Pada suatu pagi aku bekenalan dengan Ardi Syarif, seorang pemuda asal Padang. Rumahnya bersebelahan dengan kantor SKM Udjana tempatku bekerja. Ia sedang membaca koran Harian KAMI, yang baru terbit pagi itu. Koran tabloid ini adalah salah satu media informasi mahasiswa yang tegabung dalam oganisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) , yang ketika itu sedang gencar-gencarnya melakukan demonstrasi. Mereka menuntut pelaksanaan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu pembubaran PKI, resuffle Kabinet dan penurunan harga-harga kebutuhan pokok rakyat.
Kenalan baru ini ternyata mahasiwa UI dan juga aktif di Harian KAMI. Aku menyatakan keinginanku untuk bekerja di surat kabar harian sebagai korektor dan apakah masih ada lowongan di Harian KAMI. Kukatakan aku mahasiswa juga dari Univesitas Pancasila. Pernah ikut bergabung dalam demonstrasi di halaman kampus UI Salemba.
Tanggapan Ardy ternyata sungguh baik. Saat itu juga ia mengajak aku ke Kantor Harian KAMI yang letaknya hanya beberapa rumah jauhnya. Ia memperkenalkan aku dengan seorang pemuda yang ramah yang sering disapa "Oje" oleh kawan-kawannya. Ternyata dia tidak lain adalah budayawan Satyagraha Hurip, dan di Harian Kami ia sebagai Seketaris Perubahaan. Oje rupanya hanya nama samarannya dari singkatan "Orang Jelata." Pembawaannya memang sederhana. Tulisan-tulisannya banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil.
Setelah wawancara singkat, aku dinyatakan diterima ! Sebagai korektor sesuai pengalamanku. Bahkan diminta kalau bisa agar langsung ikut ke percetakan dan mulai bekerja hari itu juga. Wah ! Alangkah sukacitanya aku. Dalam hati aku berulang-ulang bersyukur pada Tuhan.
Aku langsung ikut sampai-sampai lupa untuk pamit dan mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan rekan sekerja di Mingguan Udjana. Lebih menarik lagi, suratkabar ini ternyata didukung oleh banyak penulis, pengarang dan sastrawan muda dan terkenal. Sebagian diantara mereka adalah anggota-anggota kelompok yang biasa disebut “seniman Senen”, karena kerapkali betemu di kawasan Senen.
Disamping Satyagaha Hurip dan Bastari Asnin, yang sudah menjadi staf redaksi, terdapat juga seniman penulis tetap seperti Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Emil Salim dan HB. Yassin. Ada juga Dra. Trimurti, salah seorang peserta upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945. Kadang-kadang ada yang mengantarkan langsung naskahnya ke percetakan sehingga aku dapat mengenal mereka dari dekat.
Harian KAMI dicetak di Percetakan Pemandangan di Jalan Gunung Sahari, Ancol. Di situ aku dikenalkan dengan Achmad Fanany, satu-satunya karyawan yang menangani semua urusan pencetakan koran Harian KAMI. Mulai dari mengatur tata letak, pemberian kode jenis dan besar huruf untuk pencetakan setiap naskah dan sekaligus mengoreksinya.
Aku lihat ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki seperti tata letak dan juga kearsipan klise-klise foto. Dengan pengalaman kami masing-masing, aku dan Pak Fanany berusaha meningkatkan pewajahan Harian KAMI sehingga tidak kalah dengan koran-koran profesional lainnya. Sebagai koran pagi, kami harus bekerja sampai halaman-halaman koran siap cetak di mesin rotasi.
Sebagai media pembawa suara kesatuan aksi yang menentang penguasa ketika itu, Harian KAMI pun tak lepas dari berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak penguasa dan sisa-sisa pendukungnya. Markas Laskar Ampera Arief Rachman Hakim di Jalan Salemba Raya tidak berapa jauh dari kantor kami di Jalan Kramat VIII, suatu pagi diberondong senjata otomatis. Untung tak ada korban. Karena itu pada suatu malam seseorang meminjamkan sepucuk Sten . Kami boleh gunakan bila terpaksa. Senjata semi otomatis itu kami sembunyikan di bawah terpal penutup mesin.
Kami memang harus selalu waspada. Sewaktu-waktu koran kami pun bisa dapat serangan. Terbukti rekan kami, Bung Zaenal Zakse menjadi korban. Ia tewas tertembus sangkur militer ketika meliput demonstrasi tritura, di lapangan Monas. Padahal malam sebelumnya ia masih bersama-sama kami di percetakan.
Aku hanya dapat melihat sore itu jaket seragam kami yang dipakainya terhampar berlumuran darah di kantor. Ketika demonstrasi berlangsung aku sedang tidur istrahat di rumah. Ribuan orang siang itu mengantarkan ke pemakaman. Peristiwa itu tidak terpaut lama dengan gugurnya pahlawan Ampera Arief Rachman Hakim.
Pencetakan koran biasanya selesai menjelang subuh. Pengurus mengijinkan kami, membawa pulang sepuluh sampai duapuluh eksemplar koran yang dapat kami jual untuk tambahan biaya transport. Kami selalu pulang dengan menumpang mobil ekspedisi Bagian Pemasaran.
