Siang
hari merupakan jam-jam yang cukup tenang, tak ada gangguan-gangguan
yang menakutkan seperti pada malam hari. Pada saat-saat begini, baru aku
menyadari keadaanku yang sesungguhnya. Tubuhku telah demikian kurus,
tangan dan kakiku tinggal tulang berbalut kulit, kalau aku duduk di
kamar kecil aku sulit berdiri kembali. Aku juga menderita secara
psikhis oleh halusinasi-halusinasi yang mencekam.Aku tidak tahu apakah
aku masih dapat bertahan.
Adakalanya datang pikiran, bagaimana kalau Tuhan yang Mahakuasa memanggil aku dalam keadaan demikian. Aku tidak mau terlalu memikirkannya, karena Tuhanlah yang menentukan. Karena itu aku selalu pasrah saja pada Tuhan. Tidak ada rasa takut sama sekali. Kalau waktunya telah tiba Tuhan memanggil, aku siap.
Aku selalu meyakinkan diri, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan umat yang berharap kepadaNya berlama-lama menderita. Dia akan segera melepaskannya pada waktuNya. Jadi hanya dibutuhkan kesabaran menanti pertolonganNya. Ya, hidupku hanya tergantung pada Tuhan. Sejak kecil aku memang selalu tertarik membaca Alkitab. Karena itu setiap ada ulangan pelajaran agama nilaiku selalu bagus.
Awalnya mungkin karena aku senang dengan ceritera-ceritera dan film perang yang menonjolkan kepahlawanan. Dalam Alkitab banyak kisah-kisah perang dengan pahlawan-pahlawannya yang perkasa, seperti Musa, Gideon, Simson, Debora, Daud, dan sederetan panglima-panglima perangnya.
Dari sering membaca Alkitab ini makin lama makin aku mengenal TUHAN karena ternyata Dialah sesungguhnya yang berperang di balik semua keperkasaan itu. Dia sesungguhnya bukan hanya kuat perkasa dan mahakuasa, tetapi juga maha tahu, maha kasih dan selalu menyertai umatNya. Lebih-lebih yang menderita seperti aku sekarang.
Aku yakin Yesus selalu menyertai dan menolong meskipun kuakui, aku sering kurang setia kepadaNya. Misalnya, aku baru bekerja beberapa bulan, tetapi kantor menyatakan bersedia menanggung semua biaya perawatanku, bahkan enam puluh persen gajiku tetap dibayarkan. Siapa yang akan bermurah hati memberiku fasilitas seperti itu sedang aku belum berbuat apa-apa ?
Pada saat-saat kesendirian ini pula, sepucuk surat tanpa kuduga-duga datang dari Nurdin Bakari, salah seorang teman akrab di SMA. Aku tak tahu dari mana ia mendapatkan alamatku. Ia menulis, ia dan teman-teman sekelas yang bersama kami mendaftar di Kodim Poso dahulu sedang mengikuti pendidikan Polisi Militer di Cimahi Bandung. Seorang lagi masuk AKABRI Darat di Magelang. Kupikir, kalau aku tidak ke Jakarta tentu aku sudah bersama-sama mereka.
Kami semua memang gandrung dengan kemiliteran. Ketika ada pendidikan P3R (Pendidikan Pendahuluan Pertahanan Rakyat) kami ikut. Demikian pula pada masa Trikora. Selama berminggu-minggu kami mengikuti berbagai latihan militer. Antara lain baris-berbaris, latihan melalui rintangan, perkelahian sangkur, teknik tempur dan latihan perang-perangan. Kami sedang menanti-nantikan penugasan ketika akhirnya datang pengumuman Belanda bersedia menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB. Komando Trikora dibubarkan.
Tetapi yang paling mengesankan, adalah ceriteranya selama di sekolah dahulu. Seperti peristiwa tak terlupakan dengan N, si hitam manis puteri Bupati Poso saat itu. Berbahagialah anda, katanya mendapat pengalaman yang mengesankan itu. Ia tidak tahu bagaimana cemasnya aku saat itu.
Surat Nurdin cukup panjang. Ia juga berceritera tentang M gadis pintar hampir untuk semua mata pelajaran. Lebih-lebih untuk bahasa Inggeris dan bahasa Jerman. Ia merupakan saingan berat dalam perolehan nilai pelajaran. Nurdin mungkin tidak tahu bahwa akupun baru menerima surat dari M. Surat itu merupakan balasan suratku yang kutulis di kapal dalam perjalanan ke Jakarta. Kenangan peristiwa itu melintas dalam ingatanku dan sejenak memberikan penghiburan.
Sepucuk surat lagi kuterima dari kak Maga. Ia telah ditempatkan di bawah Komando Batalion Intelijens Dwikora yang berpangkalan di Pakanbaru. Berhadapan dengan kekuatan Inggeris sebagai musuh yang berpangkalan di Singapura ketika itu. Ia menyatakan, ia sampai menitikan air mata, betapa sedihnya karena tak diijinkan menjengukku sebelum ke garis depan.
