Tujuanku ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan tak pernah kulepaskan. Karena pimpinan suratkabar tempatku bekerja adalah juga dosen di Universitas Pancasila, maka untuk praktisnya, akupun memutuskan mendaftar di situ. Lagi pula kuliahnya sore hari. Aku mengikuti ujian masuk Fakultas Farmasi yang masih berhubungan dengan dunia kedokteran dan berhasil lulus.
Dari tempat kerja, biasanya aku tidak pulang. Langsung ke kampus di Jalan Borobudur mengikuti kuliah atau praktikum sore hari. Kadang-kadang kuliah di ruang Microbiologi Universitas Indonesia Jalan Cikini, lalu praktikum kimia analisa atau botani anatomi di Laboratorium di Jalan Borobudur. Malam hari kembali bekerja. Waktu untuk istrahat sangat kurang.
Pada suatu hari, aku merasakan badanku terasa sangat capai. Aku hanya berbaring dan aku mengira letih saja selesai kerja. Kepala mulai pusing-pusing dan kedua kakiku kejang. Kalau berdiri terasa akan kehabisan tenaga. Seperti biasa kalau pusing-pusing aku menelan pel Naspro atau APC yang dapat dibeli di warung. Dan memang obat ini dapat menghilangkan rasa pusing dan tenaga puli kembali, tetapi hanya sementara karena setelah itu sakitnya kambuh kembali.
Aku menyadari berobat dengan cara ini bukanlah cara yang baik. Penyakit tak kunjung hilang sedangkan badan makin lama makiin kurus. Perut mulai sakit-sakit, sering buang air sedikit-sedikit Lama-lama bercampur darah, kemudian hanya darah dan makin banyak. Lalu aku memutuskan pergi memeriksakan diri keRumah Sakit Tarakan di Jalan Balikpapan. Tetapi obat-obat yang kubeli di apotik dengan resep rumah sakit itu tidak banyak menolong. Badan malah terasa makin lelah. Makan tidak lagi teratur karena sudah malas memasak. Lagi pula selera makan makin berkurang. Aku lebih banyak tidur, lebih-lebih setelah badan demam, panas dan sakit kepala datang beruntun.
Kak Sepe, yang juga masih saudara sepupuku dan sering datang menumpang di gubukku tidak datang-datang lagi. Ia lebih tua kira-kira sepuluh tahun, tetapi belum mempunyai pekerjaan. Biasanya ia datang dan berjualan minyak wangi di sepanjang rel kereta api tempat tinggalku. Tetapi nampaknya usahanya kurang berhasil.
Sejak hari-hari itu aku masuk kerja tidak teratur lagi. Kadang-kadang masuk, kadang-kadang tidak. Demontrasi berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar mahasiwa waktu itu menyebabkan perkuliahan di semua perguruan tinggi terhenti.
Terakhir aku masuk kampus ketika dilakukan apel mahasiwa di lapangan Borobudur. Mahasiwa terpecah dua kelompok Satu kelompok memihak berpihak pada Rektor dr. Ny. Subandrio, isteri Wakil Perdana Menteri I ketika itu, dan pihak lainnya berpihak pada Jendral Nasution Ketua Dewan Kurator Universitas. Ketika itu ia juga Menteri Kordinator Pertahanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, namun cenderung bersimpati kepada para demonstran yang menuntut pembubaran Partai Komunis, pembentukan kabinet baru dan penurunan harga-harga.
Dalam apel, Rektor memperingatkan segenap mahasiwa hanya boleh menjadi anggota Kompas (Korps Mahasiswa Universitas Pancasila) dan tidak ikut-ikutan dalam aksi mahasiswa yang lain. Tetapi sehabis apel, secara diam-diam ada sekelompok mahasiswa senior mengajak ikut begabung dalam aksi mahasiswa Kesatuan Aksii Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Universitas Indonesia.