Ternyata koran kami selalu jadi rebutan. Setiap mobil kami lewat di perampatan Senen-Kramat, selalu dikerubuti pengecer koran yang berebut membeli koran kami. Alangkah senang dan bersyukurnya aku. Tuhan ternyata mendengar doa-doaku selama ini dan mulai memulihkan kehidupanku.
Kenalan baru ini ternyata mahasiwa UI dan juga aktif di Harian KAMI. Aku menyatakan keinginanku untuk bekerja di surat kabar harian sebagai korektor dan apakah masih ada lowongan di Harian KAMI. Kukatakan aku mahasiswa juga dari Univesitas Pancasila. Pernah ikut bergabung dalam demonstrasi di halaman kampus UI Salemba.
Tanggapan Ardy ternyata sungguh baik. Saat itu juga ia mengajak aku ke Kantor Harian KAMI yang letaknya hanya beberapa rumah jauhnya. Ia memperkenalkan aku dengan seorang pemuda yang ramah yang sering disapa "Oje" oleh kawan-kawannya. Ternyata dia tidak lain adalah budayawan Satyagraha Hurip, dan di Harian Kami ia sebagai Seketaris Perubahaan. Oje rupanya hanya nama samarannya dari singkatan "Orang Jelata." Pembawaannya memang sederhana. Tulisan-tulisannya banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil.
Setelah wawancara singkat, aku dinyatakan diterima ! Sebagai korektor sesuai pengalamanku. Bahkan diminta kalau bisa agar langsung ikut ke percetakan dan mulai bekerja hari itu juga. Wah ! Alangkah sukacitanya aku. Dalam hati aku berulang-ulang bersyukur pada Tuhan.
Aku langsung ikut sampai-sampai lupa untuk pamit dan mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan rekan sekerja di Mingguan Udjana. Lebih menarik lagi, suratkabar ini ternyata didukung oleh banyak penulis, pengarang dan sastrawan muda dan terkenal. Sebagian diantara mereka adalah anggota-anggota kelompok yang biasa disebut “seniman Senen”, karena kerapkali betemu di kawasan Senen.
Disamping Satyagaha Hurip dan Bastari Asnin, yang sudah menjadi staf redaksi, terdapat juga seniman penulis tetap seperti Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Emil Salim dan HB. Yassin. Ada juga Dra. Trimurti, salah seorang peserta upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945. Kadang-kadang ada yang mengantarkan langsung naskahnya ke percetakan sehingga aku dapat mengenal mereka dari dekat.
Harian KAMI dicetak di Percetakan Pemandangan di Jalan Gunung Sahari, Ancol. Di situ aku dikenalkan dengan Achmad Fanany, satu-satunya karyawan yang menangani semua urusan pencetakan koran Harian KAMI. Mulai dari mengatur tata letak, pemberian kode jenis dan besar huruf untuk pencetakan setiap naskah dan sekaligus mengoreksinya.
Aku lihat ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki seperti tata letak dan juga kearsipan klise-klise foto. Dengan pengalaman kami masing-masing, aku dan Pak Fanany berusaha meningkatkan pewajahan Harian KAMI sehingga tidak kalah dengan koran-koran profesional lainnya. Sebagai koran pagi, kami harus bekerja sampai halaman-halaman koran siap cetak di mesin rotasi.
Sebagai media pembawa suara kesatuan aksi yang menentang penguasa ketika itu, Harian KAMI pun tak lepas dari berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak penguasa dan sisa-sisa pendukungnya. Markas Laskar Ampera Arief Rachman Hakim di Jalan Salemba Raya tidak berapa jauh dari kantor kami di Jalan Kramat VIII, suatu pagi diberondong senjata otomatis. Untung tak ada korban. Karena itu pada suatu malam seseorang meminjamkan sepucuk Sten . Kami boleh gunakan bila terpaksa. Senjata semi otomatis itu kami sembunyikan di bawah terpal penutup mesin.
Kami memang harus selalu waspada. Sewaktu-waktu koran kami pun bisa dapat serangan. Terbukti rekan kami, Bung Zaenal Zakse menjadi korban. Ia tewas tertembus sangkur militer ketika meliput demonstrasi tritura, di lapangan Monas. Padahal malam sebelumnya ia masih bersama-sama kami di percetakan.
Aku hanya dapat melihat sore itu jaket seragam kami yang dipakainya terhampar berlumuran darah di kantor. Ketika demonstrasi berlangsung aku sedang tidur istrahat di rumah. Ribuan orang siang itu mengantarkan ke pemakaman. Peristiwa itu tidak terpaut lama dengan gugurnya pahlawan Ampera Arief Rachman Hakim.
Pencetakan koran biasanya selesai menjelang subuh. Pengurus mengijinkan kami, membawa pulang sepuluh sampai duapuluh eksemplar koran yang dapat kami jual untuk tambahan biaya transport. Kami selalu pulang dengan menumpang mobil ekspedisi Bagian Pemasaran.
Ternyata koran kami selalu jadi rebutan. Setiap mobil kami lewat di perampatan Senen-Kramat, selalu dikerubuti pengecer koran yang berebut membeli koran kami. Alangkah senang dan bersyukurnya aku. Tuhan ternyata mendengar doa-doaku selama ini dan mulai memulihkan kehidupanku.
