 |
Makam para leluhur di Uluanso
|
Bermula
dari Para Penjelajah Laut, Tumbuh kembanglah Suku Bahono.
uku
Tomobahono / Tolasi dahulu kala disebut juga
Toture’a.
Menurut ceritera orang tua-tua, konon nama Ture’a berasal dari kisah seorang kepala
suku bernama Enge Melari. Tubuhnya tinggi besar dan kuat. Ia seorang pemberani
dan senang bertualang.
Dalam petualangannya ia tiba di tepi
sungai Porupu dan berjumpa dengan penduduk asli. Mereka mendiami sepanjang
pinggir sungai ini dari hulunya di Sanimbi sampai Lintumewure. Karena itu
mereka sering disebut To Wiwi Laa, artinya orang pinggir sungai. Jumlah mereka masih
sedikit dan dipimpin oleh seorang Tadulako atau hulubalang yang juga
merangkap sebagai Ketua Adat.
Konon Enge Melari adalah seorang
perantau dari seberang lautan. Kapalnya terbawa arus laut dan angin kemudian
kandas dekat Kendari. Ia berdoa mohon kekuatan dan perlindungan dari penguasa alam
penciptanya lalu meninggalkan
kapal.
Setelah masuk hutan keluar hutan, mendaki dan
menuruni gunung serta menyeberangi sungai akhirnya tibalah ia di tempat itu. Ia
minta diijinkan bergabung dengan mereka. Tutur nkata dan sikapnya yang santun
serta kecakapannya menyebabkan ia dapat diterimadengan baik oleh Tadulako
kelompok itu.
Pemuda ini lalu membangun sebuah
rumah besar dan di situlah ia diminta mengajarkan segala ilmu dan
pengalamannya. Ia makin disenangi, bahkan akhirnya ia terpilih menjadi Tadulako
yang baru.
Pada suatu siang yang panas terik, ia
bersama orang-orangnya berjalan dan tiba di suatu tempat dan beristrahat melepas
lelah di bawah pohon rindang. Ia seorang yang taat melaksanakan adat pemujaan
menurut kepercayaannya. Ketika duduk bersemedi, ia seperti mendapat bisikan
agar menebaskan pedangnya pada pohon tempatnya berteduh. Apa yang terjadi ?
Kulit pohon itu mengeluarkan air berwarna merah. Mengalir aeperti rea (darah).
Maka mereka namakanlah tempat itu Ture’a.
Dan ketika kemudian mereka bertambah
banyak dan menetap di situ. Mereka disebut To Ture’a (orang Ture’a). Dibawah
pimpinan Enge Melari, suku Ture’a rajin bertani, mengolah hasil hutan seperti
rotan dan damar.
Mereka juga cekatan dalam berburu hewan
liar seperti rusa dan babi hutan, baik dengan menggunakan anjing pemburu maupun
jebakan seperti dampa dan botika. Botika dibuat menggunakan kayu lentur yang dipasangi ranjau
bambu runcing. Ada juga jebakan yang disebut dunsi, yang terbuat dari
batang pohon besar. Apabila tali penahannya
terunjak, maka batang pohon yang berat itu akan jatuh menimpa mahluk apa
saja yang lewat di bawahnya.
Mereka juga trampil menangkap ayam hutan
dengan menggunakan winggaro, suatu jerat yang juga menggunakan kayu
lentur dan tali. Bila ayam hutan menginjak atau mematok umpan makanan yang ditaburkan,
maka kaki atau lehernya akan terjerat. Untuk menangkap ikan wiku (moa)
di kali yang dagingnya
enak dan gurih, mereka mempunyai cara tersendiri.
Dengan
menggunakan umpan dari lipan, katak atau ulat sagu
 |
Nostalgia di Sungai Uluanso Tanah Bahono (Desember 2013)
|
yang
dicucukkan pada duri daun rotan, mereka mampu memunculkan ikan moa ke permukaan
air dan kemudian menombaknya
dengan sarampa sejenis tombak bermata tiga.
Demikian sedikit gambaran mengenai mata pencaharian suku Ture’a.
