Showing posts with label DPRD. Show all posts
Showing posts with label DPRD. Show all posts

Friday, December 18, 2020

Yang gini ini baru wakil rakyat !


Rupa-rupanya Grace Natalie kembali untuk kesekian kalinya melaksanakan peringatannya – kehadiran PSI (Partai Solidaritas Indonesia) di DPR / DPRD bakal mengganggu kenyamanan para anggota parlemen itu yang selama ini enak-enak menikmati berbagai fasiltas negara sementara masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.

Diawali dengan protes pemberian PIN  tanda anggota dari emas senilai Rp 1.300.000.000,00 saat pelantikan dahulu serta berbagai kasus penggelembungan anggaran lainnya, barusan DPRD DKI ribut lagi ketika fraksi PSI protes penetapan kenaikan gaji anggota Dewan yang luar biasa besarnya. Menjadi Rp 8,3 milyar per anggota / tahun di tengah kondisi pandemi covid-19 dan banyak rakyat menderita. Mereka minta supaya Gubernur Anies Baswedan berani menolak RAPBD yang bermasalah itu. Dan rupanya – pada akhirnya usulan kenaikan gaji itu dibatalkan – membuat banyak anggota Dewan ketar-ketir terhadap PSI.

Agaknya Grace Natalie dan kawan-kawan tak berhenti disitu saja. Bahkan ia membuat dan menyebarkan video yang menyatakan seluruh anggota DPRD dari PSI akan menyerahkan gaji mereka guna keperluan menanggulangi berbagai masalah akibat pandemi covid-19. Untuk pembelian APD (alat pelindung diri) para tenaga medis, bantuan sembako untuk masyarakat miskin dan lain-lainnya.

Langkah ini pasti tak hanya mengganggu para legislator di DPRD-DKI tetapi juga semua DPRD di seluruh Indonesia di mana hadir fraksi PSI. Mudah-mudahan ini bukan hanya gerakan di awal-awal guna mencari dan menambah pendukung dan anggota tetapi untuk seterusnya. Jangan sampai ketika memegang kekuasaan seperti jadi Walikota, Bupati, Gubernur jadi berubah. Jadi koruptor seperti yang terjadi di partai-partai pendahulunya. Semoga ! ***

 

 

Thursday, August 22, 2019

Ha…, PSI Mulai “Mengganggu”….!


Delapan anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak pembagian pin emas yang harus disematkan pada waktu pelantikan nanti. Hal ini terungkap dari gerutu Wakil Ketua DPRD Mohamad Taufik dari Partai Gerindra yang menyesalkannya karena itu sudah diprogramkan dan dianggarkan dalam ABPD. Katanya, PSI hanya mau mencari sensasi sebagai partai baru.
Kedelapan anggota DPRD yang menolak tersebut menganggap penggunaan pin mas yang menghabiskan anggaran  Rp 1,3 milyar itu hanya merupakan penghamburan dan pemborosan uang rakyat. Penghormatan terhadap anggota Dewan bukan pada pin yang mereka pakai tetapi pada pengabdian mereka pada masyarakat.  Mereka minta supaya pin itu diganti saja dengan bahan yang lebih murah, misalnya dari kuningan.
Rupa-rupanya para wakil rakyat dari PSI di Provinsi DKI Jakarta ini mulai melaksanakan “ancaman”  Grace Natalie Ketua Umum PSI dalam kampanye dahulu, bahwa kehadiran mereka di Parlemen nanti akan mengganggu kenyamanan bagi para anggota Dewan. Maksudnya,  akan menjadi penghalang  dan pengeritik terhadap mereka yang selama ini terbiasa dengan perilaku   kurang terpuji di lingkungan lembaga perwakilan rakyat itu seperti pemborosan anggaran, kemalasan mengikuti sidang dan lain-lainnya.  Sayangnya, pada Pemilu pertamanya ini, PSI belum berhasil meloloskan wakilnya di DPR Senayan. Namun demikian, kehadiran mereka di DPRD di Ibukota Negara Jakarta ini gaung sepak-terjang mereka bisa berdampak positif ke seluruh negeri.
Mudah-mudahan tidak hanya sampai di masalah pin ini. Masih kita nantikan bagaimana sikap mereka nanti dalam proses pembahasan RAPBD, kebiasaan sejumlah anggota Dewan ataupun pejabat eksekutif yang doyan study banding ke luar negeri, kunjungan kerja dan program lainnya yang memakan anggaran besar. ***

Thursday, November 13, 2014

Tolak Kubu-kubuan di Daerah !

Lihat saja, begitu KMP DKI dibentuk, perpecahan di DPRD DKI kian memanas. Masalah yang dipertentangkan sekitar pengangkatan Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur definitif.

Kalau yang menentang semula hanya Haji Lulung dari PPP dan M. Taufik dari Gerindra, kemudian ditambah FPI dengan demonstrasinya yang anarkis itu, kini ditambah lagi oleh Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS yang tergabung dalam KMP.

Mereka menentang dengan alasan dan kepentingan yang berbeda-beda, tetapi dengan dalih “konstitusional” melalui penafsiran yang aneh dari Perpu No.1 Tahun 2014.

Asal mula persengketaan Haji Lulung dengan Ahok, adalah ketika Ahok bersama Jokowi menertibkan parkir liar dan para pedagang kakilima di Tanah Abang yang sering membuat kemacetan di sana.

