Intinya, kalau untuk kepentingan
negaraku atau bangsaku, maka kepentingan bangsa lain dapat kuabaikan. Dan
seperti itulah yang dilakukan Trump sekarang !
Kalau untuk kepentingan negaranya
(pikirnya) maka kepentingan negara / bangsa lain boleh diabaikan. Alasannya,
penetapan Yerusalem sebagai Ibukota Israel adalah sesuai dengan keputusan
Kongres (semacam MPRnya AS), dan dia hanya melaksanakan.
Disinilah masalahnya. Trump mau jadi
“pahlawan”. Yang lebih berani dari Presiden-presiden pendahulunya, yang
dianggapnya selalu menunda-nunda pelaksanaannya. Masalahnya, para pendahulunya
bukan tidak berani. Tetapi karena pertimbangan
kepentingan perdamaian dunia. Dan penundaan itu tidak menyalahi undang-undang
sesuai hak sekresi yang diberikan konstitusi kepada Presiden.
Apalagi AS sebagai negara adi kuasa
terkuat masa kini, yang kerap merasa diri sebagai “polisi dunia” seharusnya menjadi pihak terdepan dalam
menjaga ketertiban dunia.
Dalam konteks ini langkah Trump tidak selaras. Khususnya dengan upaya-upaya penuntasan perdamaian di Timur
Tengah. Dengan kebijakannya ini Trump telah memporak-porandakan dan merusak
hasil perdamaian yang dengan susah payah dirintis Presiden Clinton.
Presiden dari Partai Demokrat ini
berhasil mempertemukan Presiden Anwar Sadat dari Mesir dengan Menachem Begin, Perdana Menteri Israel bahkan
kemudian menghasilkan perdamaian damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1978.
Tidak berhenti disitu saja. Clinton
juga berhasil mempertemukan Yaser Arafat, Ketua PLO dengan PM Israel
Yitzhak Rabin. Petemuan itu kemudian menghasilkan Perjanjian damai Oslo
tahun 1993, yang menyepakati : PLO akan meninggalkan perjuangan bersenjata dan
beralih ke perundingan, mengakui eksistensi Israel dan pembentukan pemerintahan
Otoritas Palestina.
Dalam pelaksanaannya ternyata tidak
mudah. Fraksi Hamas dari pihak Palestina tidak menerimanya dan memilih untuk
terus menempuh perjuangan bersenjata. Akibatnya yang terjadi malah konflik
antar sesama fraksi Palestina.
Dibawah Presiden Obama, AS tetap
mengupayakan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak, tetapi belum
berhasil sampai akhir pemerintahannya. Hilary Clinton yang diharapkan dapat
meneruskan kebijakan penengahan itu, ternyata gagal dalam Pilpres AS.
Bukan hanya tanda-tanda membaiknya
hubungan Palestina - Israel saja yang rusak akibat keputusan Trump. Perjanjian
damai Mesir-Israel dan Israel-Yordania juga dapat terganggu. Hal sama juga
terjadi dalam kasus Dataran Tinggi Golan. Antara Suriah dan Lebanon di satu
pihak dan Israel di lain pihak.
Di Zaman Clinton dan Obama,
sebetulnya mulai ada tanda-tanda perbaikan hubungan antara Israel dan Suriah
dibawah Presiden Bashar al Assad dengan adanya perundingan damai tahun 2007. Bentrokan-bentrokan
yang sering terjadi antara militer Israel dengan golongan garis keras di
Palestina dan naiknya lagi pemimpin-pemimpin
garis keras Israel seperti Benyamin Netanyahu , membuat pelaksanaan kesepakatan
damai itu sering terganggu. Ditambah lagi dengan keputusan Trump mengenai
pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel, semuanya menjadi kacau. Kepercayaan
akan peran AS yang selama ini dianggap sebagai mediator yang dapat diandalkan ,
kini pupus.
Dalam perjanjian damai antara antara Israel dan Yordania tahun 1994 telah
disepakati memberikan kewenangan kepada Yordania sebagai penjaga situs-situs suci
keagamaan di Yerusalem. Dan karena sebelumnya sudah ada perjanjian damai antara
Israel dan PLO/Palestina di bawah Yasser Arafat, maka pada tahun 2013 Raja Yordania Abdullah II
dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengadakan kesepakatan bahwa penjagaan kota suci Yerusalem akan
dilakukan bersama Palestina – Yordania.
Ekses lain dari pengakuan Yerusalem
sebagai ibukota Israel oleh AS, dikhawatirkan akan membuat Israel seperti
mendapat angin untuk ke depan melakukan
tindakan-tindakan lebih agresif dalam
menata kota suci itu. Pada gilirannya bukan saja akan makin mengurangi
hak-hak rakyat Palestina, tetapi juga dalam keleluasaan para peziarah penganut
Islam dan Kristen dari berbagai negara ke Yerusalem yang dianggap sebagai kota suci mereka.
