Ya, Ahok
datang banyak yang merinding. Terutama orang-orang yang selama ini mengambil
keuntungan dan menikmati ketidakjelasan pengelolaan perusahaan minyak dan gas
bumi negeri kita Pertamina. Karena itu mereka berusaha merintangi orang jujur,
tegas dan berintegritas tinggi seperti Ahok masuk ke Pertamina dengan berbagai
komentar. Lagu lama “penista agama”lah, mulut kasarlah, atau barangkali juga
mengorganisir organisasi massa menyatakan penolakan.
Tapi meski
Ahok bukan sebagai Direktur Utama yang memegang kewenangan melakukan eksekusi,
namun sebagai Komisaris Utama pun kita yakin Ahok akan dapat membawa perubahan.
Karena di atasnya ada Menteri BUMN Erick Thohir mantan pengusaha sukses yang juga
kini sedang melakukan banyak gebrakan di BUMN-BUMN serta di atasnya lagi ada
Presiden Jokowi yang memang sejak lama sudah tak sabar untuk melakukan
pembenahan di perusahaan andalan negeri ini. Selama ketiga strata ini tetap
konsisten pada tugas mulia mereka dan cepat tanggap, maka diharapkan Pertamina
akan dapat kembali pada masa kejayaannya dahulu ketika Pertamina mampu membawa
Indonesia duduk sejajar dengan negara-negara dunia pengeksport minyak, OPEC.
Mungkin ada
juga yang meragukaan kemampuan Ahok. Sama juga ketika ia baru masuk menjadi
orang nomor satu di Pemda DKI. Penulis sendiri ketika pertama kali melihat
fotonya sebagai Cagub yang ”baby face”
merasa seperti itu. Tapi ketika mengawali tugasnya dalam rapat perdana dengan
para pejabat bakal bawahannya, segeralah terasa wataknya yang tegas. Saat
seorang menyuarakan komentar agak miring, Ahok cepat menimpali : “Hati-hati
kalau ngomong, saya ini Auditor !”. Semua terdiam dan tak ada lagi yang
coba-coba mau menguji kebolehan pemimpin baru ini.
Gebrakan
lain yang masih di lingkungan internal adalah “menginstirahatkan” sementara
beberapa Walikotamadya yang kinerjanya kurang memuaskan. Lalu memperbaiki
sistim penggajian pegawai yang sebelumnya dirasakan kurang adil. Yang rajin dan
berprestasi sama saja penghasilannya dengan pegawai yang pemalas dan suka
berleha-leha. Maka diberlakukanlah penggajian dengan sistim tunjangan kinerja.
Sejak itu kinerja para pegawai Pemda DKI bertambah baik. Gaji mereka juga
dinaikkan secara signifikan sehingga membuat pegawai dari beberapa Pemda lain
merasa iri. Rasa bangga sebagai pegawai Pemda DKI juga meningkat. Soal prestasi
Ahok dalam pembangunan dan pelayanan kesejahteraan warga Jakarta, ruang ini
tentulah tak cukup untuk memaparkannya.
Umumnya orang sudah mengetahuinya.
Lalu, apa
kira-kira yang dapat dilakukan Ahok sebagai Komisaris Utama di Pertamina ?
Fungsi utama para Komisaris dan Inspektorat pada umumnya adalah menjaga agar “Das Sein sesuai dengan
Das Sollen”. Artinya, pelaksanaan sesuai dengan yang diharapkan atau yang seharusnya.
Yang seharusnya ini bisa berupa, eksekusi oleh Direksi agar sesuai dengan
keputusan Direksi bersama Dewan Komisaris, kebijaksanaan Direksi tidak
menyimpang dari peraturan atau Kebijaksanaan kembaga lebih tinggi seperti
Undang-undang dan Konstitusi dan sebagainya.