Aku percaya semua penghiburan ini sebagai tanda-tanda pemulihan dari Tuhan. Aku makin tergerak lagi untuk lebih mengenalNya melalui firmanNya. Alkitab pemberian kak Maga kubaca ayat demi ayat sambil berbaring. Terutama tentang pengharapan akan pertolongan Tuhan. Aku menemukan ayat-ayat yang meneduhkan pada Kitab Mamur 139 :1-12.
Mazmur ini memberitakan, Roh Tuhan selalu menyertai kita. Baik ketika kita duduk, berdiri, berbaring, di kegelapan, di ujung laut, di langit bahkan di tempat orang mati. Aku baca ayat-ayat ini berulang-ulang bahkan menghafalnya. Luar biasa. Kalau begitu disinilah makna nama Immanuel, Tuhan beserta kita. Nama yang disampaikan malaikat Gabriel kepada Maria, untuk Anaknya. Oh, kalau begitu Ia juga menyertai aku dan tahu keadaanku. Apalagi aku senantiasa menyeru namaNya.
Ketika tangan-tanganku yang lemah bertambah lemas dan mataku yang kurang tidur malam hari makin redup, Alkitab kudekap di dada dan tertidur. Tenteram dan damai. Dalam suasana seperti itu aku tetap merasakan jamahan tangan kasihNya. ***
Adakalanya datang pikiran, bagaimana kalau Tuhan yang Mahakuasa memanggil aku dalam keadaan demikian. Aku tidak mau terlalu memikirkannya, karena Tuhanlah yang menentukan. Karena itu aku selalu pasrah saja pada Tuhan. Tidak ada rasa takut sama sekali. Kalau waktunya telah tiba Tuhan memanggil, aku siap.
Aku selalu meyakinkan diri, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan umat yang berharap kepadaNya berlama-lama menderita. Dia akan segera melepaskannya pada waktuNya. Jadi hanya dibutuhkan kesabaran menanti pertolonganNya. Ya, hidupku hanya tergantung pada Tuhan. Sejak kecil aku memang selalu tertarik membaca Alkitab. Karena itu setiap ada ulangan pelajaran agama nilaiku selalu bagus.
Awalnya mungkin karena aku senang dengan ceritera-ceritera dan film perang yang menonjolkan kepahlawanan. Dalam Alkitab banyak kisah-kisah perang dengan pahlawan-pahlawannya yang perkasa, seperti Musa, Gideon, Simson, Debora, Daud, dan sederetan panglima-panglima perangnya.
Dari sering membaca Alkitab ini makin lama makin aku mengenal TUHAN karena ternyata Dialah sesungguhnya yang berperang di balik semua keperkasaan itu. Dia sesungguhnya bukan hanya kuat perkasa dan mahakuasa, tetapi juga maha tahu, maha kasih dan selalu menyertai umatNya. Lebih-lebih yang menderita seperti aku sekarang.
Aku yakin Yesus selalu menyertai dan menolong meskipun kuakui, aku sering kurang setia kepadaNya. Misalnya, aku baru bekerja beberapa bulan, tetapi kantor menyatakan bersedia menanggung semua biaya perawatanku, bahkan enam puluh persen gajiku tetap dibayarkan. Siapa yang akan bermurah hati memberiku fasilitas seperti itu sedang aku belum berbuat apa-apa ?
Pada saat-saat kesendirian ini pula, sepucuk surat tanpa kuduga-duga datang dari Nurdin Bakari, salah seorang teman akrab di SMA. Aku tak tahu dari mana ia mendapatkan alamatku. Ia menulis, ia dan teman-teman sekelas yang bersama kami mendaftar di Kodim Poso dahulu sedang mengikuti pendidikan Polisi Militer di Cimahi Bandung. Seorang lagi masuk AKABRI Darat di Magelang. Kupikir, kalau aku tidak ke Jakarta tentu aku sudah bersama-sama mereka.
Kami semua memang gandrung dengan kemiliteran. Ketika ada pendidikan P3R (Pendidikan Pendahuluan Pertahanan Rakyat) kami ikut. Demikian pula pada masa Trikora. Selama berminggu-minggu kami mengikuti berbagai latihan militer. Antara lain baris-berbaris, latihan melalui rintangan, perkelahian sangkur, teknik tempur dan latihan perang-perangan. Kami sedang menanti-nantikan penugasan ketika akhirnya datang pengumuman Belanda bersedia menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB. Komando Trikora dibubarkan.
Tetapi yang paling mengesankan, adalah ceriteranya selama di sekolah dahulu. Seperti peristiwa tak terlupakan dengan N, si hitam manis puteri Bupati Poso saat itu. Berbahagialah anda, katanya mendapat pengalaman yang mengesankan itu. Ia tidak tahu bagaimana cemasnya aku saat itu.