Kembali Kuliah
Dari penjualan koran gratis yang
kudapatkan, aku dapat mencukupi biaya tansport ke tempat kerja dan biaya sehari-hari, bahkan dapat membeli pakaian
baru. Aku juga merasa sangat tertolong dengan adanya jaminan kesehatan yang
diberikan perusahaan. Ada dokter perusahaan dan diberi penggantian harga
obat-obatan. Malahan dokter mengabulkan untuk menambahkan dalam setiap resepnya untuk diberikan beberapa kaleng susu fullcream sehingga kondisi tubuhku yang
masih kurus dapat pulih lebih cepat.
Setiap bulan
gajiku kuterima penuh sehingga aku mulai dapat menabung.
Aku ingat kembali
cita-citaku semula yaitu ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Dan kondisinya sekarang
sudah memungkinkan untuk memulai lagi. Karena itu pada tahun kuliah berikutnya
aku mendaftar kembali ke Fakultas. Aku diperbolehkan tetapi
harus mulai di tingkat I atau Persiapan kembali. Aku memang telah ketinggalan
jauh dalam pelajaran dengan teman-teman mahasiswa seangkatanku.
Untuk pelajaran teori mungkin masih dapat
kukejar. Tetapi untuk praktek laboratorium kimia dan biology dan praktek
lapangan
tak mungkin.
Semula semuanya bejalan baik.Tetapi
kemudian aku berpikir ada ketidaksesuaian antara pendidikan yang sedang kutempuh dengan
pekejaan yang kini mulai kujalani dan telah mulai kurasakan manfaatnya. Masa depannyapun baik. Kupikir,
mengapa segenap waktu dan perhatianku tidak kupusatkan saja pada pekerjaan ini. Kukembangkan saja
dengan lebih sungguh-sungguh. Baik dalam
kemampuan dan ketrampilan maupun pengetahuan. Menyelesaikan studi di Fakultas
Farmasi sampai menjadi Apotheker akan
memakan waktu dan biaya lebih banyak.
Karena itu kuputuskan untuk kuliah di Peguruan Tinggi
Publisistik Jakarta. Lembaga pendidikan tinggi kewartawanan
ini
memang didirikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan para
pengajarnyapun berasal dari kalangan paktisi pers.
Upaya peningkatan ketrampilan kerja
kulakukan dengan belajar menjadi wartawan. Aku mulai dengan mencari dan
menulis berita kemudian menyampaikannya ke Redaksi. Waktuku yang seharusnya
kugunakan untuk tidur istrahat setelah bekerja semalaman, sebagian kugunakan
untuk meliput jalannya sidang pengadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta. Sesudah itu kuliah sore
hari.
Berita-berita yang kubuat
umumnya pendek-pendek dan hanya yang
menarik perhatian (human interest). Hampir seluruh
berita-beritaku tenyata dimuat. Dan setiap kali aku melihat beritaku termuat aku senang.
Pemimpin Redaksi kami, Pak Nono Anwar Makarim, tenyata tertarik dengan
berita-beritaku. Pernah dua kali ia keluar dari ruang kerjanya dan menemui aku
sambil tebahak-bahak dan mengomentari beritaku yang berjudul “Gara-gara bumbu masak, Direktur dipenjara”. Kedua,
tentang perkara seorang suami yang
memperkarakan isterinya karena memencet alat vitalnya setelah
diketahui berselingkuh dengan perempuan lain.
Tidak lama kemudian aku benar-benar
ditarik ke Redaksi. Aku diberi Kartu
Pers dan ditugaskan secara resmi sebagai reporter yang bertanggung jawab untuk menangani
berita-berita pengadilan. Tidak
saja meliput sidang-sidang di Pengadilan Negeri Jakarta di
Jalan Gajah Mada, tetapi juga Pengadilan
Tinggi, bahkan kemudian sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
di Gedung Bappenas depan Taman Surapati Menteng yang berlangsung siang dan
malam. Mahkamah ini mengadili tokoh-tokoh bekas pelaku percobaan kudeta oleh G30S/PKI
tanggal 30 September 1965.
Pada suatu hari aku mengikuti
pesidangan perkara seorang laki-laki yang sudah berulang-ulang
keluar-masuk penjara. Dia ternyata bukan
hanya pelaku biasa, tetapi
seorang pemimpin dalam berbagai perampokan di Ibukota. Aku tertarik lalu
mengumpulkan infomasi lebih banyak tentang orang ini termasuk mengadakan
percakapan langsung. Hasilnya kemudian kurangkum menjadi satu tulisan sebagai
kisah nyata dan faktual. Ketika kuajukan ternyata dapat diterima untuk dimuat
secara serial setiap hari.
Setelah seminggu
dimuat berturut-turut, Bapak Ismid Hadad Wakil Pemimpin Umum menyatakan
penghagaannya karena katanya tulisan itu disenangi banyak pembaca. Untuk itu
pantas diberi penghargaan berupa
honorarium untuk setiap seri pemuatan. Tulisan ini katanya sudah melebihi dari
hasil yang diharapkan dari tanggung jawabku. Oh, alangkah beterima kasihnya
aku. Bukan saja karena karyaku dihargai dan terbukti ada manfaatnya, tetapi
juga oleh adanya tambahan rejeki
Makin lama
tanggung jawabku makin bertambah. Bukan hanya berita pengadilan, tetapi
mencakup seluruh berita bidang hukum/kriminal, yang berarti mencakup kegiatan
lembaga Kejaksaan dan Kepolisian pada semua tingkatan dan wilayah. Aku juga
mulai diberi tanggung jawab untuk peliputan berita-berita petahanan-keamanan
yang meliputi kegiatan-kegiatan Departemen Hankam dan ketiga
Angkatan Perang. Setiap hari bukan hanya meliput kegiatan-kegiatan dan
menyusun berita, tetapi juga harus
menyingkat dan menulis kembali berita-berita yang berasal dari sumber-sumber
lain, seperti kantor-kantor berita dan
koresponden daerah.
