Ceritera Pengantar dari Kanda terkasih, Marthen Latarima Lapoliwa
|
Keluarga Kakek Lagasi dengan isterinya Nenek Wainugi mempunyai tiga orang anak. Dua laki-laki dan seorang perempuan. Kedua anak laki-laki setelah kawin memisahkan diri, sedangkan anak perempuan yang lahir tahun 1912, menikah pada usia lima belas tahun dengan pemuda bernama Manensa Lapoliwa, yang menjadi ibu dan ayah kandung penulis.
Pada tengah hari tua tanggal 26 Juni 1927 di Kapuranga Ulu’anso, saya lahir sebagai anak pertama dan diberi nama Latarima. Nenek Wainugi sangat gembira dan karena itu dari kecil sampai besar saya lebih banyak diasuh Nenek daripada ibu sendiri. Apalagi sebagai cucu pertama dari anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak bungsu pula.
Kakek Lagasi meninggal kira-kira tahun 1920 dan nenek sangat kehilangan. Ketika saya lahir ia mulai agak terhibur, dan setelah umur tiga tahun saya diajak tidur bersama nenek. Karena itu saya sangat mencintai beliau. Waktu mulai berumur empat tahun sampai sekitar umur sepuluh tahun, nenek banyak berceritera mengenai pengalaman hidup mereka sejak kecilnya. Seperti cara berkebun, perdagangan, peperangan, penderitaan karena peperangan, kepercayaan kepada yang gaib dan persatuan serta kesatuan sebagai masyarakat suku. Ia men-ceriterakannya berulang-ulang dengan tambahan hal-hal yang sebelumnya terlewatkan, dan semua itu selalu menarik perhatian saya.
Tahun 1936 saya berusia sepuluh tahun. Saya masuk sekolah dan tamat. Tahun 1941 masuk Vervoolgschool 2 tahun di kota Kolonodale. Kalau sedang libur sekolah, saya pulang ke kampung yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari Kolonodale. Ketika tiba di rumah nenek sangat gembira.
Kalau kami sedang duduk bercakap-cakap, tidak lain yang diceriterakan adalah kisah hidup mereka yang selalu diwarnai kisah-kisah keberanian dan kepahlawanan dalam perang. Hal ini dapat dimengerti karena suaminya, yaitu kakek saya adalah kepala Suku kami, dan ia selalu dikelilingi oleh para penghulu perangnya.
Saya sudah berusia enam belas tahun dan sudah dapat menulis. Semua yang diceriterakan nenek saya catat pada batu tulis sebagai tempat tulis-menulis dikala itu. Karena tertarik, saya juga banyak bertanya kepada nenek dan nenek makin bersemangat pula menceriterakannya sampai sejelas-jelasnya. Bahkan ceritera nenek adakala-nya masih diteruskan ketika kami hendak tidur dalam kelambu. Meskipun saya sudah berusia remaja, kalau pulang libur saya selalu tidur bersama nenek.
Karena itu alangkah sedihnya saya ketika menje-lang akhir tahun 1944 saya menerima kabar duka bahwa nenek yang sangat saya cintai itu telah meninggal dunia.
Saya pulang ke kampung. Karena sangat terpukul dengan kehilangan nenek yang sangat kukasihi dan mengasihi saya, saya tidak besemangat lagi untuk kembali sekolah ke Kolonodale. Tetapi kedua orangtua terus mendesakku sehingga akhirnya masuk sekolah lagi.
Tahun 1940 tujuh pesawat tempur Jepang tiba-tiba membombandir Kolonodale. Penduduk kocar-kacir. Anak-anak sekolah pulang ke kampung masing-masing.
Ketika kembali lagi ke Kolonodale, Jepang telah menguasai kota itu dan sekolah kami Vervoolgschool telah diganti namanya menjadi Sekolah Sambungan 6 Tahun. Setelah tamat, tahun 1947 saya mengikuti sekolah Jepang Nipon Kogako, tetapi tidak tamat.