Surat Nurdin cukup panjang. Ia juga berceritera tentang M gadis pintar hampir untuk semua mata pelajaran. Lebih-lebih untuk bahasa Inggeris dan bahasa Jerman. Ia merupakan saingan berat dalam perolehan nilai pelajaran. Nurdin mungkin tidak tahu bahwa akupun baru menerima surat dari M. Surat itu merupakan balasan suratku yang kutulis di kapal dalam perjalanan ke Jakarta. Kenangan peristiwa itu melintas dalam ingatanku dan sejenak memberikan penghiburan.
Sepucuk surat lagi kuterima dari kak Maga. Ia telah ditempatkan di bawah Komando Batalion Intelijens Dwikora yang berpangkalan di Pakanbaru. Berhadapan dengan kekuatan Inggeris sebagai musuh yang berpangkalan di Singapura ketika itu. Ia menyatakan, ia sampai menitikan air mata, betapa sedihnya karena tak diijinkan menjengukku sebelum ke garis depan.
Aku percaya semua penghiburan ini sebagai tanda-tanda pemulihan dari Tuhan. Aku makin tergerak lagi untuk lebih mengenalNya melalui firmanNya. Alkitab pemberian kak Maga kubaca ayat demi ayat sambil berbaring. Terutama tentang pengharapan akan pertolongan Tuhan. Aku menemukan ayat-ayat yang meneduhkan pada Kitab Mamur 139 :1-12.
Mazmur ini memberitakan, Roh Tuhan selalu menyertai kita. Baik ketika kita duduk, berdiri, berbaring, di kegelapan, di ujung laut, di langit bahkan di tempat orang mati. Aku baca ayat-ayat ini berulang-ulang bahkan menghafalnya. Luar biasa. Kalau begitu disinilah makna nama Immanuel, Tuhan beserta kita. Nama yang disampaikan malaikat Gabriel kepada Maria, untuk Anaknya. Oh, kalau begitu Ia juga menyertai aku dan tahu keadaanku. Apalagi aku senantiasa menyeru namaNya.
Ketika tangan-tanganku yang lemah bertambah lemas dan mataku yang kurang tidur malam hari makin redup, Alkitab kudekap di dada dan tertidur. Tenteram dan damai. Dalam suasana seperti itu aku tetap merasakan jamahan tangan kasihNya. ***
Aneh, tiba-tiba semua tenang - (4.10)
D
|
i pagi hari yang
cerah aku diijinkan keluar duduk-duduk di taman. Menikmati cahaya
matahari memancar lembut. Burung-burung kutilang beterbangan dan bercumbu di
selah pohon pepaya yang banyak terdapat
di depan jendela kamar kami. Pada pihak lain, nampak banyak orang antri di
loket. “Mereka adalah orang-orang yang masih bebas dan berbahagia seperti burung-burung itu.,
pikirku.
Aku ingin segera keluar dari rumah
sakit ini dan ingin menikmati kebebasan.
Aku ingin makan semauku dan ingin
mengembalikan tubuhku yang sangat kurus ini sebagai sediakala. Dan ingin segera
mengejar keterlambatan kuliahku, praktikum-praktikum mikrobiologi dan kimia analisa.
Kesehatanku memang sudah berangsur
membaik.
Aku tahu bahwa aku belum akan sanggup
merawat diriku sendiri. Tapi ketika dokter datang dan memeriksa, aku mengatakan
aku sudah baik dan minta ijin dirawat di rumah saja.
Beberapa hari kemudian permintaan
itu dikabulkan. Aku seperti tidak
percaya apakah benar dokter mengijinkan karena kesehatanku sudah memungkinkan.
Atau hanya terpaksa untuk memenuhi desakanku. Tapi pagi hari, dokter tidak lagi
menanyai ataupun memeriksa kartu pasienku.
Kini tahulah aku bahwa benar-benar
aku telah diijinkan berobat jalan dengan
syarat seminggu dua kali datang mengambil obat. Dokter ataupun perawat-perawat
tidak tahu bahwa aku sebenarnya tinggal sendiri.
Pagi-pagi, setelah menyelesaikan urusan
admi-nistrasi
di Sekretariat aku siap tinggalkan rumh sakit yang penuh misteri itu bagiku.
Soal biaya rumah sakit tak menjadi masalah karena dibayar kantor.
Untuk
keperluan sehari-hari belum ada masalah. Gajiku sebelum aku masuk rumah sakit
masih utuh. Ditambah enam puluh persen gajiku selama dirawat di rumah sakit..
Selesai
mengemas pakaian dalam ransel, aku keluar. Aku sengaja mengambil jalan belakang
sebab biasanya jalan depan selalu ditutup.Di gang menuju Zal kami ada
peringatan tertulis “awas typhus abdominalis !
Berbahaya”. Mungkin ini sebabnya orang enggan ke zal kami.