Israel mungkin berdalih Yerusalem dan
Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” untuk mereka sebagai keturunan Abraham
seperti yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi jangan lupa. Perjanjian itu
selalu diikuti dengan syarat bahwa “apabila mereka tetap setia “ kepada TUHAN.
Dan apabila mereka tidak setia, mereka akan diserahkan kepada kuasa bangsa-bangsa
lain termasuk tanah-tanah mereka. Peringatan ini selalu diulang-ulang oleh para
Nabi.
Kenyataan, bangsa Israel dan Yahuda menurut
Kitab Suci, memang berulang kali memberontak kepada Tuhan. Dan akibatnya
sejarah mencatat berulang kali pula bangsa ini mengalami penindasan bangsa-bangsa
lain bahkan menjadi tawanan. Di zaman
Perjanjian Lama misalnya oleh bangsa Syria, Aram, Babil. Di zaman modern oleh
bangsa Romawi, lalu Turki dibawah Kemal Ataturk dan bangsa Arab.
Jadi, janji Tuhan itu bukannya tanpa
syarat. Bahkan di Kitab Suci sering disebutkan
bangsa-bangsa lain seringkali dipakai Tuhan menghukum Israel yang “tegar
tengkuk” itu. Bahkan Bait Allah yang dibangun di zaman Salomo (Sulaiman) atas
tuntunan Roh Tuhan sendiri, Tuhan mengizinkannya untuk dihancur-leburkan.
Jadi sah-sah saja, kalau tanah
Palestina pada saat-saat tertentu
berganti penguasa politik. Kalau Tuhan menghendaki atau mengizinkan sesuatu
terjadi, maka tak akan ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalanginya.
Satu lagi yang patut diingat : bahwa
Tuhan selalu menghendaki suatu “perjanjian” dihormati. Ingatkah Perjanjian damai
Israel dengan penduduk Gibeon yang ketakutan saat perebutan tanah Kanaan ?
Tuhan melalui Musa sudah memesankan
untuk tidak mengikat perjanjian dengan penduduk tanah yang akan ditaklukan. Tetapi
nyatanya oleh kecerdikan pihak Gibeon, Israel yang dipimpin Yosua teperdaya dan
mengikat perjanjian damai dengan mereka.
Lalu pada zaman raja Saul, raja mulai
membunuh dan bermaksud membasmi orang-orang Gibeon. Akibatnya Tuhan menghukum
Israel dengan bencana kelaparan tiga tahun berturut-turut. Penyebab tulah itu
diketahui raja Daud yang menggantikan Saul ketika ia menanyakan kepada
kepada Tuhan melalui perantaraan Nabi.
Maka ketika Daud memenuhi permintaan
pemuka-pemuka Gibeon agar Daud
menyerahkan tujuh anak-anak Saul kepada mereka untuk digantung, barulah tulah
itu berhenti. Artinya, Tuhan mau perjanjian damai itu dihormati, sekalipun
perjanjian damai itu sebelumnya di luar kehendakNya.
Mestinya peristiwa ini menjadi
peringatan bagi Israel untuk tetap menghormati perjanjian damai apapun yang
mereka telah buat dengan bangsa-bangsa / negara tetangganya. Fakta
menunjukkan dengan diikatnya perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, bangsa
Israel dapat hidup berdampingan dengan baik dengan warga kedua negara itu.
Tetapi kurang adil rasanya kalau himbauan
hanya ditujukan kepada Israel saja. Pihak Palestina, khususnya Hamas dihimbau
juga kerelaannya untuk dapat mengikuti
jejak PLO mengakui eksitensi Israel. Baik sebagai bangsa maupun negara. Lalu
kemudian merundingkan kesepakatan damai.
Saatnya untuk realistis. Secara
konfrontatif atau militer, adalah tipis kemungkinannya untuk menghilangkan
eksistensi Israel saat ini. Baik sebagai bangsa maupun negara. Disamping sudah
diakui PBB dan didukung sejumlah negara-negara besar, secara militer kekuatan negara-negara yang selama ini menjadi lawan
Israel saat ini dalam posisi lemah oleh berbagai konflik dalam negerinya.
Maka adalah suatu alternatif adil dan
dapat diterima apabila Yerusalem tetap terbagi dua : Yerusalem barat di bawah
kekuasaan Israel dan Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Palestina. Keduanya
dapat menjadikan wilayahnya sebagai Ibukota negara masing-masing dan membiarkan
setiap negara lain membuka kedutaannya di sana.
Pada waktu yang sama, Trump diharapkan
bersedia pula membatalkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai Ibukota
Israel dan kembali menjadi mediator perdamaian.
Sekali lagi, cara-cara konfrontatif
hanya akan tambah memperuncing konflik yang akan mengakibatkan terus
bertambahnya korban dan penderitaan rakyat dari kedua pihak. ***