Tetapi makin lama nama Ture’a jarang
disebut-sebut atau hampir tidak dikenal lagi oleh generasi kemudian. Yang
dikenal sampai sekarang adalah Tomobahono atau Tolasi.
Menurut peta, suku bangsa ini berdiam di
sebelah selatan
daerah Petasia-Kolonodale, Sulawesi Tengah. Disebelah
selatan berbatasan dengan Nuha Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kediaman
suku Tomatano yang bermukim di sekitar tepi Danau Matano.
Dengan
semakin bertambahnya jumlah mereka, maka dibuatlah aturan tata kehidupan
bersama yang kemudian menjadi adat yang harus dipatuhi semua orang.
Warga dibagi dalam kelompok-kelompok
dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing.Karua, Tokia Mokora (Penjaga
/ Pengawal) dan Pengawas. Kelompok Karua, merupakan kelompok inti. Disumbolkan
dengan kepala manusia yang tugasnya memikirkan dan memajukan kesejahteraan dan
perekonomian seluruh masyarakatnya. Kelompok Tokia Mokora, dilambangkan dengan
kaki dan lengan yang kuat. Kaki memelopori gerakan masyarakat untuk melangkah
maju ke depan, walau mungkin melalui duri dan onak. Sedangkan lengan yang kuat
berfungsi mowate, yaitu menebas kiri-kanan segala yang menghambat
langkah maju ke arah kebaikan. Kelompok-kelompok ini pada waktu-waktu yan ditentukan
bergabung dalam sidang gabungan yang disebut Morokoa (kebersamaan).
Dalam pertemuan gabungan ini, tata krama mesti selalu diperhatikan seperti
dalam bertutur dan bersikap.
Tata krama itu bersumber dari sifat
dasar manusia juga, yaitu pada ate (hati) dan Ulu Aso (satu
kepala). Dengan ate (hati), agar orang selalu berbudi baik dan murah
hati (me’aroa). Kemudian pada kepala yang satu terdapat mata,
bibir/mulut, telinga, hidung dan otak. Dengan mata agar orang dapat melihat
kondisi kehidupan masyarakat yang perlu diperbaiki, telinga untuk dapat
mendengar keluhan, harapan dan pendapat orang lai. Dengan hidung agar pekah
mencium gelagat yang kurang baik untuk cepat dihilangkan. Semua ini harus di
bawah kendali otak atau melalu pemikiran sebagai pengontrol. Dengan demikian diharapkan
dapat diwujudkan kehidupan bersama yang rukun, damai dan sejahtera.
Pengucapan
Syukur
Setiap akhir panen padi, diselenggarakan
pesta raya Monsese lewe (mengiris daun), yaitu pesta pengucapan syukur
pada penguasa alam yang telah memberi berkat. Pesta dipusatkan di rumah besar
yang disebut Leweroda. Dan yang memimpin upacara harus seorang Umbuh
Inia. Pangkat Umbuh Inia hanya boleh dijabat seorang perempuan sepuh. Karena
menurut paham leluhur, perempuan sebagai yang melahirkan manusia, penerus
generasi manusia turun-temurun. Ia sangat disegani dan dihormati. Tradisi pengucapan syukur ini sampai
sekarang masih tetap ada dengan nama baru
Padungku, hanya tata caranya telah disesuaikan dengan perkembangan baru.
Penghormatan
Tinggi pada wanita
Selain
monsese lewe, setiap kali ada anak yang lahir harus dilakukan upacara adat.
Kalau yang lahir anak perempuan dilakukan adat mewolia. Tetapi kalau
yang lahir laki-laki, maka yang dilakukan adat moreapi (pendarahan),
artinya penyembelian korban hewan, biasanya babi. Darahnya dialirkan yang
dipercaya untuk keselamatan
sang bayi. Tugas inipun hanya boleh dilaksanakan oleh seorang perempuan sepuh
yang disebut Woliampu’u.Jabatan ini
dapat dirangkap oleh Umbuh Inia.