Berbeda
dengan pasien-pasien lain, tak ada yang menjemputku. Dengan ransel tergantung
dibahuku aku melintasi halaman rumah
sakit yang luas menuju jalan raya. Pahaku yang sangat susut rasanya
belum terlalu kuat menopang tubuhku yang juga masih lemah. Napasku agak sesak,
telinga seperti bergema dan kepalaku pening. Bayang-bayang menakutkan di RS itu
mulai timbul kembali di kepalaku. Apakah
mahluk-mahluk aneh di rumah sakit
itu dapat memantau keberadaanku melalui kabel-kabel listrik ke rumah sakit itu
?
Di subuah warung aku lihat dijual
mentimun muda.Tentu menyegarkan pikirku. Aku singgah. Sudah lama aku
terbelenggu dengan diet yang keras. Entah berapa jam aku duduk disitu dan aku
tak ingat lagi berapa buah mentimun dan ubi rebus yang kuhabiskan. Aku tidak
lagi memikirkan apakah sudah boleh aku makan atau belum.
Dari
warunng aku aku langsung naik oplet dan
kemudian bertukar bus ke Harmoni. Aku
tahu badanku masih sangat lemah. Aku mebutuhkan pertolongan. Rumah Mas
Narumi sebenarnya tidak berapa jauh dari rumah sakit. Tapi aku tak kesana
karena sebelumnya aku telah diberi tahu
aga langsung saja ke rumah
kontrakan yang disediakan kantor sebelum dibubarkan.
Dalam
perjalanan aku merasa seperti ada yang mengawasi dan memata-matai aku. Bus penuh sesak dengan penumpang, berdiri
berdesakan berdesak-desakan dengan anak-anak yang baru pulang sekolah dan
pegawai yang baru pulang kerja. Aku terpaksa. Berdiri. Goncangan bus membuat kepalaku tambah pusing. Dan
ketika kondektur akan menyerahkan pengembalian uang tiket, penglihatanku gelap
dan keseimbangan tubuhku hilang. Sisa-sisa kesadaranku kugunakan untuk
cepat-cepat melorotkan badanku ke bawah,
duduk jongkon diantara kaki-kaki orang agar aku
tidak terjatuh menimpa penumpang yang duduk di kursi di belakangku.
Melihat
aku rubuh, sebuah tapak tangan mendekap dahiku. “Duduk di sini ma”. Ada suara
wanita samar-samar terdengar dan tangan seorang laki-laki membantuku duduk. Aku
merunduk terus. Keringat mengalir di pipi dan membasahi bajuku. “Sakit Mas ?”,
tanya seorang penumpang. “Betul Pak”,
jawabku sambil menyeka keringat di
mukaku. “Terima kasih. Baru keluar dari rumah sakit”, aku menambahkan. Aku
menatap orang-orang yang menolongku, oh wanita yang menawarkan kursinya itu
ternyata seorang wanita sedang hamil tua.!
Pembicaraan terhenti karena bus telah menepi di Pangkalan Harmoni. Bus
jurusan Grogol jarang. Kalau ada selalu penuh sesak penumpang. Sebagian
beegelanntungan pada pintu. Kondisi tubuhku tak memungkinkan laku melakukannya.
Aku terpaksa jalan kaki.
Hawa
panas terik pukul tigabelas membuat kepalaku bertambah pusing. Sampai di sebuah jembatan yang terlindung
sedikit dengan pohon aku berhennti melepaskan lelah. Ada anak-anak yang melihat
ke bawah. Tapi yang kuliat hanya air kali yang ke hitam-hitaman. Baunya naik
dan menusuk hidung. Sebuah tuguh beton
dengan tanda salib diatasnya berdiri megah tak berapa jauh di belakangku. Di
bawahnya ternyata sedang dibangun gedung
gereja.
Aku
lelah, lapar dan haus. Ada sebuah warung di dekat tempat itu. Aku segera pesan
makanan. Tapi, ah, makanan ini pedan,
terlalu pedas. Dokter, mantri sampai perawat-perawat telah memasankan jangan
makan yang pedas-pedas. Sebenarnya aku
ingin mematuhi pesan ini, tetapi makanan ini sudah telanjur dihidangkan. Sayang
kalau dibuang, lagi pula aku harus berhemat. Akhirnya kumakan juga.
Suasana
di pondokku tak ada yang berubah. Bau parit yang selalu mengganggu masih
seperti sediakala. Pintu kubuka dan aku lihat ceceran atap dari daun sagu
bertebaran di atas velbet dan lantai tanah.
Aku
lelah. Tikar kubuka dan terus tidur. Badanku terasa panas dan kepalaku seakan
berputar-putar. Seluruh anggota tubuhku terasa kaku.
Malam
tiba tetapi aku tak dapat tidur. Bayang-bayang mahluk yang mengejarku kembali
menghantui pikiranku. Di luar seperti ada orang memanggil-manggil aku. Aku
keluar. Dingin dan becek yang menempel pada sandalku menandakan baru habis
hujan.