Ayah bundaku bukanlah keluarga kaya. Mereka petani miskin yang hanya mengolah tanah untuk penghidupan sehari-hari. Tetapi mereka tokoh yang berpengaruh di Ture’a/Bahono. Meski hanya dengan modal sekolah malam dapat menulis dan membaca, ayahku Manensa Lapoliwa Latingka, tahun 1937 diangkat menjadi Mandoro atau Wakil Kepala Kampung Uluanso. Ia berhenti tahun 1950 karena usia lanjut. Sedang ibuku Wandeaga Lagasi adalah anak Tadulako atau kepala suku Bahono-Lasi. Paman-pamannya, dua bersaudara Torigala dan Baby adalah panglima-panglima perang (pongkiari) pemberani yang disegani.
Ibu sangat memperhatikan pendidikan agama kami, anak-anaknya. Sepanjang hidup masa kecilku, setiap Sabtu saya selalu diboyong ke kampung karena malamnya para orang tua akan ikut mo’agama, yaitu mengikuti pelajaran agama. Besoknya hari Minggu diboyong lagi beribadah ke gereja dan hari Senin sampai Sabtu berikutnya kembali ke kebun..
Setelah tamat Sekolah Rendah 3 Tahun, saya selalu diingatkan harus rajin ke gereja dan taat pada Tutulu Moikono Tuwua artinya, Berita Kabar Baik atau Alkitab. Hasilnya, setiap hari Natal saya dapat ikut berkotbah pada acara Natal. Baik di Uluanso maupun di kampung kembar kami, Kumpi.
Tahun 1946 saya sudah diangkat sidi, yaitu dinyatakan telah tamat dalam pelajaran agama oleh Guru Kandola yang merangkap Guru Jemaat di Dolupo. Pada saat yang sama Jemaat Uluanso bersama pemuda mengadakan pemilihan pengurus Persatuan Pemuda Kristen Uluanso. Ternyata suara terbanyak menunjuk saya menjadi Ketua PPK.
Musik Bambu
Pada saat itu musik bambu sangat populer di tiap kam-pung. Tapi di Ulu’anso belum ada. Saya tidak tahu apa-apa dengan musik bambu. Tapi saya ingin belajar. Dengan menunggang kuda saya pergi ke kampung Tingkea’o kira-kira dua puluh tujuh kilometer dari Uluanso menemui Adeli, yang saya kenal pandai dalam hal musik bambu. Saya minta diberi kursus belajar satu minggu. Bagaimana cara menyetel bunyi suling dan bunyi musik bambu pada bas, Naturel yaitu do dan mi serta mol, yaitu sol. Ada perhitungannya supaya harmonis atau stem. Setelah selesai dan menguasai seluruhnya, saya membayarnya satu suku atau lima puluh sen.
Saya tawarkan pada Adeli, apakah ia bersedia datang ke Uluanso mengajar kami. Akan disediakan segala kebutuhannya diluar upah satu balase (pak) garam ditambah uang empat ketip ( empat puluh sen).
Saya pulang dan seminggu kemudian Adeli tiba pula. Ia menginap di rumah kami. Dalam tempo seminggu kami berlatih musik bambu terus-menerus di rumah kami. Dari jam tujuh pagi sampai jam sepuluh malam. Para pemudi memasak dan kami makan beramai-ramai.
Selesai belajar tujuh hari, pada ibadah Minggu musik kami diperdengarkan kepada Jemaat dengan membawa-kan lagu-lagu gereja. Ternyata mendapat sambutan yang baik dan sukses. Bahkan pada tahun itu juga, Jemaat Kumpi memanggil saya dan Guru Sudaeli Lapoliwa mengajar mereka musik bambu selama seminggu sampai selesai.
Pada tahun 1947 Guru Gansinale dari Landangi, Sulawesi Selatan singgah bermalam di Ulu’anso. Ia minta saya bersedia ke Landangi mengajar kaum muda dan anak-anak sekolah di sana bermain musik bambu. Permintaan ini dipenuhi. Apalagi guru ini masih keluarga Ibu Gansinale di Beteleme.
Saya pergi ke Landangi bersama Mangati Lapoliwa. Berjalan kaki selama satu hari dan tiba serta menginap di rumah Guru. Kami mengajar selama seminggu. Saya mengajar pemuda dan Mangati mengajar anak-anak sekolah. Kami menerima upah satu rupiah dibagi dua. Dalam pertandingan perayaan hari-hari besar seperti hari proklamasi kemerdekaan setiap tahun di kota Malili mereka selalu Juara Satu. Hasilnya memuaskan.
