Disaat-saat terjadinya perang urat syaraf antara kubu Merah Putih dan
kubu Jokowi-JK mengenai berbagai hal, di mana posisi rakyat ?? Misalnya dalam
RUU Pilkada, kubu Merah Putih memperjuangkan
agar Pilkada dikembalikan lagi melalui DPRD. Sedangkan kubu Jokowi-JK menganggapnya
sebagai langkah mundur dan ingin tetap
mempertahankan sistim pemilihan langsung oleh rakyat. Kedua pihak
mempunyai alasan masing-masing, tetapi dalam hal tujuan, mereka semua
mengklaim untuk kepentingan rakyat.
Alasan pihak pertama yang sering
dikemukakan, adalah untuk menghemat biaya kampanye yang sering mendorong para
calon melakukan korupsi, mencegah terulangnya kerusuhan horisontal antar para
pendukung peserta pemilu dan lebih sesuai dengan bunyi Sila ke empat Pancasila
yang menyebutkan “.. permusyawaratan/perwakilan”.
Sedangkan pihak kedua berpendapat, pemilihan secara langsung merupakan
pewujudan hak asasi rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Telah
terbukti pula sistim pemilihan langsung
telah menghasilkan banyak pemimpin baru yang lebih kreatif dan merakyat.
Demikian pula dalam konstitusi dan undang-undang tidak ada yang
menyebutkan tugas dan fungsi DPRD untuk
memilih Kepala Daerah. Tugas dan fungsinya hanya fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan.
Tetapi di luar alasan-alasan di atas,
sesungguhnya di balik semua itu ada alasan sesungguhnya yang tersembunyi. Kalau
dikemukakan secara terbuka dianggap kurang etis dan akan memukul diri sendiri.
Alasan formal di atas dianggap hanya sebagai alasan pembenaran.
Kubu Jokowi-JK menuduh, usul pihak koalisi
Merah Putih untuk mengembalikan pilkada melalui DPRD adalah dalam rangka
menguasai jabatan-jabatan Kepala Daerah
di seluruh Indonesia. Karena dengan komposisi mereka yang menguasai mayoritas
di DPRD, mereka dapat memenangkan calon
yang mereka usung.
Disamping itu Pilkada melalui DPRD sangat potensial terjadinya transaksi gelap antara
oknum-oknum DPRD dengan para calon yang
sulit terkontrol . Demikian pula kedudukan
Kepala Daerah akan labil karena
akan sering diintervensi Dewan bahkan mudah dijatuhkan seperti pada sistim Parlementer.
Bagaimana posisi pihak-pihak terkait,
terutama rakyat, dalam silang pendapat ini ? Menurut polling pendapat dari lembaga-lembaga survey seperti LSI, lebih dari 80 persen dari responden menghendaki pemilihan langsung.
Dua asosiasi kepala-kepala daerah di
Indonesia dan sejumlah LSM juga menyatakan penolakan Pilkada melalui
DPRD. Bahkan sejumlah pimpinan daerah seperti Wakil Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) dan Walikota Bandung Ridwan Kamil terang-terangan menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan partai
pengusung mereka.
Kalau memang benar, partai adalah sebagai
penyalur aspirasi rakyat, maka seyogyanyalah mereka mengikuti kehendak rakyat
seperti yang tercermin dari hasil
pendapat rakyat dari lembaga-lembaga
survey yang sudah teruji kelayakan
mereka.
Jadi, kalau ada partai seperti Partai
Golkar, yang mengklaim suara mereka = suara rakyat tetapi kebijakan mereka tidak selaras dengan
suara rakyat, maka mereka telah menjadikan diri mereka sebagai pembohong.***
No comments:
Post a Comment