Seorang
tetangga menemuiku di luar dengan terkejut dan menyurruhku pulang tidur. Aku
berusaha menenangkan pikiran. Tetapi ketakutan terus-menerus memenuhi
pikiranku. Aku merasa kini dari segala jurusan ada yang mengejar hendak
membunuh aku. Aku diam tak bergerak, seakan anak ayam mendekam dalam
persembunyiannya. Deru mobil atau kereta api yang lewat seakan pesawat musuh
yang akan menyambar rumah..
Semua
tetangga seakan membenci aku dan pada malam yang menyeramkan itu seakan mereka
telah mengepung untuk membunuhku.
Aku takut.
Dari
sela-sela dinding bambu, di luar sudah
mulai terang. Aku bangunn dan duduk meintih di atas velbet. Kekuatan badanku
hilang samasekali. Lapar dan kepalaku masih pusing. Aku menyadari keadaaku
sangat buruk. Aku merintih dan air mataku teasa panas membasahi pipiku. Tetapi
tak ada gunanya menangis. Pintu ku buka dan aku lihat orang-orang masih belum
ada yang keluar. Aku pergi duduk di atas sebuah balok di tengah gang untuk
menghirup hawa sejuk. Ketika seorang wanita
keluar untuk menimba airr sumur,
aku cepat-cepat masuk kembali dan berbaring. Aku tak mau orrang melihat aku
dalam keadaan seperti itu.
Badanku
semakin lemas, tetapi aku sangat lapar. Mau tak mau harus mencari makanan.
Dengan hanya memakai kaus, celana panjang dan sandal jepit aku datang ke sebuah
warung kecil. Hanya ada pisang goreng dan kopi. Aku sangat lapar dan terpaksa
makan apa adanya saja. Kepala semakin pusing. Aku teringat pesan dokter, hari
itu aku harus membawa obat suntik untuk disuntikkan. Tetapi rumah sakit
tempatku dirawat sebelumnya terlalu jauh. Dan kondisi tubuhku makin lemah.
Karena itu kuputuskan ke Rumah Sakit Tarakan di Jalan Balikpapan. Aku tak
sempat lagi pulang mengganti pakaian dan kebetulan obatnya ada dalam kantong
celanaku.
Sampai di depan rumah Sakit
Tarakan, loket belum buka lalu aku putuskan
kembali ke RS. Fatmawati. Di dalam oplet menuju rumah sakit aku merasa benar-benar sudah kepayahan sehingga
aku minta diturunkan di depan Kompleks Keuangan. Bagaimanapun penerimaan mereka
aku harus menemui mereka.
Di depan pintu pagar, Kak Narumi
seperti mengetes kewarasanku. “Mau cari
siapa ?” “Kakak”, jawabku. “Siapa namanya ?”. “Kak Narumi”, jawabku lagi. Ia
lalu menyuruh aku masuk dan diberi tempat sebuah kamar kecil di sudut
belakang.
Malam hari seperti ada yang membawa
aku memanjat tembok di belakang rumah
kemudian melompat ke bawah ke tanah kosong. Aku berjalan sampai diujung jalan.
Suasana masih gelap, tetapi
lampu-lampu rumah sakit tampak terang di
kejauhan. Aku merasa kedinginan lalu tiba-tiba
menyadari dimana aku berada. Aku cepat-cepat pulang. Untung pintu pagar
tidak terlalu tinggi dan aku dapat masuk ke dalam melalui lorong di samping.
Tidak ada yang melihat aku. Pagi hari,
aku bertanya-tanya apakah ini mimpi. Tetapi aku lihat sendal dan celanaku benar
berlumpur.
Keadaanku yang sebanarnya tak
mungkin kurahasiakan lagi ke kampung. Karena disitu kebetulan sedang
berkunjung ayah Kak Narumi, yang juga kakak ayahku beserta
beberapa anggota keluarga lainnya. Ketika pulang tentu mereka akan
menceriterakan keadaanku.
Meski Kak Narumi dan isterinya tak
pernah me-njengukku, namun aku tetap berterima kasih mereka masih menerima dan
merawatku. Aku tak perlu ke rumah sakit karena cukup meneruskan obat yang telah
diberikan. Kekuataku perlahan-lahan pulih kembali. Tetapi memulihkan kondisi
fisikku yang amat kurus memerlukan waktu lama.
Aku bersyukur pada Tuhan karena
selama dirawat masih dibayarkan sebagian gajiku
sehingga aku mempunyai cukup bekal. Lagi pula, kantor kami sebelum
ditutup, telah mengontrakan sebuah rumah
yang lebih layak di daerah Paseban, Kelurahan Kenari, sehingga aku tak
perlu lagi tinggal sendiri di pondokku.
Istrahat Total
Lokasi
rumah kontrakan kami teletak di
gang Mayit, Jalan Paseban Kelurahan Kenari Jakarta Pusat.
