Seusai pemungutan suara Pilpres dan Pileg 15
April 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo mencanangkan kembali rencana untuk
memindahkan Ibukota RI dari Jakarta. Bahkan langsung mengumpulkan anggota
kabinetnya untuk mendengar pemaparan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang sebelumnya ditugaskan membuat kajiannya.
Ada beberapa alternatif yang dibahas. Tetap di
Pulau Jawa dengan hanya menggeser ke beberapa wilayah sekitar atau memindahkan
samasekali ke luar Jawa seperti Sumatera, Sulawesi atau Kalimantan. Diantara
alternatif-alternatif itu nampaknya Kalimantan Tengah lebih mendapatkan
perhatian.
Pertama, karena kawasan itu memang sudah sejak
lama di iming-iming oleh Presiden pertama RI Ir. Soekarno untuk dijadikan
Ibukota baru.
Kedua, letaknya pas berada di tengah-tengah negeri ini sehingga diharapkan
pembangunan pembangunan kedepan bisa lebih merata ke seluruh negeri.
Ketiga, sarana transportasi sudah agak memadai,
yang terpenting lagi, kawasan ini dianggap lebih stabil dan aman dari bencana
gempa bumi karena tidak dilalui alur gempa tektonik yang melintasi Indonesia.
Yang mungkin sedikit mengkhawatirkan adalah bencana kebakaran hutan yang sering
merepotkan di wilayah itu, bahkan juga oleh negara-negara tetangga yang
terganggu oleh kabut asap.
Dari segi pembiayaan, Pemerintah nampaknya sudah
memiliki rencana mengatasinya. Hanya ada beberapa hal yang agaknya perlu dikaji
lebih lanjut agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Sudah dapat diperkirakan bahwa ketika keputusan
pemindahan Ibukota ini ditetapkan, para makelar-makelar tanah atau tukang catut
tanah akan berbondong-bondong memborong
tanah-tanah dari penduduk di kawasan bakal ibukota baru lalu nanti dijual dengan
harga tinggi kepada Pemerintah.
Oleh karena itu berbarengan dengan keluarnya
Kepres pemindahan Ibukota perlu dikeluarkan pula instruksi tentang pembatasan
pengalihan kepemilikan tanah, kecuali untuk keperluan Pemerintah atau negara.
Tanah hanya boleh dilepas kepada pemerintah dengan harga yang pantas sesuai
peraturan yang berlaku.
Hal ini menyangkut juga zoning atau tata kota. Lokasi
mana untuk perkantoran, perumahan, lokasi bisnis dan perdagangan serta lokasi
untuk industri dan jalur hijau. Jadi setiap perusahaan, baik swasta maupun BUMN
harus menyesuaikan pengadaan tanahnya sesuai kebutuhan perusahaannya. Tidak
boleh membeli tanah kemudian membuat bangunan sesukanya di atas tanah miliknya.
Satu hal lagi yang perlu dikaji, bagaimana dampak
pemindahan ibukota ini dengan perubahan iklim global. Demikian juga bagaimana
nasib satwa-satwa langka khas Kalimantan seperti gorrila dan lain-lainnya yang
pasti kedudukan mereka akan makin terdesak.
Sejak dahulu Kalimantan dikenal sebagai salah
satu paru-paru dunia. Kawasan yang menghasilkan oksigen karena hutan-hutannya
yang lebat dan menjaga keteraturan pergantian musim, musim hujan dan musim
panas. Itu dulu, entah sekarang setelah
banyaknya pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Apakah dengan
pemindahan ibukota ini tidak akan mengganggu stabilitas pergantian musim ini ?
Antisipasi ini perlu diperhatikan, karena
sebagai konsekwesi dari pembangunan sebuah kota, apalagi sebuah ibukota negara,
pasti akan disusul dengan bertumbuhnya kota-kota satelit di sekitarnya seperti
halnya kota Jakarta. Terutama sejak dekade tahun 70-an. Akibat pertumbuhan
kota-kota satelit seperti Bekasi, Krawang, Tanggerang dan Depok, tanah-tanah
yang dahulu merupakan kawasan persawahan dan pertanian yang menghasilkan beras, sekarang telah
berubah rupa menjadi kawasan perumahan, pertokoan dan pabrik-pabrik. Akankah
hutan-hutan Kalimantan juga ikut tergusur menjadi pemandangan yang gersang
dengan berbagai bangunan ? ***
No comments:
Post a Comment