Tapi lain burung tekukur kami yang
satu ini. Semula juga nampak tidak ada yang istimewa. Awalnya, sekitar lima
tahun lalu ketika kami masih di Bogor, seorang bapak mendesak isteri saya
membeli beberapa burung miliknya. Seekor burung tekukur, dan bebe rapa kutilang.Katanya sangat butuh uang buat
beli beras.
Kandang mereka kami gantung di teras
lantai atas yang terbuka. Ternyata
burung-burung ini sudah agak jinak dan rajin berceloteh. Terlebih di
pagi hari dan sore hari. Mendengar suara mereka sering orang-orang berhenti sejenak mendongak
mengamati mereka.
Pada suatu hari seorang bapak begitu
tertarik dengan tekukur kami ini. Ia mau membayarnya dengan harga yang lumayan
untuk seekor burung biasa. Tapi yang empunya burung, isteri saya, tidak
mengijinkan. Si Bapak terus mendesak,
bahkan hari berikutnya ia datang dengan membawa dua ekor tekukur lain untuk
ditukarkan.
Kedua burung itu dikeluarkannya dari dalam jok sepeda motor. Melihat
perlakuan terhadap kedua mahluk kecil
yang malang itu, isteri saya langsung marah. “Burung-burung itu bisa mati
tak bisa bernapas dalam jok”, katanya seraya berbalik menutup pintu pagar.
Tapi besoknya bapak itu muncul lagi
dan kini agak memaksa. Aku lagi tidak ada di rumah. Tetapi kebetulan ada anak
perempuan kami. Ia dengan berani menghadapi si bapak dan memintanya pergi sambil
diperingatkan untuk tidak datang lagi.
Apa keistimewaan burung ini pikirku.
Sampai di situ masih biasa saja. Tetapi suatu ketika isteriku jatuh sakit. Terpaksalah
aku yang harus mengurus hewan-hewan piaraan kami. Empat guk guk, setengah lusin
meong, empat satwa bersayap.
Hewan-hewan berkaki empat itu
asal-usul mereka rata-rata mahluk terlantar yang dipungut di jalan atau selokan
atau yang diselamatkan dari kejaran orang
yang hendak melenyapkan mereka. Kami memang keluarga penyayang binatang.
Nah, ketika aku mengambil alih
pengurusan hewan-hewan itulah aku mulai dapat berkomunikasi lebih dekat dengan
mereka. Memberi makan tiga kali sehari, membersihkan kandang dan sedikit
menyapa mereka.
Sejak itulah sang tekukur mulai nampak bersahabat denganku. Kalau semula ia
selalu menggelepar-menggelepar ketakutan kalau aku mendekatinya, sekarang
setiap kali ia melihat aku muncul, selalu menyapaku dengan bahasa khas tekukur
: “korkouur, korkour, korkouur” atau “kourkourkouur, kour...” sambil kepalanya
turun naik. Bahkan kalau lagi bertengger ia melompat ke bawah sambil terus, “korkouuur,
korkouur” dengan kepala mengangguk-angguk.
Aku mendekatinya, menggerak-gerakan
tangan turun-naik sambil menjawab menirukan suaranya, “korkouur, korkouur, korrkour”.
Kalau aku tak menjawab, isteriku menegur: “ itu burung, disahutin dong....!”.
***
No comments:
Post a Comment