Membantu Orangtua
Sejalan dengan pertumbuhanku, pemikiranku juga makin bertambah sehingga dapat membantu orang tua bekerja. Keluar sekolah, saya dan teman-teman beramai-ramai pergi mobonde, yaitu membersihkan rumput di kebun sebelum ditanami padi. Kami mengerjakan kebun secara beramai-ramai agar cepat tuntas selesai satu hari. Dari pada mengerjakan sendiri dalam waktu lama lagi pula membosankan. Caranya dengan merae, yaitu bekerja gotong-royong secara arisan antara sesama anggota kelompok dengan perhitungan hari. Pada hari yang ditentukan anggota-anggota yang telah dibantu akan datang pula beramai-ramai mo’owohi, yaitu bekerja sebagai timbal baliknya.
Begitu pula terkadang ayah menyuruh kami beberapa orang ke hutan mencari damar untuk dibuat alat penerangan atau obor pada malam hari. Sama dengan ketika aku masih dalam gendongan, dalam seminggu rata-rata kami tinggal di kampung hanya dua hari. Sabtu malam ikut moagama dan hari Minggu ibadah. Hari lainnya di kebun.
Adikku ada tujuh orang. Ketika mulai sekolah, aku setiap hari disuruh mengantarkan mereka melewati hutan-hutan sampai di sekolah di Uluanso. Begitu pula kembalinya ke kebun.
Berita Kemerdekaan
Pada bulan April 1945 rombongan sensei Sungka Marunduh, Junius Tumakaka dan Saguni datang ke Uluanso. Mereka menemui Kepala Kampung dan Guru Legalia Mandake lalu mencari saya serta beberapa kawan. Mereka memberitahukan bahwa telah tiba saatnya bangsa kita untuk merdeka. Berdiri sendiri dan berpemerintahan sendiri. Untuk itu kita semua harus berjuang melawan penjajah, baik Jepang maupun Nica/Belanda di bawah panji-panji Merah Putih.
Setelah proklamasi kemerdekaan tersiar tanggal 17 Agustus 1945, Barisan Pemuda Seinendan di Kolonodale, Sorowako, Malili, Wotu dan Palopo berbalik melawan Jepang dan kemudian menghadapi Nica/Belanda.
Tentara Jepang masuk ke Uluanso tahun 1943. Mereka memang benar-benar kejam. Mereka memaksa semua orang ikut bekerja paksa. Bukan saja di daerah sekitar tetapi juga ke Kendari membangun lapangan terbang untuk keperluan perang mereka. Berkali-kali terjadi pemboman oleh tentara Sekutu. Banyak rakyat pekerja paksa ikut jadi korban.
Orang tua-tua yang masih tesisa dipaksa mengum-pulkan bahan makanan dari rumah ke rumah untuk keperluan pasukan mereka terutama beras, ayam dan arak. Kalau kurang, orang tua-tua itu dipukuli dengan rotan besar. Tidak heran, kalau kedatangan para pejuang disambut hangat.
Tahun 1946 Barisan Pemuda di bawah pimpinan Andi Panggurisan dan Mohamad Nasir memasuki Dongi, Sorowako dan Malili. Mereka menyerang Nica, memba-kar atau menghancurkan jembatan-jembatan dengan ranjau. Banyak pemuda yang gugur, tetapi mereka berhasil merebut dua pucuk senjata LE dan banyak peluru.
Awal tahun 1947 terjadi pertempuran sengit memper-tahankan Nuha dan Dongi. Barisan pemuda yang dipimpin Andi Panggurisan, Moh, Nasir, Sungka Marunduh, Saguni dan Junius Tumakaka berhasil memukul mundur satu regu pasukan Belanda yang menyerang dan merebut satu pucuk mortir. Persediaan makanan bagi pejuang disiapkan dari Uluanso.
