Insiden
antara oknum-oknum personil TNI dan Polri sudah kerap terjadi. Yang terjadi di
Batam yang menyebabkan
4 prajurit TNI terluka terkena pantulan peluru polisi, hanya kejadian yang kesekian.
Patut diapresiasi langkah cepat dari
para pimpinan pasukan setempat dari kedua belah pihak yang mengadakan
koordinasi dan melakukan pencegahan sehingga tidak terjadi bentrokan yang lebih
masaal yang dapat menyebabkan korban dan
kerugian lebih besar.
Panglima TNI dan Kapolri sudah sepakat
untuk membentuk Tim Investigasi bersama untuk menyelidiki kasus itu disertai
kesepakatan pula bahwa yang bersalah
harus ditidak tegas sesuai hukum yang berlaku dan sebaliknya yang benar harus
dilindungi.
Dalam proses tersebut kedua pihak meminta
agar semua pihak tidak mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang belum tentu benar dan dapat memperkeruh kembali
keadaan. Dalam hubungan ini sangat disesalkan adanya media televisi yang
terus-menerus mendesak para petinggi kedua
institusi untuk menceriterakan kronolis kejadian itu menurut versi
masing-masing.
Yang menjadi pertanyaan, adalah motif
dari beberapa prajurit TNI itu ikut
campur dalam urusan polisi yang sedang
melakukan tugas penggerebekan ke tempat penimbunan BBM bersubsidi di lokasi bentrokan.
Apakah benar mereka hanya “ingin tahu” dalam
kemelut itu atau memang ada kepentingan lebih jauh dari itu ? Orang yang tidak ada urusan banyak bertanya-tanya
kepada orang yang lagi sibuk dan kerepotan menangani urusannya memang
menyebalkan dan mengganggu.
Kalau niat mereka ingin membantu polisi
yang mungkin minim kekuatan saat itu dalam menghadapi massa yang mencoba
menggagalkan penggerebekan, patutlah dihargai. Sebab undang-undang memang telah mengatur bahwa dalam hal polisi
menghadapi hambatan dalam melakukan fungsinya sebagai penanggung jawab keamanan
dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) TNI wajib membantu bila diminta. Tetapi
kalau keterlibatan mereka justru sebaliknya mau ikut menghalangi penggerebekan, maka patut disesalkan dan
polisi memang wajar bila bertindak tegas.
Dari pihak Polri, patut pula
dipertanyakan mengenai prosedur penggunaan senjata dengan peluru tajam. Setahu
saya selama puluhan tahun menjadi wartawan Hukum, Hankam dan Kepolisian sejak
jamannya Jendral M.Jusuf dan Jendral
Polisi Hugeng Imam Santoso, yang saya ingat tembakan peringatan harusnya
ke atas, itupun tiga kali baru boleh melepaskan tembakan terarah.
Ketika suatu hari ada pertengkaran
antara dua bintara dalam markas, atasan mereka melepaskan tembakan peringatan
ke atas. Maka kalau tentara tempur saja harus melepaskan tembakan perigatan ke
atas, maka patut dipertanyakan lagi
Standar Prosedur Operasi (SOP) Polri
sebagai pengayom rakyat dalam penggunaan
senjata sekarang.
Kalau SOP-nya memang harus menembak ke
tanah untuk memberi peringatan, maka sangatlah berbahaya. Menembak di aspal
yang keras di sekeliling orang banyak, secara probabiltas hampir dapat
dipastikan akan jatuh korban dari peluru
yang memantul. Lebih menyedihkan lagi salah satu yang menembak itu seorang
perwira menengah, Ajun Komisaris Polisi. Coba kalau yang terkena wanita hamil
atau anak-anak.
Kita harapkan pemerintahan Jokowi-JK
kedepan dapat menata kembali institusi Kepolisian. Institusi polisi sebagai abdi
masyarakat. DPR harus mendukung dan
tidak menghalangi dalam mereformasi semua peraturan perundangan-undangan yang tidak
lagi pas untuk saat ini. ***
No comments:
Post a Comment