Pada awal-awalnya lembaga KPU dan BAWASLU bagai diposisikan sebagai
lembaga yang sangat disegani. Baik pada masa kampanye, pendaftaran Capres/Cawapres,
pengumuman hasil pemeriksaan kesehatan para calon, dan masa kampanye.
Setiap kata dan ucapan para pimpinan KPU disimak dengan penuh perhatian
dan hati-hati oleh para peserta pemilu
dan berupaya agar tidak mengeluarkan ucapan dan sikap yang
bertendensi blunder. Karena kalau melanggar, secara serta-merta akan dapat
sanksi atau teguran dari KPU atau BAWASLU. Contohnya ketika Capres nomor 2 Joko Widodo pada undian nomor peserta mengacungkan
simbol “dua jari”, yang oleh beberapa pihak sudah dianggap kampanye sebelum
masa kampanye.
Akan tetapi citra KPU dan BAWASLU itu kemudian berbalik seratus delapan
puluh derajat ketika Kelompok Merah
Putih menarik diri dari proses Pilpres dan menginstruksikan saksi-sak sinya walkout dari sidang rekapitulasi akhir
suara di KPU pusat. Nampak pihak KPU seperti sangat terpukul, mungkin karena
merasa gagal menyelesaikan tugas mereka yang hampir rampung secara damai.
Puncaknya ketika pada akhirnya Kelompok Merah Putih mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Jadilah KPU dan BAWASLU menjadi pihak yang defensif
sebagai tergugat.
Lepas dari bagaimana aturan-aturan positif yang kini berlaku, kita sangat
prihatin melihat keberadaan KPU dan BAWASLU kini, terutama
fungsionaris-fungsionaris pimpinannya. Baik tingkat pusat maupun Daerah.
Pada saat sibuk menghadapi persidangan di MK, pada saat yang sama juga
harus mengikuti persidangan di DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Terkadang sampai malam hari. Sebagian lagi diperkarakan ke polisi, ada yang
diancam mau diculik. Di mana manusiawinya ???
Ada pengacara-pengacara, yang tidak puas dengan berargumentasi di
persidangan MK, masih aktif lagi berdebat bak kampanye di forum televisi. Untunglah
belum ada hakim sidang yang ikut-ikut dan diharapkan jangan sampai terjadi. Sementara
sidang MK, terjadi pengerahan massa demonstran di sekitar persidangan MK. Di mana etikanya ???
Satu-satunya segi positif dari penggugatan ke MK ini mungkin sebagai
pembelajaran untuk masa depan. Agar UU Pemilu lebih disempurnakan lagi. Agar para
penyelenggara Pemilu lebih hati-hati, netral dan cermat. Tapi yang
dikhawatirkan, jangan-jangan nanti tidak ada lagi yang mau terlibat dalam
penyelenggaraan Pemilu !!! Kapok.
Hal
lainnya yang membuat prihatin, hajatan pemilu kita merupakan proses
demokrasi yang sangat sangat boroooos. Boros uang rakyat, boros waktu,
boros
energi. Semula kita mengira, bahwa dengan penetapan MK, Pilpres cukup
satu
putaran, akan menghemat biaya Rp 1,3
trilyun. Tetapi dengan adanya gugatan ini, berapa lagi uang rakyat yang
terpaksa harus dihabiskan. Biaya sidang, biaya hakim para pengacara,
akomodasi, saksi, pengamanan oleh ribuan aparat dan seterusnya.
Masih lumayan kalau proses persidangan-persidangan itu bermutu dengan
argumentasi yang berkwalitas sehingga rakyat yang menyaksikan mendapat
pembelajaran. Sayangnya pada sidang ini yang ditampilkan banyak saksi-saksi “ kebingungan”, padahal
semula diharapkan orang-orang pilihan yang terbaik. Ya, bagaimana lagi...?
Mudah-mudahan para pemimpin ke depan dapat memperbaiki semua ini. ***
No comments:
Post a Comment