Kejadian yang memalukan itu terjadi tanggal 3 April 2017 di lingkungan
Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI). Dorong-dorongan, caci-mencaci. Sampai ada
yang terjatuh dan menderita luka. Aneh bisa terjadi antara orang-orang yang mestinya memperlihatkan perilaku
terhormat dan patut diteladani. Karena mereka adalah orang-orang pilihan yang
dianggap terbaik oleh rakyat daerahnya.
Entah apa maunya, DPD membuat aturan
tata-tertib yang tidak selaras dengan konstitusi bahwa Pengurus selalu berganti setiap lima tahun, seirama
dengan siklus Pemilu. Mereka membuat aturan tata-tertib sendiri. Aturan
yang lazimnya masa bakti pimpinan selama lima tahun diubah menjadi dua setengah tahun. Mungkinkan agar fasilitas yang menggiurkan disana dapat
dinikmati secara bergilir ?
Karena aneh, maka
tak heran kalau ada yang
mengadukan peraturan tata-tertib bermasalah itu ke Mahkamah Agung (MA).
Mahkamah Agung ternyata sependapat dengan pengadu, tata tertib itu tidak benar. Karena itu mereka cabut.
Tapi sayang, lembaga terhormat itupun ikut
berbuat fatal. Ada salah ketik. Akibatnya terjadi perbedaan penafsiran sehingga membuat
perpecahan di DPD semakin tajam. Seharusnya Dewan Perwakiran Daerah (DPD) terketik
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Obyek yang dipersoalkan “peraturan tata tertib” terketik
“undang-undang”.
Fatal. Karena satu kelompok menganggap Keputusan MA itu
salah alamat dan cacat secara hukum sehingga tidak berlaku. Tetapi pihak lainnya menganggap kesalahan itu hanya
masalah administrasi yang tidak mengubah isi pokoknya. Meski MA kemudian
memperbaiki kekeliruan itu, tetapi kelompok pertama tidak menggubrisnya lagi dan
terus saja melakukan sidang pemilihan pengurus baru berdasarkan peraturan Tata tertib yang dicabut MA.
Seharusnya DPD tidak perlu
melakukannya dan membiarkan saja Pengurus lama
tetap bertugas sampai genap masa
bakti mereka lima tahun sesuai surat
pelantikannya. Untuk jabatan kosong yang ditinggal penjabatnya karena kasus
hukum, dapat dipilih untuk mengisi sisa masa bakti penjabat sebelumnya sampai
selesai.
Masalahnya menjadi makin ruwet
ketika tanpa terduga, Mahkamah Agung yang memerintahkan pencabutan Tata Tertib
MA yang bermasalah itu, nyatanya muncul
dan melantik pengurus yang dibentuk berdasarkan tata-tertib yang
dicabutnya. Pihak Mahkamah Agung
berdalih, mereka hadir bukan melantik tetapi hanya memandu pengambilan sumpa.
Apapun namanya, melantik atau memandu, perbuatan mereka itu telah melegalkan dan
mengakui kepengurusan yang
berdasarkan aturan yang tidak
berlaku lagi.
Mahkamah Agung seakan menutup mata atau pura-pura tidak tahu pelanggaran
yang terjadi dalam proses pembentukan pengurus baru itu. Berarti MA melegalkan
yang melanggar hukum, Lebih anehnya lagi, MA melegalkan perbuatan yang
melanggar keputusan yang dibuat sendiri.
Adalah patut dicurigai,
sesungguhnya apa yang terjadi dalam pertemuan di salah satu ruang tertutup di
kantor MA antara oknum pejabat
MA dan beberapa orang dari kepengurusan DPD yang disebut-sebut ilegal
itu.
Sangat menyedihkan dan memalukan.
Mahkamah Agung yang seharusnya diharapkan sebagai lembaga peradilan tertinggi
yang menjadi panutan dan memberi putusan terakhir dalam penegakan keadilan,
malah memberi contoh yang buruk. Hal ini
akan memberi pengaruh buruk pula pada lembaga-lembaga peradilan di bawahnya.
Mahkamah Agung saja begitu.
Kembali soal salah ketik. Kalau
terjadi di kantor Desa atau Kelurahan, mungkin dapat dimaklumi. Apakah di MA
tidak dilakukan taklik, atau tidakkah ada korektor seperti umumnya ada di
perusahaan media cetak ? Atau Keputusan itu hanya dibuat, diketik dan
ditandatangani sendiri oleh satu orang, sehingga tak ada seorangpun yang dapat
menemukan kekeliruan itu ? Sungguh menyedihkan dan memalukan, ini terjadi di
lembaga tinggi negeri kita Republik Indonesia yang kita cintai ini !
Blunder salah ketik dokumen negara juga pernah
terjadi di lembaga tinggi Kepresidenan. Tetapi di sana cepat diambil
tindakan tegas. Pejabat yang bertanggung
jawab terus dicopot. Tapi dari MA, belum terdengar berita pertanggungjawaban
moral mereka kepada rakyat.
Dalam kasus ini peran Komisi
Yudisial diharapkan keberanian dan kemampuannya untuk dapat kembali memulihkan
kepercayaan masayarakat kepada lembaga pengadilan. Dapatkah mereka seperti KPK
yang berani dan tak gentar dalam menghadapi para mafia koruptor ? ***
No comments:
Post a Comment