Kalau ada hasil karya Presiden ke lima Republik
Indonesia Megawati Sukarnoputeri selama pemerintahannya, maka menurut penulis
hanya satu, yaitu Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Itu
diundangkan tanggal
27 Desember 2002 pada pertengahan masa
pemerintahannya yang hanya bertahan 3 tahun dari. 23 Juli
2001 sampai 20 Oktober
2004.
Alasan penerbitannya, seperti yang tertulis dalam dasar pertimbangan, adalah karena
pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi
sampai sekarang (ketika itu) belum dapat dilaksanakan secara optimal. Karena
itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional,
intensif, dan berkesinambungan karena
korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Sedangkan lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif.
Sejak
dikeluarkannya, Undang-undang ini terbukti
telah terbukti mampu menangkap dan
memenjarakan banyak sekali para pejabat korup, baik dari kalangan eksekutif,
legislatif maupun lembaga yudikatif beserta komplotan mereka. Berapa banyak
sudah Gubernur, Bupati, Walikota dan anggota DPR/DPRD , pejabat BUMN, bahkan
menteri kabinet yang disapu bersih KPK. Sebelumnya para pejabat korup itu
sangat sulit disentuh hukum. Entah karena kekuasaan mereka ataupun kekebalan
hukum yang diberikan negara kepada mereka tetapi disalahgunakan. Kalau SDM dan
kewenangan KPK lebih diperkuat lagi, maka ada harapan dalam waktu yang tidak
lama, negeri ini akan bebas dari korupsi dan suap. Maka tak heran kalau KPK
mendapat banyak pujian dan simpati rakyat karena prestasi mereka.
Tetapi
apa yang terjadi dipenghujung masa kerja DPR 2014-2019 ? KPK yang kelahirannya dibidani presiden yang tidak
lain ketua umum PDIP ini, justrur pada saat-saat menjadi harapan rakyat telah
digembosi sendiri di DPR oleh para anggota partai yang dipelopori para politikus
PDIP melalui revisi rancangan mereka. Meski berkali-kali ditolak pada pengajuan-pengajuan
sebelumnya, tetap saja mereka sahkan tanpa konsultasi lagi dengan pihak sangat
terkait. Mestinya, menurut akal sehat, bila suatu rancangan selalu berulang-ulang
ditolak, sudah menjadi isyarat bahwa rancangan itu memang tidak layak.
Meski
demonstrasi diseluruh penjuru negeri telah berkecamuk bahkan sampai jatuh
beberapa korban jiwa, meski para cendekiawan, rohaniwan dan budayawan telah
memberi pertimbangan kepada presiden, namun Jokowi hingga tulisan ini dibuat
belum juga mengeluarkan Perpu untuk membatalkan undang-undang KPK hasil revisi
itu. Pengesahan UU KPK hasil revisi dinilai cacat, baik secara formil maupun
materil dan melemahkan pelaksanaan tupoksi KPK. Kelambanan Jokowi ini diduga
dilatarbelakangi kekhawatirannya akan kehilangan dukungan anggota DPR dalam sidang MPR pelantikannya sebagai
presiden untuk periode berikutnya. Atau pada sidang-sidang DPR bersama anggota
kabinetnya nanti.
Namun,
Jokowi sebenarnya masih bisa memainkan kartu trufnya, sebagai pemegang hak pregrogratif
dalam pembentukan anggota kabinet – di mana para pemimpin partai sangat
berharap para politisinya dapat dikutsertakan dalam kabinet sebagai menteri.
Demikian juga banyaknya dukungan rakyat bila menerbitkan Perpu. Kalaupun Jokowi
gagal dilantik, tetapi ia tetap akan selalu dipandang dan dikenang rakyat sebagai
pahlawan anti korupsi.
Sayang,
kalau Undang-undang KPK ini tidak dapat dikembalikan seperti sebelum revisi.
Mestinya UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK
karya Presiden Megawati Sukarnoputri ini dapat menjadi karya monumental buat
dirinya yang akan selalau dikenang dalan sejarah.***