Disamping itu aku juga kadang-kadang ditugaskan meliput
berita-berita kegiatan bidang ekonomi dan olah Raga, khususnya pertandingan sepak bola, kegiatan kesenian di
Taman Ismail Marzuki bahkan menulis resensi film.
Protes keras yang
salah alamat.
Menjadi wartawan yang
meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko. Pada suatu pagi, seperti
biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor terlihat beberapa anggota
tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama
diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak,
kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita
pada koran kami pagi itu mengenai perampokan yang melibatkan oknum tentara.
Dalam hati aku menyesali
teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran berat kode etik pers. Penulis berita menurut Undang-undang harus
dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak
dapat langsung dimintakan
pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin
Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam
beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya
memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan
identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.
Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik
kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut.
Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku
setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden
Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui
kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang
meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu
memperlihatkan pashoto seorang anggota
tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.
Sampai di salah satu markas militer di
Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira
muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia
menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk
memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat
beberapa oknum anggotanya. Seorang
diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau
komando tetapi dihalangi kawannya.
Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira
yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan
dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang
perwira hanya dapat meminta maaf dan
mengantarku keluar.
Di luar, aku lihat para prajurit tadi
tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati deretan tank dikiri-kananku dengan
laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.
Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga
terpaksa aku pulang dengan bejalan kaki.
Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami
yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga
terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena
itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.
Petang harinya baru aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad
Syamsudin, Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore
itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman
sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi
tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD,
Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka
tidak mengetahui keberadaanku.
Pak Syamsudin yang biasa kami sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran
dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan
halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di
Gambir.
Pagi harinya, reaksi atas berita itu
cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk
menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi
kami Bapak Nono Anwar Makarim
melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab,
namun ia tetap minta aku mendampinginya.
Di ruang Pendam V Jaya
telah menunggu beberapa perwira
menengah. Diantaranya ada Kolonel Urip
Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam dan Letnan Kolonel Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam
menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah
terjadi. Namun ketika dicek lebih lanjut
ke seluruh kesatuan militer yang
berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua
orang kopral, telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan
kejadian itu dianggap selesai.
Pernyataan simpati terus berdatangan.
Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya
dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab telah diselesaikan secara damai.
Menguak pungutan liar di Tanjung Priok.
Suatu hari aku mendapat tugas menemui
Dra. Trimurti, pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Konon, beliau
juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan
Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945
namun gagal. Isteri Sayuti Melik yang ikut menyusun teks
proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri.
Meski sudah mulai dimakan usia, ia
masih tetap aktif menulis. Ia termasuk
penulis tetap di Harian Kami, bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri,
majalah Mawas Diri.
Beliau mengajak
untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui
pelabuhan Tanjung Priok yang tertutup
rapat dan sulit dibuktikan. Ia
memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Dan dengan selembar
surat tugas, aku menemani seorang staf kepercayaannya yang sedang mengurus pengeluaran
mobil import asal Jerman.
Reportase hasil penyamaranku kemudian dimuat
dalam tiga kali penerbitan. Kudengar setelah itu dilakukan penyederhanaan
prosedur pengeluaran barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Memberantas
Padenge di Kabupaten Poso.
Pada suatu ketika aku mendapat
berita ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung.
Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta-Ujung Pandang pulang pergi sebagai hasil kerjasama koran
kami dengan Mandala Airlines.
Ibu ternyata
sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau
bergerak terasa sangat sakit. Diam-diam ibu dan adik Tumi menyiapkan acara
kebaktian doa pengucapan syukur atas kedatanganku dan untuk kesembuhanku.
Selepas kebaktian hari Minggu, jemaat
bekumpul di rumah. Banyak sekali. Sebagian terpaksa mengambil tempat di luar.
Mengherankan, karena yang memimpin kebaktian adalah Kak Madura, putera adik
bungsu ayahku. Padahal dahulu ia
seorang dukun terkenal. Dia rupanya
telah bertobat dan malahan ditahbiskan menjadi Penatua.
Makin hari kesehatanku mulai pulih.
Aku telah mengirim telegam ke kantor di Jakarta perihal
kesehatanku sehingga mungkin akan terlambat kembali ke Jakarta. Karena itu aku
ingin menggunakan kesempatan beberapa hari untuk melakukan kegiatan
jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke suratkabarku tanpa membawa ole-ole
laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah
kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku.
Banyak yang dapat kulakukan.
Kulihat kehidupan rakyat tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah
rusak. Kegiatan ekonomi lesuh. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan
perusuh, masih ambrul adul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah selama tiga tahun lebih
makin meosot. Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya
beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng
Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendadani
kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu
sedang harum namanya karena kesuksesannya
membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka.