Aku bersimpati dengan gerakan itu dan memutuskan ikut bergabung. Aku ingat saat itu aku lupa membawa peci fakultas dan hanya memakai jaket mahasiswa. Terpaksa kupinjam peci Siman, yang saat itu juga sudah kuliah di Fakultas Ekonomi. Padahal warna pecinya lain. Aku tak dapat mengikuti semua orasi karena aku ingin segera pulang beristirahat tidur***.
Mencari kerja (4.3)
Bagian ke empat: Jakarta, kota Proklamasi
Dari tempat kerja, biasanya aku tidak pulang. Langsung ke kampus di Jalan Borobudur mengikuti kuliah atau praktikum sore hari. Kadang-kadang kuliah di ruang Microbiologi Universitas Indonesia Jalan Cikini, lalu praktikum kimia analisa atau botani anatomi di Laboratorium di Jalan Borobudur. Malam hari kembali bekerja. Waktu untuk istrahat sangat kurang.
Pada suatu hari, aku merasakan badanku terasa sangat capai. Aku hanya berbaring dan aku mengira letih saja selesai kerja. Kepala mulai pusing-pusing dan kedua kakiku kejang. Kalau berdiri terasa akan kehabisan tenaga. Seperti biasa kalau pusing-pusing aku menelan pel Naspro atau APC yang dapat dibeli di warung. Dan memang obat ini dapat menghilangkan rasa pusing dan tenaga puli kembali, tetapi hanya sementara karena setelah itu sakitnya kambuh kembali.
Aku menyadari berobat dengan cara ini bukanlah cara yang baik. Penyakit tak kunjung hilang sedangkan badan makin lama makiin kurus. Perut mulai sakit-sakit, sering buang air sedikit-sedikit Lama-lama bercampur darah, kemudian hanya darah dan makin banyak. Lalu aku memutuskan pergi memeriksakan diri keRumah Sakit Tarakan di Jalan Balikpapan. Tetapi obat-obat yang kubeli di apotik dengan resep rumah sakit itu tidak banyak menolong. Badan malah terasa makin lelah. Makan tidak lagi teratur karena sudah malas memasak. Lagi pula selera makan makin berkurang. Aku lebih banyak tidur, lebih-lebih setelah badan demam, panas dan sakit kepala datang beruntun.
Kak Sepe, yang juga masih saudara sepupuku dan sering datang menumpang di gubukku tidak datang-datang lagi. Ia lebih tua kira-kira sepuluh tahun, tetapi belum mempunyai pekerjaan. Biasanya ia datang dan berjualan minyak wangi di sepanjang rel kereta api tempat tinggalku. Tetapi nampaknya usahanya kurang berhasil.
Sejak hari-hari itu aku masuk kerja tidak teratur lagi. Kadang-kadang masuk, kadang-kadang tidak. Demontrasi berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar mahasiwa waktu itu menyebabkan perkuliahan di semua perguruan tinggi terhenti.
Terakhir aku masuk kampus ketika dilakukan apel mahasiwa di lapangan Borobudur. Mahasiwa terpecah dua kelompok Satu kelompok memihak berpihak pada Rektor dr. Ny. Subandrio, isteri Wakil Perdana Menteri I ketika itu, dan pihak lainnya berpihak pada Jendral Nasution Ketua Dewan Kurator Universitas. Ketika itu ia juga Menteri Kordinator Pertahanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, namun cenderung bersimpati kepada para demonstran yang menuntut pembubaran Partai Komunis, pembentukan kabinet baru dan penurunan harga-harga.
Dalam apel, Rektor memperingatkan segenap mahasiwa hanya boleh menjadi anggota Kompas (Korps Mahasiswa Universitas Pancasila) dan tidak ikut-ikutan dalam aksi mahasiswa yang lain. Tetapi sehabis apel, secara diam-diam ada sekelompok mahasiswa senior mengajak ikut begabung dalam aksi mahasiswa Kesatuan Aksii Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Universitas Indonesia.
