Pada saat terjadinya peristiwa G30s/PKI tanggal 30 September 1965 aku
sudah berusia 21 tahun. Menjadi mahasiswa dan malam hari bekerja sebagai
korektor di suratkabar harian Pelopor di
Percetakan Daya Upaya ( lokasi hotel Jayakarta sekarang). Dan siang hari
kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jalan Borobudur Jakarta.
Tetapi perkuliahan di semua perguruan tinggi pada September itu sudah
beberapa bulan tidak teratur dengan semakin maraknya deminstrasi-demonstrasi mahasiswa
yang berbasis di kampus-kampus. Kelompok mahasiswa dari organisasi berlatar
belakang agama dan nasionalis berhadapan dengan kelompok mahasiswa yang
berhaluan Komunis. Tidak jarang terjadi bentrokan fisik sejalan dengan situasi
politik yang kian memanas saat itu. Beberapa universitas malh telah
menghentikan samasekali kegiatannya.
Dan pada tanggal 30 September itu
aku hanya berbaring di gubukku yang sempit di kawasan kampung Duri Grogol
karena sakit. Tidak dapat ke kampus dan juga tidak masuk kerja.
Seperti biasa, aku menyetel radio. Dan tiba-tiba pada siaran warta berita
RRI jam 07 pagi terdengar pengumuman dari suatu kelompok militer yang dipimpin
Letkol Untung Komandan Kesatuan Pengawal
Presiden Tjakrabirawa. Dia mengumumkan telah dilakukannya gerakan pada tanggal
30 September malam untuk mencegah terjadinya pengambilalihan kekuasaan oleh
“Dewan Jendral” dari pemerintahan yang
sah. Disamping itu untuk memberi
perlindungan kepada Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi. Bung Karno.
Beberapa jam kemudian menyusul siaran dari gerakan itu yang mengumumkan
pembentukan “Dewan Revolusi” yang dketuai Letkol Untung sendiri. Dewan inilah
yang akan melaksanakan pemerintahan
seharihari. Semua perwira TNI diminta melaporkan diri kepada DR. Dan para
perwira tinggi agar rela menurunkan pangkatnya sampai pada pangkat tertinggi Letnan
Kolonel.
Situasi politik dan pergerakan militer berjalan cepat. Pada siang hari
dalam siaran Warta Berita RRI terdengar suara Mayor Jendral TNI Soehato
Panglima Kostrad saat itu, yang mengumumkan apa yang sesungguhnya sedang
terjadi. Ia membantah adanya Dewan Jendral yang akan mengadakan koupdetat.
Justru Dewan Revolusi lah yang ditunjang PKI yang telah melakukan koup dan
bahwa sejumlah perwira tinggi TNI telah diculik dan masih terus dicari
keberadaan mereka.
Rupanya satuan-satuan pasukan khusus RPKAD siang itu telah berhasil
menguasai kembali gedung studio RRI di Jl, Merdeka Barat dan kemudian kantor
Pos dan Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan.
Hari berikutnya para pewira TNI yang diculik berhasil ditemukan. Semua tujuh
orang, telah tewas dan ditimbun dalam
sebuah sumur tua di kawasan Pondok Gede
Jakarta. Siang harinya jenazah para
korban disemayamkan Mabes TNI Jl.Merdeka Barat dan kemudian dikawal ribuan
warga ibukota ke Makam Pahlawan Kalibata. Suara Menhankam /PANGAB, Jenderal
Nasuton yang lolos ndari usaha penculikan, dalam nada terbata-bata menyebut
tuduhan para penculik adalah fitnah yang lebih kejam daripada pembunuhan. Ia
sendiri kehilangan putrinya, Ade Irma yang masih usia TK. Ia tewas bersama
pengawal ayahnya Kapten Piere Tendean.
Hari-hari berikutnya gelombang kemarahan rakyat memuncak. Demonstrasi
pembubaran PKI yang dituduh ada dibalik gerakan itu kian memanas. Kantor comite central PKI Jalan Kramat Raya depan Jalan Raden Saleh
habis dilalap api. Demikian juga kantorkantor organisasi yang sebelumnya
diketahui berafiliasi dengan partai itu.
Presiden Sukarno yang mulai terdengar lagi suaranya mengumumkan
pengangkatan beberapa pejabat teras TNI. Diantaranya Jendral Pranoto Reksosamodra sebagai Panglima
AD menggantikan Jend. A. Yani yang tewas. Lalu melalui surat keputusannya Presiden mengangkat Mayjen Suharto menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib) yang kemudian dikenal dengan Supersemar. Atas dasar itulah maka
Mayjen Suharto mengumumkan pembubaran PKI dan segala organisasi yang
bernaung dibawahnya.
Apa yang terjad selanjutnya, tak sempat kuikuti lagi. Aku telah masuk
dalam perawatan di RS. Fatmawati Jakarta.
Hanya aku dengar para menteri Kabinet Dwikora saat itu mulai di “diamankan”
satu persatu . Sedang Presiden Sukarno sendiri, setelah pidato pertanggungjawabannya
ditolak di Sidang Istimewa MPRS ia dikenakan perawatan rumah dan terakhir di
wafat di RSPAD Jakarta.
Dengan demikian Kabinet Dwikora bubar dan membuka kesempatan terbentuknya
Kabinet Ampera dengan Mayjen Suharto sebagai Pejabat Presiden sesuai tuntutan
dari berbagai pihak saat itu.
*******
No comments:
Post a Comment