Dari berbagai keluhan penduduk dan
pengamatanku, yang paling menyengsarakan rakyat adalah praktek padenge, yaitu pemaksaan rakyat untuk
memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari
kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun !
Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri.
Ketika masih sakit aku duduk-duduk di kursi beranda. Tiba-tiba seorang prajurit
memanggil-manggil setengah membentak kearahku
dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap
marah akan memasuki pintu pagar. Ketika
kukatakan, aku sedang sakit ia pergi. Aku sama sekali tidak takut. Karena kalau
ia melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes
Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen
Hankam maupun Dispen MBAD tegas dinyatakan agar semua pihak di
lingkungannya memberikan bantuan dalam pelaksanaan tugas pemegangnya.
Aku memutuskan berangkat seorang diri ke
Poso berjalan kaki mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku
lalui kalau pulang libur. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang
terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu ketika
terakhir kutempuh.
Ternyata sungguh
menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah
seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku
berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian
diantaranya orang tua-tua dan pemuda dari Uluanso, kampung asalku. Ada yang
sakit tapi tak ada obat. Mereka mengeluh, karena tepaksa meninggalkan
berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen lagi rawan dari
serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus
membawa bekal sendiri.
Berkali-kali aku berjumpa dengan
padenge, yaitu penduduk pemikul barang yang berat-berat diikuti pemilik-nya
yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi.
Di Poso aku tetarik untuk mengetahui apa
yang telah dilakukan dan bagaimana progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi
sungguh mengherankan, ketika diberitahukan mereka tidak memiliki
Repelita ( Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah). Padahal ketika
itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat
Repelita. Akupun menemui komandan distrik militer Kabupaten Poso seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan
padenge.
.
Jumpa mantan
pujaan hati.
Ketika bejalan-jalan sore hari di Jalan
Talasa depan kompleks SMA, sekolahku dahulu, tanpa terduga aku berjumpa dengan
dua orang gadis. Tak kuduga mereka mengenal dan menyebut namaku. Mereka ternyata teman sekelasku di SD Beteleme
dahulu, diantaranya DS. Ini suatu kejutan. Karena selama di SD itu ia
merupakan idolaku dan aku jatuh hati padanya.
Kenangan asmara masa kecil itu kembali
berdebur keras. Terbayang kembali masa kecil kami ketika ia masih anak gadis
yang lincah dan periang. Berkali-kali aku ingin mendekati dan bercakap-cakap
intim dengan dia tetapi aku begitu pemalu. Padahal rumah kami dan rumahnya
tidak begitu bejauhan karena sama-sama dekat perbatasan kampung. Kami
sering-sering nyaris beriringan ke sekolah. Tapi tidak berani mendekat dan
beriringan berdua-duaan, karena menurut
tata kesopanan saat itu masih tabu.
Aku makin tertarik, karena ternyata
orangtuaku dan kakeknya sudah saling mengenal. Bahkan ayah pernah mengajakku ke
rumah kakeknya. Sayang gadis pujaan itu tidak terlihat. Ada kebun kami di
Parawi. Dan konon kebun di sebelahnya
milik kakek DS. Aku sering mengamat-amati
rumah di kebun itu kalau-kalau dia muncul, tetapi tak pernah.
Tidak mengherankan kalau kami tenggelam
dalam keasyikan bercakap-cakap tentang masa kecil bersama sampai tengah malam
sambil duduk di tembok pembatas jembatan. Sama dengan aku, mereka juga
ternyata belum berkeluarga. Sempat terbesit dalam pikiranku barangkali dia
memang jodohku untuk dipertemukan kembali. Tetapi ada sedikit yang mengganggu
pikiranku, karena ketika aku mengantarkan sampai ke depan rumah kediaman
mereka, temannya sempat membisikan bahwa DS mempunyai pacar seorang perwira menengah TNI. Namun aku
pikir, gadis selincah dia adalah wajar kalau banyak pemuda mau mendekatinya,
termasuk aku.
Hubungan kemudian berlanjut dengan
surat-menyurat. Dan ternyata apa yang dahulu kupendam, ternyata juga ia
rasakan. Namun sebelum sampai pada keputusan akhir, aku menyurati teman N,
teman sekampung asal Kumpi tempatku
menginap sewaktu ke Poso. Isterinya orang Wawopada yang juga bekas teman
sekelasku di SMP Beteleme. Aku meminta nasehat mereka, karena N juga masih
mempunyai hubungan kerabat dengan keluargaku. Tetapi alangkah mengecewakan, karena saran
yang kuterima berupa anjuran, “kalau masih bisa, jangan diteruskan,
sebaiknya tidak diteruskan”
Selain kehancuran
perhubungan darat, hubungan laut melalui pelabuhan di Kolonodale juga sulit.
Aku berniat untuk kembali melalui jalan laut, tetapi batal.
Kapal
kecil PN. Pelni yang hanya sebulan
sekali menyinggahi kota itu telah
sarat muatan dan mulai menolak penumpang.
Aku akhirnya mengambil jalan darat ke Makasar
melalui bekas kampung kelahiranku, Uluanso tua, melintasi perbatasan daerah
propinsi, menyeberangi danau Matano dan Sorowako daerah
penambangan nikel oleh INCO di Malili.