Pemiliknya seorang tukang jahit, asal
Bumi Ayu, Jawa Tengah. Rumahnya di belah dua dan bagian kanannya dikontrakan
kepada kantor kami. Sedangkan bagian kami berukuran kira-kira tiga kali sembilan meter memanjang ke belakang, tediri dari ruang tamu, ruang
tengah untuk dua tempat tidur kayu bertingkat dan ruang dapur. Di belakang ada tempat mandi yang terbuat dari dinding
bambu, sebuah sumur dan sedikit ruang
tebuka untuk menjemur pakaian.
Rumah kontrakan ini hanya disediakan untuk karyawan
bujangan. Disitu sudah tinggal Simon, teman sesama korektor dan
Tidjo, seorang watawan muda. Ketika aku masih di rumah sakit,
perusahaan surat kabar kami, Pelopor, telah diambil alih dan ditutup oleh penguasa militer dan kayawannya disalurkan
pada dua perusahaan surat kabar yang baru didirikan, yaitu Pelopor Baru dan
Pelopor Jaya. Kedua-duanya dipimpin oleh
seorang kolonel.
Waktu keluar dari rumah sakit,
aku melapor ke kedua pengelola surat kabar itu tetapi aku tidak
diterima. Alasannya lowongan sudah ditutup. Penjelasanku bahwa aku juga adalah
bekas kayawan perusahaan yang diambil alih dan belum mendapatkan pekerjaan baru sama sekali tidak dipertimbangkan. Kondisi fisik tubuhku yang
sangat kurus dan masih lemah, tidak
menggugah welas asih mereka bahkan
sebaliknya mungkin menjadi alasan mereka sebenar-nya untuk tidak menerimaku.
Jadi,
sejak keluar dari rumah sakit
aku menganggur. Perkuliahan-perkuliahan
mahasiswa sudah mulai berjalan tetapi dalam kondisiku yang masih lemah dan
belum bekerja, tidak memungkinkan lagi
aku dapat mengikutinya.
Sisa uang gajiku makin bekurang.
Sedangkan aku masih tetap harus minum
obat yang kini harus kubeli sendiri. Pada hal aku diharuskan ke rumah sakit paru-paru
Jatinegara untuk disuntik dua kali seminggu selama dua tahun. Aku juga diminta
untuk selalu minum susu guna memulihkan kese-hatanku. Karena itu kupikir harus
cepat mendapatkan peker-jaan.
Setiap hari aku menulis dan
menyampaikan lamaran ke berbagai kantor sesuai lowongan yang kubaca di surat
kabar.
Semua kantor yang kukirimi lamaran kucatat. Ada
sekitar dua puluh, sebagian perusahaan
surat kabar. Sebagian ada yang berbaik
hati membalasnya meski berupa pemintaan maaf karena belum dapat menerima, namun sebagian lagi tidak
memberi jawaban. Tapi aku tak utus asa.
Pinsipku, harus tetap berusaha. Kalau
hari ini belum behasil, mungkin besok. Besok belum mungkin lusa, dan
seterusnya. ***
Mungkin Besok, mungkin lusa. (4.11
Sebenarnya
dokter menasehatkan untuk banyak istrahat sambil berobat jalan.
Terutama untuk menyembuhkan sampai tuntas penyakit paru-paru yang
kuderita. Aku tak pernah menyangka sebelumnya aku juga menderita
penyakit berbahaya itu. Badanku memang menyusut drastis namun tidak
batuk-batuk. Tetapi hasil ronsen menunjukkan adanya penyakit itu.
Setiap hari aku hanya tidur, bangun, dan keluar makan di warung. Lama
kelamaan bosan juga. Siang hari aku selalu sendirian dirumah.
Ketika aku masih di rumah sakit, perusahaan surat kabar kami, Pelopor, diambil alih dan ditutup oleh penguasa militer. Karyawannya disalurkan pada dua perusahaan surat kabar baru penggantinya, yaitu Pelopor Baru yang ada di bawah Angkatan Darat dan Pelopor Jaya di bawah Kodam V Jaya. Kedua-duanya dipimpin seorang Letnan Kolonel. Simon masuk di Pelopor Jaya dan Mas Ngatidjo di Pelopor Baru.
Karena itu setelah keluar dari rumah sakit, akupun melapor ke kedua pengelola surat kabar itu. Aku belum beruntung. Tidak diterima. Alasannya lowongan sudah ditutup. Meski kujelaskan bahwa aku juga bekas kayawan Pelopor, sama sekali tidak dipertimbangkan. Kondisi fisik tubuhku yang sangat kurus dan masih lemah, tidak menggugah welas asih mereka.
Sisa uang gajiku makin menipis. Selain untuk makan sehari-hari, aku juga masih harus mengeluarkan ongkos ke rumah sakit. Obat-obat kini harus kubeli sendiri. Aku masih diharuskan membawa obat streptomicien dan vitamin untuk disuntikan di rumah sakit paru-paru di Jatinegara. Dua kali seminggu selama dua tahun. Aku juga diminta untuk selalu minum susu guna memulihkan kesehatanku. Harus dirontgen secara berkala sampai paru-paruku benar-benar bersih.