Aku bersimpati dengan gerakan itu dan memutuskan ikut bergabung. Aku ingat saat itu aku lupa membawa peci fakultas dan hanya memakai jaket mahasiswa. Terpaksa kupinjam peci Siman, yang saat itu juga sudah kuliah di Fakultas Ekonomi. Padahal warna pecinya lain. Aku tak dapat mengikuti semua orasi karena aku ingin segera pulang beristirahat tidur***.
Pondokku (4.4)
.
Sesuai
kesepakatan dengan Mas Narumi, setelah mendapatkan gaji
pertama aku berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Sebagai orang baru di
Jakarta, aku belum mengetahui seluk-beluk sewa-menyewa atau mengontrak rumah.
Seorang ibu yang memasang iklan di koran aku surati tetapi tidak memberikan
balasan. Akhirnya seorang pekerja di percetakan memberi tahu ada tetangganya di
Gang Sinyar Grogol akan menjual gubuknya. Kondisinya sebetulnya sangat tidak
memenuhi syarat kesehatan.
Terbuat dari gedek dengan atap daun sagu. Luas
lantainya yang berupa tanah hanya berukuran
dua kali tiga meter. Tidak ada jendela samasekali. Disamping kiri dan depan
terdapat parit yang lumpurnya hitam tergenang. Baunya
terkadang menusuk hidung sampai ke dalam. Tidak ada halaman, tanpa pagar, hanya
parit kecil itu saja yang membatasi dinding dengan jalan. Rupanya gubuk ini
bekas warung sayur.
Ada sumur tanpa dilapisi
beton disamping gubukku, tapi airnya
hampir-hampir kering. Tidak cukup untuk mandi, apalagi harus berbagi dengan
tetangga, sebuah keluarga dengan seorang
anak di belakang gubukku. Ruang tertutup
untuk mandi juga tidak ada.
Disebelahnya terdapat jamban
yang digunakan bersama. Demikian dekatnya sehingga airr sumur di sebelahnya
bisa tercemar. Karena itu aku lebih suka mandi di kantor, sedangkan untuk minum dan masak aku membeli air
kalengan yang dijual tukang pikul keliling.Pakaian-pakaian kotor juga kucuci di
tempat kerja lalu kubawa pulang. Kujemur dalam gubukku karena di luar tak ada tempat
menjemur pakaian.
Demikian sulitnya mendapatkan air,
pada suatu petang dengan handuk di bahu aku menuju Kali Grogol untuk mandi. Dari atas jembatan
kereta api aku lihat air kali besar itu kuning warnanya dan sesekali kulihat
benda menjijikan hanyut. Di sepanjang tepinya banyak saja orang yang mandi dan
mencuci. Tetapi aku tetap merasa enggan untuk menyentuh air itu. Aku berbalik
untuk pulang. Tiba diujung gang, nampak orang-orang tengah ramai menonton
pertunjukan lenong. Tanpa baju dan hanya berselimutkan handuk, aku ikut
bergabung, duduk diatas rel kereta api. Kian lama lakon-lakonnya kian
mengasyikan. Sesekali kami terganggu dan harus menyingkir ketika kereta api
akan lewat. Tanpa terasa hari telah menjelang pagi.
Ruang yang sangat sempit hanya mampu menampung sebuah
velbed tentara titipan kakakku, sebuah koper kecil pakaianku dan sebuah kompor.
Disitulah aku berkurung setiap pulang kerja. Tak ada sama sekali ruang terbuka
untuk bergerak santai. Sebelah kiri diapit pagar dan parit. Sebelah belakang dengan dinding rumah tetangga, dan
didepan diapit parit kotor dan gang yang persis di muka pintu masuk gubukku.
