannya, tokoh agama itu kembali berteriak :
“Alhamdulilah....”.
Ketika saya baru belajar menjadi
wartawan, suatu hari Pak Nono Makarim keluar dari ruangannya sambil tertawa
besar. “Yang begini-begini yang kita suka”, katanya. Ia membaca naskah berita
saya tentang seorang suami yang mengadukan isterinya ke pengadilan karena telah
memencet “barangnya”. Hal yang sama juga terjadi ketika membaca beritaku
tentang seorang direktur perusahaan diadukan ke pengadilan hanya karena masalah
bumbu masak. Mungkin itulah mulanya maka saya ditarik dan dinaikkan jabatannya
dari korektor di Percetakan menjadi Staf Redaksi dan layak menjadi reporter
dengan mendapatkan Kartu Pers..
Pada ketika yang lain, Nono tiba-tiba memanggil saya masuk ke
ruangannya. Disitu banyak teman-temannya kebanyakan mahasiwa puteri. “Ratna, Ini dia orangnya !”., katanjya. Saya
bingung ada apa. Untunglah Nono segera mengatakan duduk perkaranya. “Katanya
kau selalu berpakaian steady”.
“Haaaa ? Saya biasa-biasa saja
begini..”, kataku tertawa sambil mohon diri keluar. Malu lama-lama bersama cewek cantik-cantik itu. Ada-ada saja. Rupanya
diam-diam mereka memperhatikan penampilan kami para partawan.
 |
Rapat terakhir Redaksi Harian Kami setelah dibreidel |
Bukan sekali dua pak Nono Makarim memanggil
saya. Pernah, ketika sedang membaca artikel saya, Nono memanggil sekedar untuk
memberi tambahan informasi. Saya mengutip ucapan mendiang Presiden AS, John F. Kennedy, “Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do
for your country”, seperti yang saya kutip daii buku “ A thousand Days in White House”
Menurut Nono ucapan itu awalnya
bukan dari Presiden Kennedy, tetapi dari presiden pendahulunya. Kalau tidak
salah Nono menyebutkan George Washington atau Presiden Rosevelt. Kata-kata
pertama, bukan “Don’t ask..”, tetapi “Ask not..”. Memang dari segi tata bahasa
kurang tepat, tetapi begitulah aslinya,
kata Nno menambahkan.
Pada keaempatan lain, Nono meminta saya
menemui Jendral Hoegeng Imam Santoso,
Panglima Angkatan Kepolisian ketka itu di rumahnya di Jl. Tambak. Ini
menyangkut tulisan Pak Hugeng berjudul “Godverdomme”
(artinya kira-kira : brengseki lu ) yang akan dimuat di Harian Kami.
Pangak Hoegeng yang kemudian berganti
jabatan menjadi Kapolri, ketika itu sedang bersitegang dengan Presiden Suharto
berkenaan dengan penyelunupan mobil mewah oleh Roby Cahyadi. Hoegeng mau
bertindak tegas. Tetapi ketika ia dipanggil Presiden ke Istana Cendana, malah tersangka
penyelundup itu sudah di sana bersama Presiden.,
Hoegeng memutuskan untuk mundur. Tapi
untuk tidak membuat heboh, ia ditawarkan menjadi Dubes di Belgia. Hoegeng
menolak dengan alasan lebih suka tetap di Indonesia bersama teman-temannya di
Radio Elshinta. Acara “The Hawaian Seniors” di TVRI ketika itu memang sedang
top-topnya. Acara di televisi itu kemudian juga hilang. Lebih-lebih setelah
Hoegeng bergabung dalam Petisi 50 membuat hubungan Hoegeng dan penguasa ketika
itu tambah renggang.
Sekali8 waktu, saya seperti menyesal tidak dapat memenuhi tantangan Nono.
Ketika itu sedang marak pamflet “Sudah Kutemukan”, tertempel di mana-mana di Jakarta. Tidak
jelas siapa penyebarnya sehingga terkesan misterius. Nono minta saya
menyelidikinya sebagai wartawan bidang Kepolisian. Tetapi sebelum kutemukan
sumbernya, Nono sudah memberitahu lebih dahulu. Itu adalah perbuatan para
missionaris dari Amerika, katanya.
Ketegasannya dalam menyatakan yang benar
itu benar dan yang salah itu salah, terlihat ketika Pemimpin Umum Harian Kami
Bpk A.I. ditangkap polisi karena terlibat kasus penyelundupan. Dalam Induk
Karangan Harian Kami yang ditulisnya, Nono Makarim menekankan politik
redaksiaonal Harian Kami yang akan tetap teguh membela kebenaran dan keadilan.
Kepada Kepolisian dipersilahkan memproses “rekan kami” secara hukum kalau
memang bersalah. Induk Karangan ini
kemudian mendapat apresiasi dari banyak pihak termasuk dari. mereka yang
berseberangan.
Dalam masalah tanggung jawab, terlihat
dari apa yang saya alami sendiri. Suatu hari saya menurunkan berita mengenai peristiwa
perampokan yang melibatkan oknum-oknum TNI. Paginya satu jip tentara menjemput
saya di kantor dan membawa saya ke kantor mereka di Gambir. Disana saya
mengalami penganiayaan sehingga koran kami memuat berita protes keras.
Akibatnya saya kembali diundang ke Dinas Penerangan Kodam untuk menjernihkan
perkara itu. Tetapi dalam kasus ini Nono
melarang saya pegi. Kata Nono, sebagai Penanggung Jawab, sayalah yang harus
pergi. Namun saya diminta tetap ikut mendampingi. Pihak Pendam mengakui
terjadinya pemukulan itu dan para oknum pelakunya sudah disel. Mereka minta maaf,
dan meminta agar perkara itu dianggap selesai.
