Kebijakan SBY dan praktek pelaksanaannya di lapangan yang sering tidak konsisten bahkan
bertentangan, sering menimbulkan
kebingungan dan kekacauan di kalangan rakyat. Baik sebagai Presiden
maupun sebagai pemimpin partainya,
Partai Demokrat.
Kalau dalam pertempuran seorang panglima bersifat demikian, sungguh
berbahaya. Para Komandan dapat
bermacam-macam pemahaman dan komandonya sehingga para prajurit kebingungan.
Contoh yang masih segar, adalah situasi
dalam sidang DPR yang memutuskan RUU Pilkada Tidak Langsung tanggal 25 –
26 September 2014. Sebagai Presiden ia mengatakan tidak setuju dengan
Pilkada tidak langsung. Tetapi ia tetap membiarkan menterinya, Menteri Dalam Negeri terus membahas RUU Pilkada bermasalah itu di DPR.
Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, semua rakyat bangsa ini,
termasuk yang di manca negara mendengar ucapannya bahwa Partai Demokrat
memilih Pilkada langsung oleh rakyat.
Bahkan sudah menginstruksikan secara terbuka agar Fraksi Partai Demokrat memperjuangkannya.
Tetapi apa yang terjadi di DPR,
malah yang sebaliknya. Fraksi Partai
Demokrat justru 148 anggotanya meninggalkan sidang, dengan demikian memberi peluang kepada kubu yang menghendaki Pilkada tidak langsung
memenangkan voting.
Ada rumor, pesan Ketua Umum Partai
Demokrat dari belahan barat bumi itu yang minta agar Fraksinya
berjuang memenangkan opsinya “all
out”, terjadi salah dengar menjadi “walk
out”. Akibatnya terjadilah kebingungan dan kekacauan peserta sidang Feraksi Demokrat. Jubir Partai, Sekjen Partai, Ketua DPP maupun para
anggota.
Pada akhirnya kesalahan ditimpakan kepada Ketua Fraksi, yang seorang ibu rumah tangga untuk memikul semua tanggung jawab atas
blunder itu seorang diri.
Sangat disesalkan, pada saat-saat yang penting untuk penentuan masa
depan negeri ini, Presiden lebih memilih berkeliling ke negeri orang, entah untuk apa. Akhirnya
negeri ini kacau. Padahal, sejak
Konperensi Bali, SBY diwacanakan bakal diusung menjadi calon Sekjen PBB. Kalau
sudah begini, apa kata dunia ?? ***
No comments:
Post a Comment