Sungguh menyedihkan, kekayaan yang
menghasilkan jutaan dollar yang digali dari perut bumi Malili tidak memberikan
kesejahteraan yang memadai bagi penduduk sekitarnya. Rumah-rumah orang Nuha
tetap kumuh dan gelap di malam hari. Kontras dengan kompleks perkampungan INCO
Sorowako diseberang danau yang terang-benderang.
Di Makasar, aku menyempatkan diri
mewawancarai Walikota Daeng Patompo yang sedang tergila-gila memba-ngun
daerahnya meniru Jakarta. Saking sukacitanya, ia minta ajudannya memberikan aku
tiket pesawat meskipun aku sudah memiliki tiket.
Kepala Dolog Makasar juga kujumpai
berhubung adanya gejala aneh. Sulawesi
Selatan bekelimpahan beras, tetapi penduduk Jawa kekuangan
beras sampai-sampai makan bulgur, yang konon di negara asalnya menjadi makanan
kuda. Kendalanya ternyata kesulitan angkutan laut. Peusahaan
pelayaran enggan mengangkut beras karena sewanya murah.
Dalam pesawat aku mengenal seorang
jenderal yang menjabat panglima di salah satu Komando Wilayah Pertahanan
(Kowilhan) yang mengkoordinasikan beberapa Kodam. Ketika aku mendekatinya untuk
berwawancara ia terkejut. Ia mungkin mengira aku pembajak. Meski aku sudah
mengenalkan diri, ia tetap enggan melayaniku. Untunglah aku kemudian bejumpa
dengan seorang pemuda asal Timor, Johanes Auri, yang ternyata
bintang sepak bola kesebelasan nasional. Teman-temannya di PSSI sering
menjulukinya sebagai “Kuda hitamdari Timur”
Ia beceritera tentang suka
dukanya sebagai pemain bola nasional, bagaimana ia pernah cedera ketika melawan
kesebelasan tangguh “Dinamo Moskow”
dari Rusia Ia beceritera tentang penghargaan dan pengagum-pengagumnya termasuk
kekasih yang baru saja dinikahinya. Selembar foto pernikahan dipelihatkannya
dalam dompet. Ia juga berterima kasih atas perhatian Pertamina yang
mengangkatnya sebagai kayawan.
Tulisanku mengenai bintang sepakbola
yang hanya selingan spesialisasiku ini ternyata mengantarkan pula aku ke
penugasan-penugasan untuk meliput pertandingan sepak-bola, baik tingkat
nasional maupun antar negara di Istora Senayan. Diantaranya perebutan President Cup, Annyversary Cup, Mara Halim
Cup dan Pra Piala Dunia.
Aku memang ingin menjadi wartawan yang serba bisa. Gunawan Mohamad,
redaktur kebudayaan kami, kerapkali memberiku tugas meliput dan menulis tentang
kegiatan budaya di Gedung Kesenian Taman Izmail Marzuki. Mulai dari Lenong
Betawi sampai pementasan karya Machbet yang dimainkan para dramawan terkenal.
Sering pula ditugaskan menulis resensi tentang film-film produksi terbaru yang
segera akan beredar.
Aku juga tertarik dengan
masalah-masalah perkotaan. Aku coba mengikuti sayembara mengarang mengenai
penanggulangan masalah urbanisasi yang diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta.
Tulisanku ternyata keluar sebagai salah satu pemenang, meskipun bukan yang
terbaik.
Tidak hanya itu. Bersama Pak
Fanany, aku malahan kemudian menjadi
penulis tetap di Majalah Media Jaya milik Pemda DKI Jakarta. Kemudian Majalah Kotapraja yang diterbitkan Badan
Koordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI) Organisasi ini adalah forum
komunikasi antar walikota-walikota seluruh Indonesia. Selain itu aku juga
menjadi staf redaksi dari Majalah Widyapura,
majalah ilmiah populer yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan
dan Lingkungan.
Ketika Gubernur Ali Sadikin tengah
memelopori dimulainya komputerisasi di lingkungan administasi pemerintahannya.
Kepala Biro II / Kepala Daerah, Ir. Wardiman meminta aku menyiapkan buku
panduan dengan judul Sistim Komputerisasi
Administrasi Pemerintah DKI Jakarta. Ia telah meminta stafnya menyusun buku
itu tetapi tidak memuaskannya Rencananya
akan dibagi-bagikan pada saat kunjungan Presiden yang juga ingin mengetahui
sistim administrasi pemerintahan baru berbasis komputer itu
seperti apa. Penggunaan komputer saat itu masih sangat langkah. Di
Indonesia baru IBM dan Pertamina yang memilikinya. Karena itu untuk dapat
melaksanakan tugas ini aku menghabiskan banyak waktu terlebih dahulu mempelajari
sistim itu sebelum mulai menulis. Syukurlah dapat diselesaikan dengan baik pada
waktunya. ***
4.12. Masuk Daftar Hitam
Pada awalnya kebebasan pers
nampaknya akan terjamin dalam
pemerintahan baru. Koran Indonesia Raya
pimpinan Mochtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar yang dahulu dilarang diijinkan terbit
kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan
Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap
wartawan tidak sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan
itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar.
