Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto
tanggal 9 Mei 2017 akhirnya menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada Ahok,
Gubernur KDKI Jakarta dengan perintah untuk segera dikenakan penahanan.
Keputusan
tersebut menimbulkan kontroversial, karena ada yang menganggap tidak adil,
terlalu berat atau ringan dan ada yang merasa sudah cukup pantas. Yang paling banyak dipersoalkan adalah
masalah penahanan. Pihak Pengacara Ahok menganggap Majelis Hakim tidak
berwenang lagi memerintahkan penahanan
karena proses pemeriksaannya sudah selesai.
Demikian
pula alasan penahanannya tidak dijelaskan. Karena menurut undang-undang,
penahanan dilakukan bila tersangka/terdakwa
dikhawatirkan akan melarikan diri, akan menghilangkan barang bukti atau
mengulangi lagi perbuatannya. Bahwa ia akan melarikan diri tidak mungkin karena
ia sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menghilangkan barang bukti juga tak mungkin,
karena semuanya sudah dibundel jadi materi persidangan. Mau mengulangi lagi
perbuatan yang dituduhkan, sama juga bunuh diri.
Penulis
bukan berlatar belakang bidang hukum, namun mempunyai pertanyaan sendiri
menyangkut pertimbangan Majelis Hakim.
Pertama, kesaksian dari pihak Penasihat Hukum dan keterangan
terdakwa, sama sekali atau kurang dipertimbangkan, khususnya mengenai
penafsiran surat Al Maidah 51. Penafsiran berbeda-beda. Demikian pula dalam hal
pendapat para ahli yang berbeda satu sama lain : apakah ucapan terdakwa
merupakan penistaan agama atau bukan.
Menurut saksi ahli bahasa dari Universitas Indonesia, dengan adanya kata "pakai" maka tidak ada penistaan surat Al Maidah 51 dalam ucapa Ahok. Al Qur'an tidak dinista, tetapi menurut Ahok, ada orang-orang yang menyalahgunakan untuk maksud tiak baik.
Mungkin sebagai ilustrasi dapat dibandingkan dengan kalimat ini : "Ada organisasi masa yang pake Pancasila untuk melindungi diri dari gugatan hukum". Pancasila tidak dihujat atau netral, tetapi Ormas tersebut mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasinya. Ketika dituduh anti Pancasila karena dalam kegiatan-kegiatan dan pernyataan-pernyataan mereka sering tidak selaras dengan Pancasila, mereka membantah dengan menunjukan Anggaran Dasar organisasinya yang menyebut berdasar Pancasila. Jadi ada penyalahgunaan Pancasila dibalik perbuatan anti Pancasila.
Kalau tak salah, dalam hal ada ketidakpastian atau rancu demikian, hakim harus memilih yang menguntungkan terdakwa. Mungkin dengan alasan demikianlah maka Tim Jaksa sebelumnya menggugurkan tuduhan pertama, yaitu penistaan agama, karena mereka tidak yakin.
Menurut saksi ahli bahasa dari Universitas Indonesia, dengan adanya kata "pakai" maka tidak ada penistaan surat Al Maidah 51 dalam ucapa Ahok. Al Qur'an tidak dinista, tetapi menurut Ahok, ada orang-orang yang menyalahgunakan untuk maksud tiak baik.
Mungkin sebagai ilustrasi dapat dibandingkan dengan kalimat ini : "Ada organisasi masa yang pake Pancasila untuk melindungi diri dari gugatan hukum". Pancasila tidak dihujat atau netral, tetapi Ormas tersebut mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasinya. Ketika dituduh anti Pancasila karena dalam kegiatan-kegiatan dan pernyataan-pernyataan mereka sering tidak selaras dengan Pancasila, mereka membantah dengan menunjukan Anggaran Dasar organisasinya yang menyebut berdasar Pancasila. Jadi ada penyalahgunaan Pancasila dibalik perbuatan anti Pancasila.
Kalau tak salah, dalam hal ada ketidakpastian atau rancu demikian, hakim harus memilih yang menguntungkan terdakwa. Mungkin dengan alasan demikianlah maka Tim Jaksa sebelumnya menggugurkan tuduhan pertama, yaitu penistaan agama, karena mereka tidak yakin.
Kedua, pertimbangan mengenai unsur niat dan unsur sengaja
dalam kasus perbuatan pidana. Majelis hanya
berbicara mengenai ucapan dan tulisan dalam buku karya terdakwa sebagai
referensi kemudian menyimpulkan dengan asumsi bahwa terdakwa benar mempunyai
niat dan sengaja untuk melakukan penistaan agama. Padahal, niat seseorang dalam
sesuatu hal, setidaknya dapat dinilai dari ucapan lisan, sikap perilaku dan
perbuatan-perbuatan seseorang sebelumnya. Dalam kasus ini, majelis hakim hanya
menilai ucapan dan tulisan, tetapi tidak mempertimbangkan sikap Ahok di
lingkungan keluarganya. Bahwa ia mempunyai orangtua dan saudara angkat yang
Islam dan sangat dihormatinya. Demikian juga perbuatan-perbuatan Ahok sebagai
Gubernur yang membangun banyak sarana-sarana ibadah Islam, membiayayi para
pengurus masjid untuk naik haji, selalu menyumbangkan hewan kurban dan banyak
lagi. Hal ini belum pernah dilakukan Gubernur sebelumnya, yang Muslim
sekalipun. Apakah orang demikian menurut pikiran waras akan punya niat jahat ?
Niat juga adalah selalu
sejalan dengan rencana. Niat Ahok ke Pulau Pramuka adalah untuk memajukan budi
daya ikan. Bukan untuk menghina agama !
Penulis khawatir apakah keputusan hakim ini tidak didasarkan pada pertimbangan politik.
Keputusan dirancang terlebih dahulu dengan kalkulasi politik lalu kemudian
dicari dalil-dalil yang mendukung keputusan. Sedang fakta dan kesaksian yang
akan melemahkan keputusan dikesampingkan. Jadi tiak obyektif.
Protes dari seluruh dunia juga mulai muncul.
Dari tokoh-tokoh dunia maupun organisasi internasional seperti PBB, Asean dll.
Mudah-mudahan tidak sampai menimbulkan dampak ekonomi yang berkelanjutan. Yang
pasti telah mempunyai pengaruh pada Bursa Efek dan juga nilai tukar rupiah.
Jangan sampai Amerika atau Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan negara-negara
lain memboikot produk-produk eksport Indoneia sebagai protes.***
No comments:
Post a Comment