Menjelang sidang umum MPR, sudah muncul adu argumentasi di media masa dan media sosial mengenai perlu
tidaknya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dengan keputusan MPR dihidupkan
kembali. Bahkan dalam lobi-lobi antar
partai untuk mendapatkan dukungan bagi calon
ketua MPR, PDI Perjuangan konon meminta syarat , calon harus mendukung usulan dihidupkannya
kembali GBHN bila ingin mendapatkan dukungan PDIP. Sejak berlakunya sistim pemilihan
presiden secara langsung GBHN memang telah dihapuskan.
Seperti dikemukakan beberapa politisi
PDIP, alasan dihidupkannya kembali GBHN adalah untuk menjaga kesinambungan pembangunan.
Jangan sampai setiap pemerintah berganti, arah pembangunan berganti lagi.
Sepintas, alasan ini memang dapat
dipahami. Kalau dicermati, salah satu latar belakang dikeluarkannya Dektrit
Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke undang-undang dasar 1945
adalah ketidak stabilan pemerintahan pada masa pemerintahan dengan sistem parlementer.
Pemerintah sebentar-sebentar dijatuhkan dan diganti kabinet baru. Akibatnya pembangunan juga tidak stabil. Dengan kembali
pada UUD 1945 diharapkan stabilitas pemerintahan tetap terjaga dan dengan
demikian jalannya pembangunanpun dapat berjalan stabil.
Namun sesudahnya apa yang terjadi ?
Ketidaklanggengnya kesinambungan kebijaksanaan pembangunan tetap saja terjadi.
Biasanya pada masa peralihan pemerintahan lama ke yang baru. Bahkan juga pada
masa pemerintahan kabinet yang sama. Misalnya kebijaksaan pemerintah SBY yang
menekankan pada kebijaksanaan pembangunan kesejahteraan rakyat melalui
pemberian berbagai subsidi. Seperti BLT (bantuan langsung tunai), subsidi BBM yang
banyak menghabiskan anggaran negara dan menambah hutang dan lain-lain. Tapi
ketika Jokowi-JK mengambil alih pemerintahan, subsidi diperketat. Bahkan
sebagian besar subsidi BBM dihapuskan dan anggarannya dialihkan untuk
pembangunan infra struktur.
Pernah lagi digaungkan untuk mencari
sumber-sumber energi alternatif diluar minyak bumi seperti pembudidayaan
tanaman jarak. Presentasi proses
pembuatan minyak jarak pernah dikampanyekan melalui tayangan-tayangan televisi
dan rakyat dianjurkan ikut mendukung.
Memenuhi anjuran itu, konon seorang petani menebang seluruh tanaman
cengkehnya dan ganti menanami kebunnya dengan bibit jarak. Tetapi ketika mulai
berbuah dan tiba masa panen, gaung kampanye pengembangan minyak jarak itu
menghilang. Iming-iming akan dibangun pabrik-pabrik pengolahan yang akan
menampung hasil tanaman para petani dan
perkebunan-perkebunan tak pernah terwujud. Si petani merasa dibohongi dan
kemudian membabat habis kembali kebun jaraknya.
Dilema
Namun, disamping kekecewaan di atas, ada
pula beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan bila GBHN ingin dihidupkan
kembali. Antara lain kemungkinan berbedanya isi GBHN yang akan ditetapkan MPR dengan
visi-misi Presiden terpilih yang ditawarkan kepada rakyat sewaktu kampanye.
Padahal kepercayaan atas janji-janji kampanye itulah yang mengantarkannya
menjadi calon presiden terpilih.
Kalau ini terjadi, maka akan menjadi
dilema bagi Presiden nanti. Di satu pihak, dia harus melaksananan GBHN sebagai
produk konstitusional yang mengikat, sedang di lain pihak secara moral Presiden
wajib melaksanakan janjinya kepada
rakyat yang telah memilihnya secara langsung. Ia terpilih sebagai Presiden
adalah karena rakyat menerima, menyetujui dan mendukung programnya. Idealnya
mestinya GBHN sejalan atau sinkron dengan janji-janji Presiden Terpilih kepada
rakyat semasa kampanye. Kalau sehaluan, maka segi positifnya, GBHN yang
ditetapkan dengan Keputusan MPR itu merupakan
penguatan sekaligus ikatan secara konstitusional terhadap Presiden agar ia
benar-benar melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada rakyat dan tidak
ingkar janji. Pada masa akhir jabatannya, ia akan dinilai rakyat apakah ia
sukses atau gagal melaksanakan janjinya. Baik secara moral maupun
konstitusional. Penilaian ini akan menjadi referensi bagi rakyat apakah tetap pantas untuk memilih
figur ini bila masih mau mencalonkan diri dalam pemilihan capres berikutnya.
Di lain pihak, bagi MPR, perlulah
diingatkan, bila memutuskan GBHN yang
tidak sehaluan dengan pokok-pokok visi-misi Presiden, maka itu berarti
telah berbuat ceroboh mau mengarahkan kebijaksanaan pembangunan negara ini ke
arah yang lain daripada haluan yang telah mereka setujui dari visi-misi
Presiden. Berarti MPR tidak mewakili lagi aspirasi rakyat yang juga telah
memilih mereka melalui pemilihan legislatif langsung. Padahal mestinya mereka
menguatkan dan meformalkan aspirasi rakyat.*** (Sam Lapoliwa, S.IP)
No comments:
Post a Comment