Acara
Adat Kematian
Tugas
lain dari Wolimpu’u adalah memimpin upacara adat pelayanan kematian yang
disebut molensepi. Ia memimpin upacara ritual dekat jenazah. Dalam
kelambu layar
hitam besar ia menyanyi memanggil-manggil arwah
yang meninggal sambil memegang wadah seperti tempurung
tertutup kain hitam. Apabila dalam wadah itu telah
nampak benda mengkilat bercahaya seperti kunang-kunang, itu tandanya arwahnya
telah masuk. Dia akan terus menyanyi yang dipercaya untuk mengiringkan arwah itu
menuju suruga di gunung tinggi Wawonango atau Ponteo’a dekat Tingkea’o.
Sesudah arwahnya pergi, barulah
jenazahnya dikuburkan. Dan setelah kembali dari pemakaman dilakukanlah pesta makan
bersama.
Pertahanan
Kompeni-Belanda memang belum menjangkau wilayah
Ture’a. Tetapi pengaruh politik adu-domba mereka sudah terasa. Perang antar
suku menjadi sering terjadi. Karena itu Enge Melari membangun tiga benteng pertahanan
sebagai tempat berlindung seluruh rakyat bila terjadi
perang. Pertama di sebelah selatan, di atas gunung Salimponai
/ Pa Bente. Kedua, Benteng Pa’ano-Lasi di bagian tengah dan ketiga benteng
Waawulo di bagian utara.
Tadulako Enge Melari memilih tinggal di
benteng Waawulo. Bila berada di Waawulo ia biasanya beristrahat di Gunung Bakara atau Ta’usape, dua gunung
yang berdekatan dan saling berhadapan. Itulah sebabnya sering disebut Gunung
Dua Bersaudara. Di situ terdapat sumber air panas Sosoninggi (Sosopa). Kalau ke
Bahono, ia tinggal di Lasama dan kalau ke Ture’a tinggal di Leweroda,
Lintumewure.
Kira-kira pada abad 16, benteng
Salimponai/Pa Bente mendapat serangan tiba-tiba dari pihak yang tidak jelas
asalnya. Karena kurang siap, benteng berhasil dihancurkan musuh dan banyak
rakyat yang terbunuh.
Yang lainnya lari kucar-kacir ke benteng
Pa’ano-Lasi dan Waawulo. Laskar-laskar Lasi-Waawulo segera datang membantu,
tetapi pihak penyerang telah melarikan diri. Semua korban dikuburkan di
Pontaha, Kororeo. Tidak lama setelah itu terdengar kabar, musuh dari Asotowa
(seberang) Danau Matano akan menyerang.
Tidak berapa lama orang-orang asal
Ture’a yang mendiami wilayah sepanjang Sungai Porupu dan mulai diganggu. Tadulako
Enge Melari suatu hari berada di rumah peristrahatannya di Gunung Bakara. Ia dan
isterinya turun ke sungai kecil Sosoninggi dekat Sosopa mau
mengambil daun sagu untuk dianyam menjadi atap. Ketika Tadulako sedang di atas
pohon sagu, tiba-tiba muncul tiga mata-mata musuh menyerang isterinya hingga
tewas. Enge Melari turun dan terus mengejar para pembunuh hingga ke arah gunung
Sokoiyo.
Ketiga orang itu sudah kelelahan lalu
duduk istrahat. Enge Melari dibantu beberapa pengiringnya lalu mengadakan pengepungan.
Mereka ditangkap dan semuanya langsung dihukum mati. Mayat isterinya kemudian
dibawa ke kunepo (gua batu).Lasama dan dimakamkan di sana dengan upacara
adat. Tadulako Enge Melari sangat terpukul dengan kehilangan isterinya. Tidak
lama setelah itu ia sendiripun wafat. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran
adat Ture’a dekat makam isterinya di Kunepo Lasama, Bahono.
Ia
digantikan pemimpin kedua, Mbile. Tetapi Tadulako baru ini sangat keras. Kejam
kepada rakyat yang berani membantahnya. Dan bila melihat ada harta rakyat yang
diinginkannya, ia tak segan-segan merampasnya. Konon, ia berilmu tinggi.
