Usai penetapan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih
Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin untuk priode 2019-2024 oleh KPU hari ini tanggal
30 Juni 2019, topik bagi-bagi kursi menteri kian gencar diperbincangkan.
Awalnya dimulai ketika Presiden menghadiri ulang
tahun paguyuban Angkatan 1998 yang lalu dan memberi lampu hijau beberapa orang
muda dari angkatan ini pantas menjadi menteri pada pemerintahan yang akan
datang.
Lalu ketika KPU menetapkan Paslon 01 keluar sebagai
pemenang Pilpres dengan keunggulan 55,50 % dari total jumlah surat suara yang
sah, Joko Widodo berkali-kali membuat pernyataan ingin mengajak mantan
pesaingnya ikut bersama-sama membangun
bangsa ini ke depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pernyataan ini oleh banyak kalangan diartikan,
Presiden terpilih itu setelah dilantik Oktober 2019 mendatang, akan memilih
pembantu-pembatu atau menterinya, tidak saja dari kalangan pendukung, dan
kalangan prefesional, tetapi juga dari kalangan pendukung pesaingnya. Katakan
dari Partai Demokrat, PAN bahkan Gerindra.
Banyak yang menduga maksudnya adalah dalam rangka
rekonsiliasi sesudah terjadinya
keretakan hubungan semasa kampanye panas yang lalu. Mengajak yang kalah
untuk bekerjasama daripada nanti akan terus-menerus menjadi “pengganggu” semasa
pemerintahan baru.
Kalau ini yang terjadi, maka secara moral, kurang
etis kedengarannya. Bagi-bagi hadiah kursi untuk rekonsiliasi dan demi mulusnya
jalan pemerintahan. Padahal seorang menteri haruslah seorang kapabel, loyal
pada pimpinan pemerintahan dan mau bekerja keras untuk melaksanakan program
Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden Jokowi tentunya sudah belajar dari
pengalaman masa pemerintahannya yang lalu. Ada beberapa menteri yang diberhentikan
oleh berbagai sebab. Target yang tidak tercapai, kinerja kurang memuaskan, bahkan
ada karena kurang disiplin alias mbalelo.
Perbedaan pendapat dalam sidang kabinet di
ekspose ke luar, ke media masa, sehingga kabinet Presiden mendapat celaan,
tidak kompak. Padahal Presiden sudah berulangkali mengingatkan agar perbedaan
pendapat di sidang kabinet tidak dibawa keluar. Dan apabila Presiden sudah
memutuskan maka semua tinggal melaksanakan.
Tentu kejadian-kejadian di atas menjadi pelajaran
untuk tidak terulang lagi. Jadi dengan alasan rekonsiliasi lantasa dilakukan
bagi-bagi kekuasaan dan mendorong mantan pesaing bergabung dalam koalisi, tetap
saja kurang etis.
Alasan yang mungkin lebih terhormat adalah pada
keselarasan program. Dari sekian banyak program-program yang pernah ditawarkan
pihak Paslon 02 mungkin ada program yang sejalan dengan program Paslon 01
bahkan mungkin akan dapat dipadukan dan saling menguatkan. Seperti untuk menurunkan
harga-harga, mempercepat swasembada pangan, menambah lapangan kerja dan lain-lain.
Bila ada yang sesuai, Presiden Terpilih dapat mengajak untuk dikaji bersama.
Dan bila perlu pelaksanaan dan perwujudannya dapat dipercayakan kepada
penggagasnya sebagai menteri di bawah Presiden. Apa pendapat Anda.***