Keputusan DPR-RI
tgl. 26 September 2014 yang mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang tidak konstitusional karena bertentangan dengan Konstitusi, yaitu
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945.
Adapun
dasar kesimpulan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pemilihan Kepada Daerah oleh
DPRD merupakan perampasan hak dasar
Rakyat Indonesia yang dinyatakan dalam Konstitusi.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.”
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata
Yunani, yaitu demos yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein
atau cratos yang berarti kekuasaan
atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti
suatu sistem pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat.
Menurut literatur, memang ada
beberapa definisi demokrasi tetapi pengertian yang mendasar, adalah “dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Sehingga pemilihan
secara demokratis haruslah diartikan
pemilihan yang dilakukan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Amanat konstitusi “pemilihan secara
demokratis untuk pemerintah daerah”, adalah identik dengan “pemilihan langsung”
seperti dimaksud pada pasal 6A ayat (1) UUD 1945 untuk pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.Jadi, dalam konteks kasus
di atas, bukan “dari DPRD, oleh DPRD untuk rakyat”.
2. Memilih
Pemerintah Daerah bukan fungsi
DPRD :
Sesuai dengan Pasal 20A UUD-RI
1945, fungsi DPR adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. Tidak ada sama sekali
disebut fungsi memilih Kepala Daerah.
Dalam fungsinya sebagai legislator, memang DPR
mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi adalah tidak etis dan
melanggar asas akuntable, bila DPR membuat undang-undang yang menciptakan
kewenangan yang bukan tugas pokoknya untuk dirinya sendiri dan sekaligus menempatkan
dirinya sendiri sekaligus sebagai pelaksana/eksekutornya.
3. Pemilihan Pemerintah Daerah
oleh DPRD bersifat Parlementer :
Pemilihan Pemerintah Daerah
oleh DPR adalah lebih condong kepada pemerintahan parlementer, yang bertentangan dengan asas
Presidensil.
DPRD akan terlalu banyak
mengintervensi pelaksanaan tugas-tugas Kepala Daerah, bahkan dapat memperhentikannya, karena
sebagai badan yang memilihnya, DPRD
dapat pula memberhentikannya bila kebijakannya tidak sejalan dengan
kehendak DPRD.
Ciri suatu pemerintahan
Parlementer, adalah apabila eksekutif
secara formal ataupun faktual
berada dibawah kendali Legislatif. Sedangkan negara kita menganut faham
kekuasaan berimbang antara eksektif dan legislatif.
4. Mengesankan ketatanegraan yang
kacau.
Pemilihan kepala pemerintahan
di daerah-daerah oleh DPRD, sementara Presiden/Wakil Presiden di pusat dipilih
oleh rakyat mencerminkan sistim ketatanegaraan yang kacau, di Pusat secara langsung, di Daerah-Daerah tidak langsung, di
Desa-desa sistim pemilihan langsung. Hal ini mencerminkan sistim ketatanegaraan
yang kacau.
Oleh karena itu Keputusan DPR ini dapat digugat ke Mahkamah
Konstitusi untuk dinyatakan tidak konstitusional dan menyatakan batal.
Dapat
dibatalkan Presiden.
Kalau benar dan tulus pernyataan SBY dari
Amerika Serikat bahwa ia tidak setuju
dan kecewa atas Keputusan DPR tsb. sebenarnya ia dapat menyatakannya "tidak setuju" secara
tertulis sebagai Presiden dan menolak menandatangani/mengesahkannya.
Sebab untuk berlakunya sebuah
Undang-Undang, menurut Pasal 20 ayat (4) dan (5) UUD 1945,memerlukan
persetujuan DPR dan Presiden. ***
No comments:
Post a Comment