Apa boleh buat. Dengan penghasilan yang masih terbatas aku harus
menerima keadaan apa adanya. Untuk menghemat, pergi pulang kerja harus berjalan
kaki sejauh sekitar sepuluh kilometer setiap hari, dari Grogol ke Jalan Hayam
Wuruk. Aku amat tertolong ketika kakakku memberi surat kuasa untuk mengambil
jatah berasnya setiap bulan di Sukabumi. Ada juga jatah kacang hijau dan sabun. Saat itu kesatuannya,
dari Divisi Siliwangi, sedang bertugas operasi di Sulawesi Selatan,
kemudian Ambon dan Pakanbaru.
Meski terbantu, kebutuhan sehari-hari belum mencukupi. Untuk mencukupinya, aku
sering mengumpulkan sobekan-sobekan kertas gulungan dan koran cetakan percobaan
yang tak terpakai.
Semuanya kujual kiloan kepada seorang pedagang langganan di pasar.
Uang tambahan ini kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lauk yang
sudah matang di warung, sarapan pagi, minyak tanah, arang untuk setrika
pakaian, uang pendaftaran dan uang
kuliah, jaket mahasiwa, biaya praktikum
dan transportasi.***
Mencari kerja (4.3)
D
|
ari koran dan
majalah yang kubaca aku mulai dapat mengikuti situasi yang terjadi di Jakarta.
Terutama situasi politik. Polemik mengenai
Manikebu, konflik-konflik antara HMI dan CGMI yang berhaluan komunis
dan polemik antar partai lainnya.
Tapi yang paling menarik bagiku
adalah sebuah nama pada Harian Pelopor,
JK. Tumakaka. Ia adalah pemimpin redaksi sekaligus pemilik suratkabar ini. Nama
ini sudah sering disebut-sebut ayah dan ibuku. Kata mereka, mereka pernah
tinggal dii Uluanso, kampung kelahiranku ketika ayahnya guru Lamale bertugas
di sana. Dan kebetulan sekali ketika
kemudian kami mengungsi dan pindah
sekolah, aku pernah pula menjadi
murid beliau di Tinompo. Bahkan ketika beliau wafat secara
mendadak aku masih menjadi muridnya
di kelas 3.
Kupikir,
mungkin beliau juga masih ingat orangtuaku dan aku
yakin ia juga akan dapat menolong menerima aku bekerja di korannya. Sebagai apa
saja. Toh, aku sudah biasa bekerja keras.
Diam-diam aku minta informasi
lebih banyak tentang beliau dari loper koran tadi. Di mana rumah beliau dan
apakah ada kemungkinan aku dapat diterima bekerja di
korannya. Jawabannya ternyata sangat
memuaskan. Malah katanya ia tiap pagi juga ke rumahnya mengantarkan koran.
Kebetulan sekali ,
Puji Tuhan !
Mas Narumi dan isterinya
ternyata mempunyai hubungan sangat baik dengan keluarga beliau. Sebetulnya akan
lebih baik kalau mereka yang membantu
menyampaikan keinginanku. Tetapi bukankah mereka selalu memintaku
bersabar saja menunggu ?
Apa boleh buat.Kesempatan
satu-satunya ini harus kugunakan. Aku segera menyiapkan surat permohonan yang
sangat sederhana tetapi dengan nada kekeluargaan. Ketika loper datang lagi, aku
titipkan surat itu dengan pesan kalau dapat disampaikan langsung ke tangan
beliau. Aku tidak memberi tahu tindakanku kepada Mas Narumi atau isterinya dan
aku akui ini agak lancang. Tetapi apakah harus tidak berbuat ?
Dua hari kemudian selesai makan,
aku dan Siman ditanyai adakah diantara kami yang mengirim surat ke Pak Tumakaka
yang lasim dipanggil Pak Tom. Aku mengaku dan mereka menyesalkan tidak memberitahukan
sebelumnya. Tetapi sesudah itu mereka memberitahukan Pak Tom sudah menerima
baik pemohonanku. Aku disuruh menemui beliau untuk mendapatkan penjelasan
lebih jauh. Mereka juga menyuruh Siman untuk ikut serta. Kemanakan kakak sepupu
ini sudah tinggal di sini beberapa bulan sebelum kedatanganku. Ia sebelumnya
mengikuti test masuk Akademi Angkatan Laut di Manado dan lulus. Namun dalam
test lanjutan di Surabaya ia gagal. Ia akhirnya ke Jakarta.