Tahun 1948 saya masuk Kolonodale sebagai mata-mata Barisan Merah Putih untuk mengamati tangsi Nica. Tetapi tentara Nica malah menawarkan apakah saya mau masuk militer Belanda lalu saya jawab mau. Kupikir, dengan demikian saya bisa mendapatkan informasi militer lebih banyak dari dalam. Saya diterima langsung. Tetapi mereka mengirim saya ke Manado, terus ke Batavia (Jakarta) kemudian ditempatkan ke Depot Luuchvaar Trupen 16 Velheis Basis Kalijati. Tahun 1949 dipindahkan ke Kompi 5 Luuchvaar Trupen I Velheis Basis Cililitan. Namun jiwa saya tetap merah putih. Saya pernah membantu pemuda merah putih di desa Tenggulun berupa informasi, peluru, senjata dan pakaian hijau.
Ada teman satu regu, yaitu Timbuleng, lari ke Jogyakarta bergabung dengan barisan pejuang yang dipimpin Kolonel Suharto. Kemudian lari lagi tiga orang, yaitu Mokoginta, Mokodongan dan Mokodompit lengkap dengan senjata bren dan peluru-pelurunya.
Karena adanya pelarian-pelarian itu kami dipindahkan ke Lapangan Udara Cililitan (IVB) Jakarta dan disel semua. Saya juga makin terbakar oleh semangat perjuangan pemuda ketika itu. Maka ketika dilepas dari sel, saya membeli tustel dan mengambil foto-foto semua pesawat terbang militer : pembom B-25, Dakota, tempat-tempat penyimpanan bom dan gudang peluru yang ada di pangkalan. Saya kirim sebagian kepada seorang kawan pejuang di Bandung dan ke Markas Divisi tertinggi di Jogyakarta. Beberapa sisa foto tersebut masih saya simpan.
Takut rahasia saya bocor, tahun 1949 saya melarikan diri dan kemudian bergabung dengan pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Makasar dan Manado sampai penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Atas semua ini saya mendapat piagam penghargaan dari Menteri Pertahanan Keamanan/Pang-lima ABRI sebagai perintis kemerdekaan dan menjadi anggota Legiun Veteran RI.
Di Ulu’anso diam-diam orangtua mulai mencarikan saya seorang calon isteri. Suku Bahono sangat peka dengan adat. Adat lama tidak mengijinkan pemuda atau pemudi menentukan sendiri pasangannya. Kalau Kakek /Nenek masih hidup, merekalah yang berhak memilih dari famili yang sudah jauh tiga lapis turunan. Kalau sudah kawin maka si pemuda harus tinggal bersama isteri dengan orangtua perempuan selama satu tahun dan menjamin mereka.
Saya pun menikah bulan Agustus 1948 atas pilihan orangtua dengan gadis yang masih mempunyai hubungan keluarga. Tetapi sebagai anggota militer KNIL yang bertugas di Jawa, tak memungkinkan saya untuk tinggal menetap di lingkungan keluarga orangtua isteri. Akhirnya terpaksa bercerai menurut aturan adat dengan anak satu. Dengan makin berkembangnya pendidikan, adat kebiasaan ini lama kelamaan mulai ditinggalkan.
Sesudah penyerahan kedaulatan kepada RI, saya kembali ke kampung. Tetapi karena selalu diganggu TII/Kahar Muzakar, saya hanya tiga bulan di kampung. Saya berangkat ke Makasar. Tahun 1950 diterima menjadi pegawai sipil Mobrig Kompi 5258 di Tello dan kemudian tahun 1953-1955 menjadi pegawai sipil AURI di Mandai.
Saya mengikuti ujian masuk polisi dan lulus sebagai anggota Mobile Brigade (Mobrig) lalu ditempat-kan di Ternate pada Kompi 5121.
Berita Mengenaskan
Tahun 1956 saya mendapat surat dari adik Lindama Lagasi, ketika itu masih siswa SGA di Kolonodale. Ia menyampaikan berita duka bahwa adik kandung saya perempuan Uranili bersama seorang anak gadis Koro-walelo dibunuh secara sadis dan mayat mereka dibuang kira-kira 150 meter dari air terjun pegunungan antara Korololama dan Koromatantu.
Saya membayangkan suasana ganas itu di kampung. Apalagi ketika itu adik saya sedang hamil tiga bulan untuk anaknya yang ke empat. Saya sangat kecewa. Setiap hari bahkan malam kami berpatroli di perbatasan Irian Barat di bawah bayang-bayang pesawat pengintai Belanda. Tetapi adikku mendapat perlakuan demikian. Saya terkejut dan pingsan, tidak dapat bertugas selama satu hari.
