Bersamaan dengan berakhirnya
perang, penyebaran agama Kristen oleh para penginjil khususnya dari Zending
Belanda mulai giat dilaksanakan. Dua ahli peneliti Belanda yang telah menjadi
pendeta, Dr. Albert C Kruyit dan Dr. N. Adriani kembali lagi meneruskan
penelitiannya. Mereka sangat menguasai Bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e).
Mereka membuka sekolah-sekolah
Zending dan mulai membangun jemaat-jemaat Gereja Protestan. Alkitab diterjemahkan
ke dalam bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e) lalu dibagi-bagikan kepada setiap
jemaat. Perjanjian Lama bahasa Mori
yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi, sampul tebal dan ukuran
kwarto diberi judul “Toetoeloedo Mia nse’elu” (Riwayat Orang-orang Jaman
Dahulu), dan Perjanjian Baru dengan judul “Dandi Wo’ohu”(Janji Baru).
Di seluruh tanah Mori,
termasuk Mori Selatan, semuanya sudah berdiri jemaat-jemaat Kristen dan Sekolah
Zending Tiga Tahun, tetapi.di antara Suku Bahono belum dibuka satu sekolahpun
dan jemaat Kristen akibat pengaruh Ue Lagasi.
Ia tidak mengijinkan rakyatnya
mengikuti agama yang dibawa orang-orang Belanda karena khawatir ditipu. Ia
selalu mengatakan, siapa-siapa yang bersekolah atau masuk gereja nanti akan
dibunuh Belanda atau dibawa ke negerinya.
Ia tidak pernah lupa peristiwa
beberapa tahun sebelumnya ketika ia dan pengiringnya ditembaki di Benteng Lasi oleh tentara Belanda yang
katanya mau datang dengan maksud damai. Saudara iparnya hampir terkena peluru. Sejak
itu ia tidak percaya lagi bahkan benci kepada orang-orang Belanda !
Tetapi pandangan Ue Lagasi
ini kemudian berubah ketika mencoba mencari penyebab gagalnya panen rakyatnya
pada tiga tahun terakhir. Sedangkan hasil kebun padi suku-suku sekitar yang
telah mengikuti agama Kristen selalu bagus. Ada kemungkinan, kata Ue Lagasi,
seperti pernah diucapkan Ue Wainugi, isterinya kepada penulis,”Ue Lahumoa,
dewa matahari, sudah tidak memperdulikan mereka lagi”.
Lalu kedua suami isteri tu
menyuruh dua orang anak muda yang tinggal bersama mereka, yaitu Mabeangi Dempe
dan Podusu pergi membeli padi sambil mengamati cara hidup orang-orang gereja
suku Ulu “uwoi di kampung Dolupo. Ketika kedua orang suruhan itu kembali,
mereka membawa padi yang memang terbukti benar bagus, bulir-bulirnya berisi dan
berat diangkat.
Setelah bermusyawarah dengan
tua-tua kampung lainnya, diambillah keputusan bahwa “mulai sekarang kita akan
mulai mominggu (ke gereja)”.
Dan pada suatu hari, Pendeta Dr. Albert Kruyt dan Dr.
N.Adriani yang tengah dalam perjalanan ke Kawata, singgah bermalam di Goda
(Persenggrahan/Rumah Singgah) Ulu’anso. Ue Lagasi datang menemui mereka dan
berkata dalam bahasa Bahono :”Pandita, kami mingki mpominggu ma mpesikolah”,
artinya, “kami ingin masuk gereja dan bersekolah”. Jawab Pendeta, “Humbee,
aku lumako paresae ari sikolah ma raha mpominggua (gereja) i Kawata. Pekule
kupo maku amba montena guru ma pandita inso i Pendolo iwa i ndi’ai”,
artinya, “ Ya, saya setuju, saya akan pergi memeriksa dulu sekolah dan gereja
di Kawata. Sekembali saya, saya akan mengutus guru dan pendeta dari Pendolo ke
sini”
Ue Lagasi dengan isterinya
Ue Wainugi menyuruh anak mereka yang paling tua, Simpugi (Malau), pergi
memberitakan kepada seluruh warga suku Bahono yang sehari-harinya berdiam di
rumah kebun-kebun mereka. Supaya menyadari bahwa sekarang sudah tiba waktunya
semua warga Bahono masuk Gereja dan bersekolah. Boleh dikata, putra pertama
beliau inilah yang menjadi pengabar injil pertama dari kalangan suku Bahono.
