Ya, prihatin TNI bisa kecolongan.
Seorang isteri perwira berpangkat kolonel, Komandan KODIM lagi, yang sekali
naik pangkat lagi jadi jenderal sampai melakukan perbuatan yang bernada miring seperti
kebiasaan kaum radikal. Ada lagi isteri seorang bintara AD. Bukan hanya di AD
tetapi juga ada isteri seorang anggota polisi militer TNI-AU di Sidoarjo.
Bahkan lebih mencemaskan lagi Mabes Polri belum lama mengungkapkan adanya
anggota Polwan yang ditangkap dengan sangkaan terpapar faham ISIS. Malah sedang
disiapkan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri !
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah
bagaimana dengan pembinaan organisasi para isteri TNI/POLRI. Yang di TNI-AD
dikenal dengan Persit Chandrakirana, di TNI-AL
ada Jalasenastri dan di TNI-AU ada PIA Ardhya Garini. Dan di tingkat gabungan
ketiga angkatan ada Dharma Pertiwi. Sedangkan di lingkungan POLRI dikenal organisasi
Bhayangkari.
Secara umum fungsi dari organisasi-organisasi para isteri anggota
TNI-POLRI ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menunjang pelaksanaan
tugas suami. Sering dikemukakan moto: “dibalik
kesuksesan suami ada isteri yang hebat”. Tetapi apa yang terjadi dengan
kasus ini malah sebaiknya. Akibat kurang hati-hati dan berpikir panjang dalam
menggunakan media sosial akhirnya sang suami ikut menanggung akibatnya. Dipecat
dari jabatan bahkan dimasukan sel sekian hari.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab ?
Tentu saja para pelakunya. Namun, sang suami juga tak bisa melepaskan tanggung
jawabnya. Ia sebagai kepala keluarga dari keluarga anggota TNI-POLRI
berkewajiban secara moral untuk selalu membimbing isteri dan anak-anaknya dalam
berperilaku baik, khususnya dalam penggunaan media sosial.
Tentu saja organisasi-organisasi para
isteri anggota TNI-POLRI di atas tak boleh lepas tangan. Kini boleh menyadari
ternyata masih ada yang kurang dalam pembinaan anggota mereka selama ini.
Para pimpinan TNI-POLRI yang akan mengangkat
pimpinan baru atau komandan di suatu wilayahpun, sejak awal seharusnya juga lebih
berhati-hati. Tidak hanya memperhatikan rekam jejak personil yang akan diangkat
tetapi juga rekam jejak isterinya. Sebab sang isteri biasanya secara otomatis
akan menjadi Ketua Persit, Jalasenastri, Pia Ardhya Garini atau Ketua
Bhayangkari di wilayahnya. Seperti di Kodam, Kodim, Koarmada, Lantamal, Lanal,
Kowilu, Polda,Polres,Polsek dstnya. Merekalah yang kelak akan menjadi pembina
para isteri-isteri anggota suaminya di lingkungan penugasannya. Jangan sampai
terjadi, seperti isteri Komandan Kodim di Kendari. Seharusnya menjadi pembina
para isteri anggota TNI AD di Kodim kendari, malahan menjadi pencercah Menko
Polhukam Jend.TNI Pur.Wiranto yang sedang terkena musibah dalam tugas.
Hal sama seharusnya juga tidak dilakukan
isteri seorang anggota polisi militer AU di Sidoarjo. Padahal Wiranto adalah
mantan KSAD dan Panglima TNI/ABRI
bertahun-tahun dan sekarang masih menjadi atasan dari atasan-atasan suami
mereka. Dari ketiga kasus ini, nampaknya ada
gejala kaum radikal sedang mencoba siasat untuk menyusup ke dalam tubuh organisasi
TNI dan Polri melalui para isteri bahkan kemungkinan pula melalui anak-anak dalam
keluarga mereka. TNI dan POLRI agar waspada tidak sampai
disusupi kaum radikal seperti ex HTI
atau simpatisan ISIS. Cukuplah pengalaman ketika TNI berhasil disusupi Biro
Khusus PKI Kamaruzaman. (Penulis: mantan anggota
PWI Sie Hankam/Polri).
No comments:
Post a Comment