Tetapi lama-kelamaan, pemerintah
mulai lagi mem-perketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah
sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap
melanggar dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus
dengan ijin terbitnya. Koran Indonesia Raya yang gencar memuat berita-berita
korupsi dibreidel. Menyusul juga Pedoman, Nusantara, Majalah Ekspres, Majalah
Tempo dan beberapa media lainnya
termasuk Harian Kami..
Karyawan-karyawan mulai dari
wartawan-wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir
iklan sampai petugas percetakan terpaksa
menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum
pengadilan untuk mengajukan pengaduan. Kami, karyawan Harian Kami seperti
dibunuh perlahan-lahan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan
Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang
dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan
tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan
diberlakukan lagi.
Selama penantian yang tidak pasti
itu, sisa pengha-silan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami
masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan
sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami.
Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga.
Ada yang mulai mencoba nasib
melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak
Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah
majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil pencetakan naskah dan memberi aku
sekedar honor.
Aku menghubungi Pak Gunawan Muhamad,
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Disana telah bergabung juga teman-teman dari
ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan,
Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed Zulverdi. Aku menghadapi kendala. Sebagai
wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib
untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Tetapi aku ogah datang
memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa
sakit hati atas perlakuan terhadap kami.
Pada saat itu pula Pak Zulharman dan beberapa bekas pengurus
Yayasan yang menerbitkan Harian Kami berhasil mendirikan PT. Enam-Enam.
Perusahaan ini dimaksudkan untuk menampung para
ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah usaha klipping berita koran, biro iklan dan
bantuan Hukum. Pak Erman dan E. Subekti menangani klipping, Pak Abdi
Kusumanegara dan Pak Abbas Ali menangani Biro Iklan sedang Bantuan Hukum
dirangkap Pak Erman.
Erman adalah alumnus Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan selama masih kuliah merupakan kontributor berita
Harian Kami. Untuk mendukung usaha clipping
mereka membeli mesin fotocopy
yang sekaligus juga melayani umum.
Meskipun aku telah aktif sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo,
aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman. Aku boleh tetap
menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku
tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan keras teman-teman untuk bangkit lagi dari
bidang usaha yang sama sekali baru. Datang subuh-subuh, memborong koran,
menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak,
menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan.
Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah
lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa
kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung.
Teman-teman di Majalah Tempo Jalan
Senen Raya 83 rupanya berhasil
mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan Mohamad
memperkenalkan
aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan
tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan
Kramat VIII/2 makin bertambah kuat. Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib
agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik dari peredaran dengan
alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya
pada Pak Gunawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak
Gunawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban
optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan
seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ?
Karena itu mantaplah keputusanku
untuk berhenti meninggalkan profesiku di bidang kewartawan yang selama ini
kutekuni. Beralih ke bidang lain, setidak-tidaknya selama masih
ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers.
Aku mengundurkan diri dari Tempo dan
bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski
keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan
hati. Aku bersedia masuk kerja setiap
subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil klipping
sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.
Suatu ketika ada tawaran dari perusahaan kelompok penerbitan Pos Kota untuk
bergabung dalam penerbitan koran baru Pos Sore. Rekan Encub Subekti, Pak Fananny dan aku diterima. Tetapi sekali lagi
aku kemudian mengundurkan diri.
Usaha kami tidak segera dapat
menghasilkan. Usaha bantuan hukum tidak pernah memberi hasil. Sedang biro iklan
hanya sekali mendapat order dan setelah itu tutup. Untuk menutupi biaya hidup
sehari-hari, aku perlu terus mengusahakan sumber penghasilan lain.
Aku menemui Kepala Humas Pemerintah
DKI Jakarta apakah dapat menjadi penulis tetap di media informasi mereka,
Majalah Media Jaya. Dengan rekomendasi Pak Fanany aku diterima. Pak Fanany
sudah lebih dahulu menjadi penulis bahkan dialah yang dahulu sebagai penggagas
penebitan majalah itu sewaktu masih menjadi wartawan perkotaan di
Harian Kami dan sering betugas di Balai Kota. Aku dibayar per naskah dan hasilnya
lumayan.
Ada lagi tawaran pembuatan naskah
dari Proyek Penerangan Hukum melalui Pak Erman. Proyek ini merupakan hasil
kerjasama antara FHUI dengan Pemda DKI Jakarta dengan dana bantuan Luar Negeri.
Aku juga menghubungi Redaksi Majalah Widyapura yang diterbitkan
Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL). Lembaga ini
merupakan organ Pemerintah DKI Jakarta.
Isi dan bentuk majalah mirip dengan Majalah Prisma. Para pengasuhnya hampir
selu-ruhnya para ahli alumni UI. Aku diterima dan malahan diserahi mengelola
seluruh masalah teknis penerbitan majalah ini. Mulai dari komunikasi dengan
para penulis, tata letak naskah, perancangan tata muka sampai pencetakan.
Bukan itu saja. PPMPL juga ternyata
menangani Majalah Kotapraja, media Badan Kordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI). Lembaga ini adalah
oganisasi persatuan Walikota-walikota seluruh Indonesia dan mempunyai mitra intenasional. Ketuanya secara
ex officio adalah Gubernur DKI
Jakarta.
