Menjadi wartawan yang
meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko. Pada suatu pagi, seperti
biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor terlihat beberapa anggota
tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama
diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak,
kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita
pada koran kami pagi itu mengenai perampokan yang melibatkan oknum tentara.
Dalam hati aku menyesali
teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran berat kode etik pers. Penulis berita menurut Undang-undang harus
dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak
dapat langsung dimintakan
pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin
Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam
beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya
memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan
identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.
Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik
kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut.
Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku
setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden
Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui
kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang
meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu
memperlihatkan pashoto seorang anggota
tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.
Sampai di salah satu markas militer di
Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira
muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia
menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk
memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat
beberapa oknum anggotanya. Seorang
diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau
komando tetapi dihalangi kawannya.
Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira
yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan
dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang
perwira hanya dapat meminta maaf dan
mengantarku keluar.
Di luar, aku lihat para prajurit tadi
tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati deretan tank dikiri-kananku dengan
laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.
Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga
terpaksa aku pulang dengan bejalan kaki.
Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami
yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga
terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena
itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.
Petang harinya baru aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad
Syamsudin, Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore
itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman
sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi
tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD,
Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka
tidak mengetahui keberadaanku.
Pak Syamsudin yang biasa kami sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran
dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan
halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di
Gambir.
Pagi harinya, reaksi atas berita itu
cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk
menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi
kami Bapak Nono Anwar Makarim
melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab,
namun ia tetap minta aku mendampinginya.
Di ruang Pendam V Jaya
telah menunggu beberapa perwira
menengah. Diantaranya ada Kolonel Urip
Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam dan Letnan Kolonel Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam
menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah
terjadi. Namun ketika dicek lebih lanjut
ke seluruh kesatuan militer yang
berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua
orang kopral, telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan
kejadian itu dianggap selesai.
Pernyataan simpati terus berdatangan.
Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya
dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab telah diselesaikan secara damai.***
No comments:
Post a Comment