Suasana di rumah Pak Tom nampak
ramai. Semua orang nampak riang gembira seperti sedang ada kumpulan keluarga. Pak Tom menerima kami
dengan ramah. Badan tinggi besar, berkumis sedang, sifat dan kebapakan Ia
memperkenalkan kami kepada isterinya dan anggota keluarganya yang lain.
Isterinya asal Malang juga ramah. Pak Tom mengajak kami ke ruang kerjanya yang lebih tenang dan
mulailah kami terlibat dalam saling ceritera yang akrab.
Beliau ketika itu sudah menjadi Menteri/Sekjen Font Nasional dan sering
berhubungan dengan Presiden, Bung Karno. Ketika
kuceriterakan sedikit asal-usul keluargaku, ia begitu antusias. Ternyata ia
kenal semua kakak-kakakku yang sebaya dengan dia semasa ayahnya menjadi guru
di kampung kami, Uluanso. Beliau juga menceriterakan kesan-kesan yang
menyenangkan Kami
terkadang menggunakan bahasa daerah dan sesekali ia tertawa senang.
Ia kemudian mengatakan bahwa kami
bedua dapat diterima bekerja sebagai korektor di surat kabarnya.
Tapi sesudah Tahun Baru, karena
saat itu sedang sibuk-sibuknya menyambut Natal dan Tahun Baru. Namun diminta
mulai besok sebaiknya sudah ke percetakan melihat-lihat dahulu apa dan
bagaimana pekerjaan seorang korektor.
Ketika pertama kali memasuki gedung
percetakan Daya Upaya di gedung De Uni (tempat Hotel Jayakarta sekarang), napas
terasa sumpek. Di sana sini terlihat mesin-mesin berwarna hitam. Ada yang tak
digunakan dan tertutup terpal hitam dan sederetan lainnya yang sedang digunakan nampak
mengepul-ngepulkan asap timah berwarna putih. Agak ke kiri ada sebuah mesin sangat besar bergemuruh seperti air terjun dan menurut keterangan
itulah pencetak akhir suratkabar yang disebut
mesin Rotasi.
Terpesona juga aku pertama kali melihatnya karena
bekerjanya demikian cepat. Kertas gulungan besar yang terpasang pada mesin,
hanya dalam waktu satu-dua jam telah berubah menjadi koran-koran yang tersusun
rapih dan siap untuk diedarkan.
Pekerja-pekerja tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Banyak yang
hanya menggunakan baju singlet karena hawa panas mesin. Disamping mereka, selalu tersedia segelas susu murrni. Karena menurut
keterangan hanya inilah yang dapat menetralisir uap timah yang terhirup masuk
dalam tubuh.
Di sebuah meja panjang dengan lampu neon panjang-panjang tergatung di atasnya, beberapa orang tengah duduk
dengan kertas-kertas dan alat tulis. Rupanya mereka itulah yang bekerja sebagai
korektor. Pak Tom memperkenalkan
kami dan menyuruh mereka mengajari kami. Pekerjaan ini
ternyata tidak begitu sulit.Hanya mengoreksi
kesalahan-kesalahan cetak dari mesin agar sesuai dengan naskah aslinya. Yang
perlu diperhatikan adalah ketelitian. Hanya lingkungan kerjanya agak
menyesakan. Bunyi deru dan peletak-peletuk mesin mula-mula mengganggu
pendengaran. Karena koran kami terbit pagi hari,
kami harus bekerja malam hari. Udara pengap dan dingin. Untuk menjaga kondisi
kesehatan, selalu tersedia susu murrni dan bubur kacang hijau. Ketika tugas
kami selesai, sambil menunggu proses pencetakan dan hari siang, kami menggelar
kertas diatas meja atau lantai semen dan tidur.