Maka yang
mungkin dapat dilakukan Ahok antara lain adalah :
1. Mengawal
agar semua keputusan dan program kerja Direksi maupun eksekuasinya benar-benar
sesuai dengan rencana Pemerintah untuk kemakmuran rakyat.
2. Mengevaluasi
kembali seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang berlaku di
Pertamina yang diperkirakan menghambat pengembangan perusahaan minyak negara
itu. Baik yang menghambat upaya ekslorasi, tata import maupun distribusi.
3. Mengevaluasi
kembali sistim pengendalian managemen. Meliputi organisasi agar efisien,
pengambilan kebijaksanaan, personalia yang tepat, prosedur dan sistem pelaporan
yang semuanya dilakukan secara transparan.
4. Merekomendasikan
adanya efisiensi. Pos-pos pengeluaran yang dinilai tidak begitu penting dan
hanya memboroskan keuangan perusahaan dihapus atau dikurangi. Bahkan bila perlu
berbagai tunjangan direksi dan komisaris juga dipangkas.
5. Mengevaluasi
kembali mitra-mitra kerja Pertamina. Mereka yang cenderung melakukan bisnis
gaya mafia direkomendasikan untuk diputus.
Apakah
Ahok akan berhasil membawa perubahan pada Pertamina ? Kembali lagi kepada
konsistensi para pengambil keputusan dan eksekutor di tingkat atasnya. Menteri
BUMN dan Presiden. Sebab, sejak dahulu lembaga pengawas internal seperti BPKP
dan Inspektrorat sudah sering dianggap hanya sebagai “mata dan telinga” para
pimpinan organisasi yang mempunyai kewenangan eksekusi. Para pengawas tidak
berwenang melakukan eksekusi. Hanya melaporkan kepada pimpinan organisasi
selaku eksekutor adanya temuan-temuan, baik positif maupun negatif, disertai
saran rekomendasi untuk ditindaklanjuti.
Selanjutnya pimpinan organisasilah yang memutuskan
apakah akan melaksanakan saran rekomendasi itu secara tegas, hanya menganjurkan
untuk dilaksanakan atau hanya mendiamkan saja dengan berbagai alasan. Seperti
pengalaman pahit penulis dahulu sebagai auditor bidang ASN. Seorang pegawai
yang sudah dua tahun tidak masuk kerja direkomendasikan untuk diberhentikan
tidak dengan hormat. Karena menurut peraturan, pegawai yang sudah enam bulan
berturut-turut tidak masuk kerja harus diberhentikan. Tetapi apa yang terjadi ?
Pegawai tersebut muncul kembali dengan menerima rapel gaji selama tidak bekerja
bahkan pangkatnya dinaikkan.
Tentang Ahok, tak diragukan lagi ketegasan dan
konsistensinya. Buktinya ia bisa berkata
“tidak” kepada Prabowo Subiyanto ketika Ketua Umum Gerindra itu menyatakan
penolakannya dahulu atas sistim pemilihan presiden secara langsung. Ahok tidak
sependapat sehingga berakibat ia didepak dari partai yang dahulu menjadi pengusungnya
itu sebagai Gagub DKI. Ia juga berani berkata tidak pada hasil pemeriksaan BPK
yang bahkan berujung pada pemenjaraan salah satu auditor lembaga pengawasan
itu. Kalau kepada mantan Jenderal Kopassus saja dia bisa berkata tidak, mengapa dia tidak bisa melakukan hal yang sama kepada orang-orang yang coba menyuap, pejabat atau mafia yang ingin menakut-nakuti ?
Kalau lembaga-lembaga pemerintah lain berupaya tidak membuat
masalah dengan BPKP atau KPK, Ahok malah seperti menantang dan
memancing-mancing kedua lembaga pengawasan itu ikut mengamati pemerintahan di
DKI. Rupanya itu merupakan salah satu triknya untuk melibatkan KPK dan BPKP
untuk mencegah agar aparatnya bebas dari niat korupsi tanpa mengeluarkan biaya.***
No comments:
Post a Comment