Untuk mendapatkan uang dengan cepat terpaksa baju dan celanaku yang masih baik kujual. Sepotong demi sepotong kutawarkan dengan harga murah ke pedagang-pedagang kakilima pikulan yang sering mangkal malam hari di sepanjang jalan Salemba-Kramat Raya. Sebagian uangnya kubelikan ubi rebus sebagai makan malam.
Langkah selanjutnya adalah mulai berusaha mencari pekerjaan lain. Prioritasku cemat-cepat mendapatkan pekerjaan. Perkuliahan di kampus kami sudah diijinkan lagi. Namun dalam kondisi seperti itu belum memungkinkan aku ikut. Terpaksa kutunda untuk sementara.
Dengan modal ijasah SMA aku membuat lamaran-lamaran yang kusampaikan langsung ke kantor-kantor. Aku juga mendatangi suratkabar Gotong Royong yang baru terbit di Jalan Sawah Besar, tetapi mereka juga belum membuka lowongan. Pernah aku bejalan kaki ke Jalan Cokrominoto Menteng untuk menyampaikan lamaran ke sebuah perusahaan yang kubaca melalui iklan tetapi hasilnya nihil.
Semua kantor yang kukirimi lamaran kucatat. Ada sekitar dua puluh. Sebagian perusahaan suratkabar. Ada yang berbaik hati membalasnya meski berupa permintaan maaf karena belum dapat menerima. Sebagian lagi tidak memberi jawaban samasekali. Tetapi aku tidak berputus asa. Mottoku, “Tuhan pasti akan memberi jalan. Kalau bukan hari ini mungkin besok. Kalau bukan besok, mungkin lusa dan seterusnya. Yang penting tetap berusaha dan bedoa”.
Aku menduga mungkin modal ijazah SMA saja belum cukup. Karena hampir semua iklan-iklan lowongan yang kubaca di koran selalu mencantumkan persyaratan Ijasah Bond A atau B dan ijasah mengetik. Karena itu aku lalu mendaftar mengikuti Kursus Bond A. Tetapi karena tak mampu membayar uang kursus aku tak dapat meneruskannya sampai selesai.
Pada suatu hari aku membaca sebuah papan nama kecil “Mingguan Udjana” di ujung jalan Kramat VIII (sekarang Jalan Zambrut-2010). Dengan penuh harap aku mendatangi alamatnya dan menyatakan niatku untuk melamar bekerja sebagai korektor. Pak Umbas pemilik koran itu ternyata mengabulkan. Meski belum diberitahukan upah yang akan diberikan, dan koran kami hanya terbit sekali seminggu, aku sungguh-sungguh besyukur. Semangatku terasa bangkit kembali. Kupikir, paling sedikit aku akan dapat mencukupi kebutuhan makanku sehari-hari. Karena pakaian yang layak kujual untuk membeli makanan sudah tidak ada lagi.
Aku dibuatkan Kartu Pers dan aku sangat senang menerimanya. Jabatanku langsung jadi wartawan lagi ! Pak Umbas hanya dibantu dua orang pegawainya. Pak Runtuwene sebagai Pemimpin redaksi dan seorang wartawan yang merangkap korektor.
Mingguan Ujana dicetak di percetakan Dwi Grafika di Ancol. Sebagai korektor, aku tidak menemui kesulitan apapun karena sudah berpengalaman di suratkabar Pelopor. Tetapi ketika Pak Runtuwene memintaku mengetik, dengan perasaan malu dan menyesal jujur kukatakan belum bisa.
Aku senang ketika koran kami terbit. Penataannya cukup cantik dengan tinta kebiru-biruan. Hanya aku akan risih karena hampir semua berita dan ulasannya cenderung rasialistis. Terutama terhadap golongan Cina. Aku merasa kurang cocok dengan kebijakan redaksional ini. Konon, ini dilatabelakangi kegagalan dalam persaingan dagang. Pemilik koran Ujana ini dahulu pengusaha yang sukses. Memiliki perusahaan perkapalan. Ia kemudian bangkrut, karena dicurangi seorang pengusaha yang katanya keturunan Cina. ***
Ketika aku masih di rumah sakit, perusahaan surat kabar kami, Pelopor, diambil alih dan ditutup oleh penguasa militer. Karyawannya disalurkan pada dua perusahaan surat kabar baru penggantinya, yaitu Pelopor Baru yang ada di bawah Angkatan Darat dan Pelopor Jaya di bawah Kodam V Jaya. Kedua-duanya dipimpin seorang Letnan Kolonel. Simon masuk di Pelopor Jaya dan Mas Ngatidjo di Pelopor Baru.