Tanggal 3 Maret 1922
mulailah dibuka gereja dan Zending School 3 Tahun di Ulu’anso untuk penduduk
Ulu’anso dan Kumpi. Khusus untuk orang-orang dewasa diadakan kursus PBH
(Peberantasan Buta Huruf).
Orang Bahono merasa bahagia.
Tiap tahun, baik di Ulu’anso maupun Kumpi, hari itu selalu diperingati dengan
melakukan kebaktian syukur di gereja. Tahun 1926 seluruh orang tua-tua dewasa
dan anak-anak mengikuti baptisan air massal pertama di Ulu’anso. Dengan
demikian berakhirlah pemujaan kepada dewa
Lahumoa matahari. Tetapi kepercayaan atas hukum karma, bahwa yang berbuat
kejahatan akan mendapat ganjaran yang berat dari Yang maha Kuasa tetap
diyakini.
Ayah, ibu
dan paman Malau (Simpugi) Lagasi serta kawan-kawannya mengikuti sekolah malam.
Mereka diajar guru Wendur menulis di atas daun pisang muda dengan menggunakan
lidi.
Pada hari Minggu mulai
diajarkan dasar-dasar agama Kristen. Antara lain bahwa Tuhan Allah bekerja
selama enam hari dan hari ketujuh, yaitu hari Minggu Dia berhenti. Hari ketujuh
adalah “ileo mempori” (hari suci). Karana itu hari Minggu adalah hari bergereja.
Tidak boleh bekerja dan harus beribadah kepada Tuhan Allah.
Guru-guru yang berjasa
merintis pendidikan bagi masyarakat Bahono, adalah :
1920-108 : Wendur, asal Manado, merangkap Guru Jemaat.
Tahun 1926 ia mengadakan baptisan massal yang dilayani Pendeta K. Riedel,
misionaris dari NZG (Nederlandsche Zending Genootschap).
1926-1931 : Musa Larope, asal Lembobelala.
1931-1935 : Garanti Lagarense, asal Lembobelala
1935-1941 : Laemadi
Lengkono, asal Lembo Manente,
1941 : Dansenga, asal Tinompo. Hanya tiga bulan
diganti.
1941-1943: Lamale Kurami Tumakaka, asal Tinompo.
1943-1944 : Herling Rabeta, asal Tomata,
1944-1945 : Naigame Peuru, asal Pandiri/Pe’onea,
1945-1947 : Masimuda Porotu’o, asal Korowalelo;
1947- pensiun : Legalia Mandake, asal Wawopada.
Tahun 1950 L. Mandake
memindahkan sekolah ke Kumpi karena sering diganggu gerombolan TII/DI dari
Nuha/Malili. Ketika orang Bahono mulai mengungsi ke Beteleme tahun 1953 ia
pindah lagi ke Undoro. Dan ketika orang Ulu’anso memangun kampung baru di Mora,
SR-GKST 3 Tahun Ulu’anso diaktifkan lagi. Ditingkatkan menjadi SR-6 Tahun
Ulu’anso dan tetap dipimpin Guru L.Mandake sampai pensiun. Ia selanjutnya
digantikan Samuel (Sudaeli) Lapoliwa sebagai Kepala Sekolah.
Keluarga-keluarga suku
Ture’a/Bahono yang masih tinggal di Lintumewure sering juga dikunjungi dan
diajak mominggu oleh Guru Wendur yang merangkap sebagai Guru Jemaat. Kemudian
dilanjutkan penggantinya Musa Larope dan Garanti Lagarense. Demikian pula
ketika keluarga-keluarga itu pindah ke Pangempa. Tetapi ketika Garanti
Lagarense digantikan Laemadi Lengkono tahun 1935, kunjungan pelayanan itu tidak
dapat dilakukan lagi. Mulai saat itulah keluarga-keluarga Ture’a di Pangempa
yang semula sudah mendengar Injil tak terlayani lagi sehingga akhirnya mereka beralih
memeluk Islam. ***