Seminggu kemudian saya mendapat kabar kedua pelakunya, Mansure dan Supu telah tertangkap. Ketika pemuda GPST memasuki Kolonodale, mereka dijatuhi hukuman yang setimpal, hukum rimba sesuai kondisi keadaan perang ketika itu.
Bertemu jodoh
Tidak lama setelah itu, saya mendapatkan jodoh pilihan sendiri, Juliana Poli’i, anak gadis Manado. Kami menikah tanggal 27 Maret 1957 di Ternate tempat saya bertugas.
Tetapi belum lama menikah, terjadi konflik antar sesama alat negara di Ternate. Kesatuan kami meng-amankan berbagai senjata yang ditinggalkan polisi umum ketika mengungsi ke luar kota, tetapi lima pucuk pistol yang rusak saya lupa laporkan kepada atasan. Ada yang melaporkan bahwa saya akan menyeberang ke pihak pemberontak Permesta dengan membawa senjata itu. Akibatnya saya disel di Markas Mobrig Tantuy Ambon.
Jaksa militer menuntut saya hukuman mati. Tetapi Pengadilan militer kemudian memutuskan, tuduhan terlibat pemberontakan tidak terbukti dan hanya lalai. Saya hanya dikenakan putusan ringan dan langsung bebas.
Mendapat penglihatan
Namun melalui peristiwa ini saya mendapat pengalaman iman yang luar biasa. Sebuah penglihatan yang menyebabkan saya terus mendalami Alkitab. Bahkan sampai diurapi menjadi Pendeta Muda oleh seorang misionaris Amerika, Rev. Parson. Saya merasa ada pembaharuan dalam hidup keimanan saya. Sehingga saya menambahkan kata “Marthen” pada awal nama yang telah diberikan orangtua kepada saya menjadi Marthen Latarima Lapoliwa.
Setelah bebas saya dapat berkumpul kembali dengan isteri yang sudah melahirkan anak kami yang pertama. Tahun 1962 saya mendapat panggilan untuk diaktifkan kembali sebagai polisi di Manado. Tahun 1963 pindah ke Polres Poso, tahun 1965 di Kolonodale dan terakhir bertugas di Polsek Lembo sampai pensiun dengan pangkat Peltu tahun 1975. Saya bersyukur pada Tuhan, saya masih diberi umur panjang dengan sepuluh orang anak. Setiap ada kesempatan saya selalu berusaha meningkatkan pengetahuan yang pada masa mudaku tak banyak peluang untuk itu. Saya mengikuti ujian persamaan SMP dan lulus, lalu ujian persamaan SMEA Negeri di Poso, juga lulus.
Dalam usia 73 tahun sekarang ( th.2000), saya merasa tergerak dan beruntung untuk menuliskan kembali kisah ceritera kisah-kisah pengalaman sejarah dari para leluhur suku Bahono yang tak ternilai harganya ini dalam bentuk buku. Bersumber langsung dari penuturan pendamping terdekat dari tokoh yang dituakan para leluhur ini ditambah dengan tambahan disana-sini yang diambil dari beberapa sumber lainnya sekedar untuk melengkapinya.
Buku ini tidaklah dimaksudkan untuk menonjolkan seseorang secara tidak wajar atau membangkitkan sukuisme, tetapi harapan kami mudah-mudahan akan bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan generasi penerus bangsa kita khususnya dari keluarga besar suku Bahono mengenai sejarah dan budaya masa lalu mereka, sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia yang beraneka warna dan patut dibanggakan.
Kisah sejarah sangat berharga ini ditinggalkan oleh leluhur-leluhur, kakek/nenek Lagasi /Wainugi, dan sebagai cucu penerus, terlebih sebagai suku bangsa Tomobahono/Lasi dan penggemar ilmu pengetahuan. Saya bersama adik Saminasa Lapoliwa yang membantu saya selaku editor, dengan senang hati akan menerima kritikan untuk penambahan / perobahan dan perbaikan guna menyempurnakan isi buku ini.
Poso, Juni 2001
Penulis
No comments:
Post a Comment