Sungguh, pada masa kampanye pemilihan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tahun 2012, saya termasuk orang yang meragukan kemampuan Ahok bila terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI.
Penampilannya yang baby face, lagi pula kurang terkenal di
tingkat Nasional menambah keraguan itu.
Sebagai bekas warga Jakarta selama sekitar 40 tahun, wartawan hampir 30 tahun dan pegawai Pemda DKI selama 17 tahun, tahu
benar kehidupan di Jakarta itu keras.
Kebiasaan warga kota yang kurang
tertib dan kurang berdisiplin seperti
maraknya bangunan-bangunan liar, kesemrawutan lalulintas, pendudukan jalur hijau, membuang sampah sembarangan yang menyebabkan banyak genangan
air di musim hujan. Semua ini seringkali memerlukan tindakan keras dari Pemerintah
Daerah untuk menertibkannya. Belum lagi tingkat kriminaitas yang tinggi sebagai
akibat tingginya angka pengangguran.
Tidak heran kalau kepemimpinan DKI Jakarta sebelum berlaku sistim pemilihan
langsung, selalu dipercayakan kepada para purnawirawan Jendral. Mulai dari mantan
Panglima KKO Ali Sadikin, mantan Aspri
Presiden Jendral Tjokropranolo, mantan
Pangkostrad Admodarminto kemudian mantan
Pangdam V Jaya Letjen Sutiyoso. Bahkan Foke pun, gubernur
berikutnya yang sipil, masih merasa
perlu didampingi seorang Priyanto, yang purnawirawan
Jendral sebagai wakilnya. Apakah
Jokowi-Ahok yang dua-duanya sipil akan mampu menangani semua tantangan di atas
?
Kalau pada awalnya banyak orang ragu, lain halnya ketika mereka mulai mampu menunjukan kebolehan
mereka. Kesemrawutan sekitar Pasar Tanah
Abang mampu ditertibkan. Waduk Pluit
yang kian hilang diserobot bangunan-bangunan liar dan dipenuhi eceng
gondok mampu disulap menjadi kawasan wisata.
Kemudian mereka mampu menciptakan program kesejahteraan rakyat yang
langsung dinikmati warga Jakarta seperti rumah susun, Kartu Jakarta Sehat,
Kartu Pintar, pelayanan masyarakat yang semakin baik dst. dst.
Khusus dengan Ahok, ia berani
melakukan gebrakan untuk menata kembali birokrasi Pemda DKI. Pejabat yang kinerjanya buruk, dikecamnya
secara langsung dan terbuka. Berapa banyak pejabat yang sudah distafkan bahkan diusulkan untuk
dipecat. Ia menyuruh memasang kamera CCTV yang terus merekam setiap jalannya
rapat dan disiarkan media internet You Tube sehingga siapapun
dapat mengikuti jalannya proses
pengambilan keputusan. Ia menantang pejabat yang merasa dirinya “pintar” untuk berdebat
terbuka. Terkenal ucapannya pada rapat dinas pertamanya : “Bapak hati-hati
kalau bicara, saya ini auditor”.
Ahok juga berani menantang para preman
atau backing-backing para pelanggar Perda, bahkan memerintahkan Satpol PPnya mempersenjatai
diri. Kalau perlu “berperang” di lapangan Monas, sekalipun di depan istana
Presiden”. Ia memang seorang yang tegas,
anti korupsi, punya prinsip, taat pada konstitusi dan pernah berkata ia tidak takut mati kalau untuk menegakan konstitusi.
Nampaknya, ia juga seorang yang religius,
sebab ia pernah berpesan kepada
anak-anaknya, kalau ia sampai menjadi korban dalam melaksanakan tugas,
jangan menyalahkan Tuhan. Ia juga takut melalaikan tugasnya karena ia telah mengucapkan sumpah kepada Tuhan.
Ironis, sekarang ia banyak mengalami penzoliman. Hanya
karena ia tidak setuju dengan sistim Pilkada
untuk kembali melalui DPRD seperti yang dianut partainya, ia
ditekan untuk mengundurkan diri. Bahkan sekarang partainya sedang
menggalang segala upaya mengubah Undang- Undang yang tersirat hanya untuk
menjegal karier politik seorang Ahok.
Sayang, ketika negeri ini membutuhkan
banyak Ahok-Ahok baru, malah Ahok yang sudah ada sekarang yang sudah mulai
dicintai warga Jakarta karena dianggap dapat memberikan harapan baru malah akan
disingkirkan. Setelah Jokowi pergi, kemudian Ahok juga harus pergi, masa depan kota Jakarta
akan kembali tak menentu.***
No comments:
Post a Comment