Suatu waktu aku mengajukan proposal
kepada Pak Zulharmans selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan
kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six
Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendekku adalah
mengangkat kembali lokomotif unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya
dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan
mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk
mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti sebelumnya
mau langsung mengharapkan pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha
tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup.
Pak Zul setuju dan malahan sekaligus
menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun di luar
dugaanku usaha ini tenyata dapat menjalan baik bahkan makin berkembang. Kami
mulai memiliki pelanggan-pelanggan tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil,
perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi
Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan
itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang.
Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA
pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar
dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah
pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA
bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan.
Pimpinan-pimpinan perusahaan ikut gembira
melihat kecenderungan itu. Pak Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil,
tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul
menegurku di depan para direksi supaya jangan sombong ketika aku menyebut kata
“cuma” sewaktu menyebutkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu
transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Lalu kujelaskan bahwa sebelum
itu sebenarnya sudah sering ada transaksi-transaksi yang lebih besar dari pada
itu.
Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif
dan adil tanpa melihat muka orang. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada
pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan
salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika
ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan dibimbing bekeja sebagai
staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak
perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar.
Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu
waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para langganan mengadu melalui telepon karena
order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan ditanyai
alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia
menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya. Aku terdiam dan berpikir,
ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan
ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang
pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti.
Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-kamu…… Sekarang,
keluar !!!” Ia diam saja. Aku berdiri
dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia
keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat.
Tidak ada pilihan lain.
Beberapa hari kemudian, aku dipanggil
Direktur Utama. Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana
perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap
berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin
aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur
Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat
boleh keluar.
Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi
kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah peme-catan itu memang
telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan
tindakanku.
Harian “EMPAT LIMA”
Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana
Bapak H. Adam Malik yang ketika itu sebagai Ketua MPR-RI akan menghidupkan
kembali suratkabar Harian “Empat Lima” yang dahulu tutup.. Beliau akan
duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin
Umum. Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman
menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu namun dengan satu usulan
agar diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan
susunan personalianya.
Dengan serta merta kami sisa-sisa
karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota
Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai
berkembang. Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis
dengan susah payah ini, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers.
Ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil
kemungkinannya. Bukankah Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan
Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna
bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima,
terasa memberikan semangat baru kepada kami untuk kembali berbuat sesuatu untuk
Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini.
Yang agak merisaukan adalah apakah
kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan
Undang-undang Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap
dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian dapat kami peroleh ketika kami
segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah kediaman dinas di Jalan
Iman Bonjol Menteng.
Aku terheran-heran menyaksikan di
ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus
Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu, terpampang di dinding dalam
bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa
beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas
pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan
Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklama-sikan kemerdekaan
sesegera mungkin.
Perjumpaan kedua dan terakhir adalah
ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah
sulit ditemui karena sudah dilantik
menjadi Wakil Presiden.
Kesan lain yang mengawali kegiatanku di
koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz toko
pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu di
salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak toko ini menjadi salah satu Gubernur
ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Apa yang dikhawatirkan sebelumnya
benar-benar menjadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens
datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang
dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan
ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi.
Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak
dimuat.
Hal ini berdampak buruk pada kegairahan
para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat
empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau
pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang meluas menyebabkan para
pemasang iklan juga enggan menggunakannya. Terjadinya pemborosan yang tidak
berkaitan langgsung dengan usaha, tambah
memperparah. Karena itu pada rapat terakhi, Drs. Suyatno
sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang
terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi
Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan
Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar.
Penghentian penerbitan harian ini
tidak begitu menyusahkan kami. Karena tidak lama setelah itu Pak Zulharman
sudah mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) baru untuk menerbitkan koran “Berita
Minggu & Film.”. Lagi pula PT.Enam-Enam yang telah menampung sebagian besar karyawan masih tetap berjalan.
Aku dipercayai menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi. Persiapan penerbitan koran terbit sekali seminggu ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemikiran. Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, karena itu aku yang harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.
Aku dipercayai menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi. Persiapan penerbitan koran terbit sekali seminggu ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemikiran. Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, karena itu aku yang harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.
BMF dibuatkan nomor rekening
usaha sendiri dan aku diberi wewenang sebagai salah satu dari dua penandatangan
cek. Aku juga harus menjajagi beberapa percetakan untuk mendapatkan biaya cetak
yang lebih murah tetapi dengan mutu yang tetap terjamin. Akhirnya kami memilih
PT. Gramedia. Kesibukan luar biasa ini memaksa aku harus membo-yong berkas-berkas pekerjaanku sampai ke Klinik
Bersalin “Dian Kasih” di Tanjung Priok.
Aku masih berkutat dengan
kertas-kertas dan kalkulator ketika tengah malam suster memberi tahu isteriku
telah melahirkan anak kami yang kedua, seorang bayi perempuan mungil dengan
selamat dan sempurna. Puji Tuhan ! Aku masuk lalu mencium isteriku yang juga
nampak bahagia kemudian menyaksikan sang bayi yang untuk sementara dibaringkan
dalam inkubator. Sebelum ke kantor, seperti kulakukan pada kelahiran anak kami
yang pertama aku menempatkan seberkas bunga segar dalam vas yang menebarkan bau
harum. ***
.
No comments:
Post a Comment