Setelah koran kami, Harian Kami dibreidel, tahuhn 1974, masih-masing
kami memilih jalannya masing-masing. Sebagian besar tetap bertahan menunggu, barangkali
pihak penguasa bisa berbaik hati mengijinkan kembali koran kami terbit. Suatu
harapan yang tak pernah terkabul. Sebagian lagi beralih kerja di tempat lain. Sebagian
lainnya memilih menggunakan waktu kosong itu
berangkat ke luar negeri melanjutkan study ke tingkat doktoral.. Seperti Salim Said, Burhan Magenda, Erman
Rajagukguk dan lain-lainnya. Nono ternyata ke Harvard University, perguruan
tinggi terkenal paling top di AS. Saya sendiri memilih ke Majalah Tempo
meskipun hanya sebentar. Tidak jelas, apakah ramai-ramainya para cendekiawan
muda itu hengkang belajar ke luar negeri sebagai suatu bagian dari upaya penguasa ketika itu mengurangi tekanan
kaum oposisi.
Balik ke Tanah Air, Nono rupanya mau
mengikuti jejak ayahnya Anwar Makarim, pendiri Kantor Notaris terkenal pada
jamannya di jalan Veteran di sebelah
barat Mesjid Istiqlal. Tapi lebih dari sebagai Notaris, sesaat ia bergabung
dengan Adnan Buyuhng Nasution Assosiate dan kemudian bersama Frank Tairas
mendirikan Kantor Konsultan Hukum sendiri. Namun Nono nampaknya tidak begitu
sejahtera dengan profesi hitung bayar jam-jaman itu. Ia mundur dan ikut
mengembangkan Yayasan Bina Aksara, tempat di mana orang-orang cerdas berkumpul, membaca,
berpikir . berdiskusi dan berbati pengalama Tapi itupun tidak lama.. Memang,
Nono yang seorang idealis ,
Maka kalau sekarang ia tepilih jadi anggota Team Komite Etik KPK adalah
suatu pilihan tepat. Selain
orangnya cerdas, jujur, ahli hukum dan
juga tegas.
Kesan dengan Ibu Atika Algadri ibunda Nadiem Makarim ?
Suatu kali saya diundang ke pesta pernikahan
teman seorang guru di Cawang. Selesai acara kami duduk-duduk santai di rumah
pengantin sambil main gaple dan minum minuman ringan. Sewaktu pulang, kepala
saya pusing dan tak dapat tidur semalaman. Karena badan terasa panas, saya menggelar tikar dan
tidur di lantai. Hari itu aku menyampaikan pesan ke kantor tak bisa masuk
karena sakit.
Pagi-pagi, ibu Atika datang melongok
melalui jendela kamar yang memang selalu kubiarkan terbuka. “Habis tidur di
bawah sih. Jadinya masuk angin !”. , katanya. Ia menyuruh saya naik ke tempat
tidur. Kebetulan ketika itu pasangan
pengantin baru ini tinggal untuk sementara waktu di paviliun kiri gedung kantor kami sedangkan
saya terlebih dulu sudah menempati
sebuah kamar kosong di samping kanan kantor.
Belakangan seprang teman yang ikut
dalam pesta itu memberi tahu, seseorang telah membubuhkan abu rokok ke gelas
saya ketika kami tengah asyik main gaple. Oh, baru tahu, rupanya saya bukan masuk
angin tetapi keracunan nikotin, pikirku. Tapi sudahlah, semuanya sudah terjadi.
Berikutnya, suatu hari Nono meminta saya
mendampingi isterinya yang masih pengantin baru itu yang mau ikut meliput
persidangan-persidangan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan
Gajah Mada. Ketika itu saya juga merangkap sebagai wartawan bidang hukum
disamping bidang Pertahanan Keamanan. Saya tidak tahu apakah Tika memang ingin
menjadi wartawan atau hanya untuk mencari bahan guna melengkapi skripsinya.
Yang membuat saya kerepotan adalah setiap
kali mau menyeberang di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang demikian ramai
lalulintasnya. Biasanya kalau menyeberang, setiap perempuan yang saya kenal
saya gandeng untuk melindunginya. Tetapi dengan Ibu Atika ini saya agak segan.
Saya sungkan menggandeng tangan isteri boss ini. Saya hanya bisa mengajak ikut
bersama menyeberang ketika lalulintas agak lengang. Sambil menengok kekanan dan
menyetop semua kendaraan kami menyeberang. Tetapi ketika sampai di seberang si Tika . ternyata masih tetap berdiri di
seberang. Kemudian ia menyeberang sendiri.. Wah bagimana kalau terjadi apa-apa
dengan isteri boss ini, kataku dalam hati agak cemas.
Tidak cukup sampai disini saja. Melihat ke
atas, ternyata ayah Ibu Atika Bpk Hamid Algadri adalah seorang tokoh nasional, yang
cukup banyak berjasa bagi negara. Pak
Nono Makarim pernah memperkenalkan sekilas tokoh perintis kemerdekaan ini
ketiksa datang ke Redaksi Harian Kami. Tetapi karena beliau terus sibuk berbincang dengan tamu-tamu lain tidak
sempat diwawancarai.
Ternyata
beliau banyak terlibat dalam berbagai perudingan menghadapi delegasi Belanda seperti Perjanjian Renvile, Konferensi Meja Bundar di Belanda.
Dia ikut berusaha mencegah pembentukan
Negara Pasundan tetapi gagal. Sebagai Ketua Fraksi Partai Sosial Indonesia
(PSI) dalam Konstituante tahun 1955 di Bandung, ia ikut menolak Indonesia
menjadi sebuah negara Islam.
Karena
pergerakanna selama masa perjuangan kemerdekaan, ia sempat ditahan Belanda di
Penjara Wirogunan. ***.