Dengan M. Taufik, sejak Ahok menyatakan ketidaksetujuannya dengan KMP termasuk Partai Gerindra yang mendukung Undang-Undang Pilkada tidak langsung. Karena tantangan M. Taufik yang meminta Ahok mundur dari Gerindra, maka Ahok benar-benar langsung mengajukan surat pengunduran diri. Hal ini sebetulnya sangat disesali para pimpinan pusat Partai Gerindra.

Dikhawatirkan, dengan pembentukan kubu-kubu KMP daerah, maka KIH pun terpaksa akan berbuat yang sama untuk mengimbangi kehadiran KMP daerah itu. Ini berarti perpecahan akan tersebar di seluruh Indonesia bagaikan kanker ganas, secara terstruktur, sistematik dan masif.

Lalu dapatlah diperkirakan apa yang akan terjadi dengan kinerja DPRD-DPRD. Baik di intern mereka maupun dengan Eksekutif daerah. Karena mereka lebih dekat dengan para konstituen di daerah, maka bisa jadi, rakyat akan ikut terlibat dalam pertentangan itu sehingga dapat membahayakan keamanan dan ketertiban.

Oleh karena itu adalah bijak apabila Pemerintah Daerah termasuk DPRD di seluruh Indonesia menolak pembentukan kubu-kubuan di daerah mereka, baik KMP maupun KIH demi persatuan, kekompakan dan keharmonisan hubungan antar institusi negara di Daerah. ***

Monday, September 22, 2014

WASPADAI MAKSUD TERSEMBUNYI DI BALIK RUU PILKADA TIDAK LANGSUNG.



             Disaat-saat terjadinya  perang urat syaraf antara kubu Merah Putih dan kubu Jokowi-JK mengenai berbagai hal, di mana posisi rakyat ?? Misalnya dalam RUU Pilkada, kubu Merah Putih memperjuangkan  agar Pilkada dikembalikan lagi melalui DPRD. Sedangkan kubu Jokowi-JK menganggapnya sebagai langkah mundur dan  ingin tetap mempertahankan sistim pemilihan langsung oleh rakyat.  Kedua pihak  mempunyai alasan masing-masing, tetapi dalam hal tujuan, mereka semua mengklaim untuk kepentingan rakyat.
           Alasan pihak pertama yang sering dikemukakan, adalah untuk menghemat biaya kampanye yang sering mendorong para calon melakukan korupsi, mencegah terulangnya kerusuhan horisontal antar para pendukung peserta pemilu dan lebih sesuai dengan bunyi Sila ke empat Pancasila yang menyebutkan “.. permusyawaratan/perwakilan”.
         Sedangkan pihak kedua  berpendapat, pemilihan secara langsung merupakan pewujudan   hak  asasi  rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Telah terbukti pula  sistim pemilihan langsung telah menghasilkan banyak  pemimpin  baru yang lebih kreatif dan merakyat. Demikian pula dalam konstitusi dan undang-undang tidak ada yang menyebutkan  tugas dan fungsi DPRD untuk memilih Kepala Daerah. Tugas dan fungsinya hanya fungsi  legislasi, penganggaran dan pengawasan.
        Tetapi di luar alasan-alasan di atas, sesungguhnya di balik semua itu ada alasan sesungguhnya yang tersembunyi. Kalau dikemukakan secara terbuka dianggap kurang etis dan akan memukul diri sendiri. Alasan formal di atas dianggap hanya sebagai alasan pembenaran.
        Kubu Jokowi-JK menuduh, usul pihak koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pilkada melalui DPRD adalah dalam rangka menguasai  jabatan-jabatan Kepala Daerah di seluruh Indonesia. Karena dengan komposisi mereka yang menguasai mayoritas di DPRD, mereka dapat  memenangkan calon yang mereka usung.
        Disamping itu Pilkada melalui DPRD  sangat potensial terjadinya transaksi gelap antara oknum-oknum DPRD dengan  para calon yang sulit terkontrol . Demikian pula kedudukan  Kepala Daerah akan  labil karena akan sering diintervensi Dewan bahkan mudah dijatuhkan seperti pada sistim Parlementer.
        Bagaimana posisi pihak-pihak terkait, terutama rakyat, dalam silang pendapat ini ? Menurut polling pendapat  dari  lembaga-lembaga survey seperti  LSI, lebih dari  80 persen dari responden menghendaki  pemilihan langsung.
       Dua asosiasi kepala-kepala daerah di Indonesia dan  sejumlah LSM  juga menyatakan penolakan Pilkada melalui DPRD. Bahkan sejumlah pimpinan daerah seperti  Wakil Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Walikota Bandung Ridwan Kamil  terang-terangan menyatakan  ketidaksetujuan mereka dengan partai pengusung mereka.
      Kalau memang benar, partai adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat, maka seyogyanyalah mereka mengikuti kehendak rakyat seperti yang  tercermin dari hasil pendapat rakyat dari  lembaga-lembaga survey yang sudah teruji  kelayakan mereka.
        Jadi, kalau ada partai seperti Partai Golkar, yang mengklaim suara mereka = suara rakyat  tetapi kebijakan mereka tidak selaras dengan suara rakyat, maka mereka telah menjadikan diri mereka sebagai  pembohong.***

        

Contact Form

Name

Email *

Message *