Karena itu setelah keluar dari rumah sakit, akupun melapor ke kedua pengelola surat kabar itu. Aku belum beruntung. Tidak diterima. Alasannya lowongan sudah ditutup. Meski kujelaskan bahwa aku juga bekas kayawan Pelopor, sama sekali tidak dipertimbangkan. Kondisi fisik tubuhku yang sangat kurus dan masih lemah, tidak menggugah welas asih mereka.
Sisa uang gajiku makin menipis. Selain untuk makan sehari-hari, aku juga masih harus mengeluarkan ongkos ke rumah sakit. Obat-obat kini harus kubeli sendiri. Aku masih diharuskan membawa obat streptomicien dan vitamin untuk disuntikan di rumah sakit paru-paru di Jatinegara. Dua kali seminggu selama dua tahun. Aku juga diminta untuk selalu minum susu guna memulihkan kesehatanku. Harus dirontgen secara berkala sampai paru-paruku benar-benar bersih.
Untuk mendapatkan uang dengan cepat terpaksa baju dan celanaku yang masih baik kujual. Sepotong demi sepotong kutawarkan dengan harga murah ke pedagang-pedagang kakilima pikulan yang sering mangkal malam hari di sepanjang jalan Salemba-Kramat Raya. Sebagian uangnya kubelikan ubi rebus sebagai makan malam.
Langkah selanjutnya adalah mulai berusaha mencari pekerjaan lain. Prioritasku cemat-cepat mendapatkan pekerjaan. Perkuliahan di kampus kami sudah diijinkan lagi. Namun dalam kondisi seperti itu belum memungkinkan aku ikut. Terpaksa kutunda untuk sementara.
Dengan modal ijasah SMA aku membuat lamaran-lamaran yang kusampaikan langsung ke kantor-kantor. Aku juga mendatangi suratkabar Gotong Royong yang baru terbit di Jalan Sawah Besar, tetapi mereka juga belum membuka lowongan. Pernah aku bejalan kaki ke Jalan Cokrominoto Menteng untuk menyampaikan lamaran ke sebuah perusahaan yang kubaca melalui iklan tetapi hasilnya nihil.
Semua kantor yang kukirimi lamaran kucatat. Ada sekitar dua puluh. Sebagian perusahaan suratkabar. Ada yang berbaik hati membalasnya meski berupa permintaan maaf karena belum dapat menerima. Sebagian lagi tidak memberi jawaban samasekali. Tetapi aku tidak berputus asa. Mottoku, “Tuhan pasti akan memberi jalan. Kalau bukan hari ini mungkin besok. Kalau bukan besok, mungkin lusa dan seterusnya. Yang penting tetap berusaha dan bedoa”.
Aku menduga mungkin modal ijazah SMA saja belum cukup. Karena hampir semua iklan-iklan lowongan yang kubaca di koran selalu mencantumkan persyaratan Ijasah Bond A atau B dan ijasah mengetik. Karena itu aku lalu mendaftar mengikuti Kursus Bond A. Tetapi karena tak mampu membayar uang kursus aku tak dapat meneruskannya sampai selesai.
Pada suatu hari aku membaca sebuah papan nama kecil “Mingguan Udjana” di ujung jalan Kramat VIII (sekarang Jalan Zambrut-2010). Dengan penuh harap aku mendatangi alamatnya dan menyatakan niatku untuk melamar bekerja sebagai korektor. Pak Umbas pemilik koran itu ternyata mengabulkan. Meski belum diberitahukan upah yang akan diberikan, dan koran kami hanya terbit sekali seminggu, aku sungguh-sungguh besyukur. Semangatku terasa bangkit kembali. Kupikir, paling sedikit aku akan dapat mencukupi kebutuhan makanku sehari-hari. Karena pakaian yang layak kujual untuk membeli makanan sudah tidak ada lagi.
Aku dibuatkan Kartu Pers dan aku sangat senang menerimanya. Jabatanku langsung jadi wartawan lagi ! Pak Umbas hanya dibantu dua orang pegawainya. Pak Runtuwene sebagai Pemimpin redaksi dan seorang wartawan yang merangkap korektor.
Mingguan Ujana dicetak di percetakan Dwi Grafika di Ancol. Sebagai korektor, aku tidak menemui kesulitan apapun karena sudah berpengalaman di suratkabar Pelopor. Tetapi ketika Pak Runtuwene memintaku mengetik, dengan perasaan malu dan menyesal jujur kukatakan belum bisa.
Aku senang ketika koran kami terbit. Penataannya cukup cantik dengan tinta kebiru-biruan. Hanya aku akan risih karena hampir semua berita dan ulasannya cenderung rasialistis. Terutama terhadap golongan Cina. Aku merasa kurang cocok dengan kebijakan redaksional ini. Konon, ini dilatabelakangi kegagalan dalam persaingan dagang. Pemilik koran Ujana ini dahulu pengusaha yang sukses. Memiliki perusahaan perkapalan. Ia kemudian bangkrut, karena dicurangi seorang pengusaha yang katanya keturunan Cina. ***
No comments:
Post a Comment