Kalau DPR yang anggota-anggotanya
terdiri dari para perwakilan Partai Politik menginginkan delik korupsi
dimasukan ke dalam R-KUHP dapatlah dimengerti.
Sudah lama dan dengan berbagai
cara lembaga itu terkesan ingin melenyapkan KPK atau paling sedikit
mengamputasi kewenangannya sehingga menjadi tak berdaya seperti nasib Komite
Anti Korupsi (KAK) atau Komisi IV pimpinan Bung Hatta dahulu.
Mulai dari mencoba membatasi usia
KPK dengan dalih - dahulu KPK direkayasa hanya untuk “sementara” sambil menunggu
Kepolisian dan Kejaksaan dianggap mampu memberantas korupsi. Belum cukup, DPR minta pula supaya kewenangan penyadapan KPK
yang sangat ditakuti koruptor itu dibatasi.
Dengan membentuk Dewan Pengawaslah, harus
seijin pengadilan dululah, dan
macam-macam lagi.
Tapi sejauh ini semua itu gagal
total akibat penentangan dan perjuangan KPK, LSM dan masyarakat anti korupsi. Dan
hasilnya ? Berapa banyak politikus-politikus partai di DPR-DPRD yang
dikerangkengkan KPK. Berapa banyak gubernur, Bupati,Walikota usungan partai
politik yang masuk bui akibat operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Maka tak heranlah kalau masyarakat anti korupsi kini begitu curiga setiap kali DPR atau pemerintah atau
kedua-duanya mau mengutak-utik pasal-pasal hukum anti korupsi tanpa melibatkan
mereka..
Dengan memasukan pasal-pasal
delik korupsi ke R-KUHP, maka mereka khawatir korupsi nanti akan dianggap hanya
sebagai delik pelanggaran hukum biasa yang menjadi kewenangan Kepolisian dan
Kejaksaan. Dengan sendirinya KPK akan kehilangan tugas pokok dan fungsinya dan
pada akhirnya bubar.
Belakangan beberapa polititikus
di DPR maupun di pemerintahan kembali menyuarakan “lagu lama”. Bahwa dimasukkannya
delik korupsi di RKUHP “tak akan melemahkan KPK, “tak akan menghilangkan KPK”. “Tidak
ada niat untuk melemahkan KPK”, dan
sebagainya.
Tetapi KPK dan masyarakat anti koupsi tidak hanya mau
dengar niat atau kata-kata. Tetapi apa yang tercantum dalam pasal-pasal dan apa dampak dari pelaksanaannya nanti.
Ada beberapa hal yang
dipertanyakan dalam RKUHP itu. Seperti ancaman hukuman yang lebih ringan dari
ancaman hukuman menurut UU KPK. Demikian pula pasal peralihan yang menyatakan
setahun setelah berlakunya UUKUHP, undang-undang khusus yang menyangkut materi yang sudah
termuat di KUHP dinyatakan tak berlaku lagi. Berarti UU KPK dapat diangap
termasuk.
Tapi hal itu dibantah pihak DPR
dan menganggap pihak KPK tidak mengerti. Bahkan ada yang sampai menuduh KPK mau
menentang Pemerintah.
Padahal orang-orang KPK yang rata-rata
doktor hukum, siang malam bergelimang dengan permasalahan korupsi di lapangan.
Sampai-sampai ada yang disiram air keras dan kehilangan mata. Jadi siapa lebih
paham soal korupsi. KPK atau DPR ?
Kalau ada segelintir pejabat
Pemerintah, secara terus terang atau tersirat menyetujui pelemahan bahkan
pembubaran KPK, itupun dapat dimengerti. Karena mereka toh tetap “petugas
partai” yang harus tetap mendukung atau setidak-tidaknya bersikap sehaluan
dengan beleid partai pengusungnya. Kalau
tidak, bisa dicopot dari jabatannya. Lebih-lebih
menjelang Pilkada, Pileg dan Pilpres mendatang ini.
Mudah-mudahan saja di balik proses RKUHP ini tidak ada sponsor-sponsor
misterius yang kelak akan menikmati manisnya dari RUU ini bila jadi disahkan
dakam keadaannya yang masih membingungkan seperti sekarang. Buah manis itu
nanti baru akan nampak ketika dimainkan di sidang-sidang pengadilan.
Anehnya lagi, kontroversi RKUHP yang menyangkut KPK ini, terjadi pada
saat yang sama dengan terjadinya silang pendapat mengenai larangan bekas narapidana koruptor ikut pemilihan
legislatif. Di sini Komisi Pemilihan Umum (KPU) lah yang menjadi sasaran
keroyokan.
Gara-garanya, KPU sesuai
kewenangannya membuat peraturan yang melarang para mantan koruptor ikut
pemilihan anggota DPR/DPRD. Tapi
lagi-lagi DPR bersama Bawaslu, Menkumham yang juga kader partai politik
enggan menandatanganinya. Dalam pertarungan ini KPK berada di pihak KPU karena penentangannya
terhadap korupsi. Konon Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sepakat dengan
kebijakan KPU.
Apakah dibalik semua ini ada
terkandung niat untuk merekrut kembali
kader-kader partai yang telah cacat hukum dan etika itu untuk kembali berkiprah
di panggung politik karena dianggap masih potensial ? Entahlah.***
No comments:
Post a Comment