Karena itu ia sangat ditakuti. Kalau sedang marah, terlihat seperti ada kucing
melompat-lompat di bahu dan kepalanya. Di dada atau punggungnya ada kaki seribu
merayap-rayap. Ia lebih suka tinggal di Boluka Bahono. Pada masa
kekuasaannyalah banyak rakyat meninggalkan Ture’a mencari tempat yang lebih damai.
Pada suatu hari ketika ia hanya ditemani
beberapa hambanya, sekelompok rakyat yang membencinya tibatiba datang membakar
rumahnya sampai hangus seluruhnya. Seketika terjadilah hujan lebat disertai
kilat dan guntur. Bekas reruntuhannya
berubah menjadi danau kecil.
Sejak itu ia tak pernah muncul lagi. Diduga
ikut terbakar atau menghiang. Ia lalu digantikan Ue Lagasi sebagai Tadulako
yang ketiga.
Suku
Bahono atau Tomobahono memang hanya suku bangsa yang kecil. Pada abad 17-18
penduduknya hanya sekitar 2000 jiwa. Mereka menempati empat dataran yang
terpisah oleh bukit-bukit kecil yaitu : Dataran Ture’a, sekarang masuk wilayah
Nuha Sulawesi Selatan, dataran Bahono, dataran Koronene dan dataran Lembo.
Keempat
dataran ini diapit deretan gunung-gunung. Di sebelah barat oleh gunung
Wanameusa, gunung Po’emoa, gunung Tongalala, Inasino dan gunung Tatangkuli.
Sedang di bagian selatan oleh gunung Sokoiyo dan sebelah timur oleh gunung
Aanteo yang memanjang mendekati Danau Matano.
Terdapat
banyak sungai kecil yang membantu memberi kesuburan tanah, sebagai sumber
penghidupan yang tidak pernah kering sekalipun pada musim kemarau panjang.
Ada empat sungai besar yang terkenal
yaitu Po’ahaa, Ulu’anso, Kasitawa dan sungai Wawompure.Sungai
terakhir ini berbatu-batu sebesar mangga warna hitam
dan berpasir coklat tua, airnya jernih dan jarang banjir.
Sedangkan sungai Ulu’anso yang juga berbatu-batu hitam, besar dan kecil, airnya
jernih, sejuk, sungainya mengalir dari arah hutan yang diawasi ketat oleh
penduduk kelestariannya.
Dari balik batu-batunya yang membuat air
sungai ini beriak-riak dan arusnya tidak terlalu kuat, banyak udang-udang air tawar sebesar ibu jari kaki
orang dewasa dan kepiting sungai. Pada tepi yang agak tenang, banyak ikan sikonui
yang biasanya dapat membuat orang duduk
memancing berjam-jam. Ikan ini memang sangat enak, apalagi bila dipepes.
Sungai Ulu’anso tidak pernah banjir
dan selalu jernih walaupun terjadi hujan lebat. Ditambah dengan arusnya yang
tidak begitu kuat, orang tua tidak pernah khawatir kalau anak-anaknya
bermain-main di sungai ini.
Berbeda dengan sungai-sungai lain. Kalau
banjir, sungguh dahsyat, sehingga orang harus menjauhinya. Di tempat inilah
leluhur-leluhur moyang suku Bahono / Lasi berdiam dan mengolah tanah
perladangan turun-temurun sampai generasi sekarang. Jadi tanah tersebut telah
menjadi Tanah Adat atau Ulayat dari suku bangsa Bahono / Tolasi. Disebut
Tolasi, karena benteng pertahahan mereka dahulu di atas gunung Lasi.
Pada
masa perang, seluruh warga berdiam dalam benteng. Sekelilingnya dikawal para
lasykar dengan berbagai perlengkapan perang seperti ponai, kanta dan kansai.
Pakar hukum adat Prof. Mr. Tel Haar BZn memasukkan
suku bangsa Mori termasuk Bahono dalam lingkungan
hukum adat Toraja. Sedangkan sejumlah cendekiawan Bahono tidak menerima ataupun
menolakkesimpulan
itu. Kenyataannya masyarakat Toraja merupakan suku tersendiri yang dikenal
mendiami wilayah Sulawesi Selatan bagian utara dan masih jarang ditemukan di
antara masyarakat Bahono.