Makin lama ada daya tarik tersendiri bekerja di surat kabar ini. Tempat
ini ternyata merupakan gudang berita yang serba baru. Ada buletin-berita kantor
berita Antara yang diantar tiga kali sehari,. Ada bagian monitoring berita-berita radio dalam dan
luar negeri, koran-koran lain yang diterima sebagai nomor tukar, berita-berita
informasi dari berbagai instansi pemerintah dan swasta, kedutaan-kedutaan dan
kantor berita asing.
Belum lagi berita-berita yang
ditulis oleh wartawan kami sendiri. Teknik menulis berita-berita itu sendiri
sudah menarik.
Ada beberapa rubrik dalam koran
kami yang kupikir aku juga dapat mengisinya. Aku sering mengajukan bahan untuk kolom
kecil “Kota di sana-sini”dan ternyata
dimuat. Aku juga adakalanya mengisi
renungan pendek pada ruangan Mimbar Kristen setiap hari Sabtu. Tentu saja naskahnya selalu diteliti lebih
dahulu oleh pengasuhnya.
Malahan kemudian aku juga diberi tanggung jawab pengisian ruangan “Renungan
Hari Ini”. Ruangan ini diisi setiap hari
satu ayat Alkitab dengan gambar kecil gereja diatasnya, dan disebelahnya satu
ayat Alqur’an dengan gambar kecil mesjid di atasnya.
Suatu hari letak
ke dua ayat Kitab Suci itu tertukar sehingga hari itu redaksi menerima banyak protes telepon dari pembaca.
Pengalaman tak terlupakan. Tentu saja aku kaget dan segera diralat dengan
permohonan maaf. ***
Tantangan (4.2)
Beberapa hari
berikutnya aku dan Siman ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Salemba untuk mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa. Tetapi alangkah
kecewanya. Pendaftaran, untuk semua jurusan telah ditutup. Sedangkan tempat Akademi Penerbangan di Curug belum kuketahui secara tepat. Mas Narumi
agaknya sedang dalam istrahat cuti sakit sehingga tidak dapat membantu.
Terpaksa menganggur selama
beberapa bulan. Tinggal di rumah selama itu tanpa ada yang dikerjakan sungguh
membosankan. Untunglah ada kaset lagu-lagu bagus. Ada koran yang
terbit setiap hari sehingga cukup
mengurangi kejenuhan. Pagi hari
Harian Pelopor, sore harian Sinar Harapan dan ada pula Majalah Jaya yang
diterbitkan pemerintah Swapraja Jakarta.
Lama-lama timbul niat untuk bekerja
saja. Tapi Mas Narumi selalu menasehati supaya sabar. Jangan terburu nafsu.
“Nafsu besar, tenaga kurang”, begitu selalu ia mengatakan. Tetapi ia tidak
memberikan satu jalan keluar. Memang pernah ia menyuruhkan mengerjakan pembukuan sebuah perusahaan
penerbangan nasional. Dengan modal pengetahuan Tata Buku ku yang masih segar
dari SMA, aku dapat menyelesaikannnya. Tapi setelah itu tidak ada tindak
lanjutnya.
Aku sendiri mulai merasa tidak enak hati karena
menjadi beban mereka. Disitu sudah ada pula Siman kemanakannya.
Apalagi saat itu sedang krisis pangan.
Karena beras langkah, orang-orang sudah mulai makan bulgur. Konon kabarnya, di
Amerika barang ini menjadi makanan kuda. Padahal di kampung, nasi untuk dimakan
selalu beras pilihan dari hasil ladang. Beras
hasil sawah jarang dimakan dan dikhususkan untuk dijual. ***
Bagian ke empat: Jakarta, kota Proklamasi
Selamat
Tinggal Poso (4.1)
Setelah
berlayar seminggu tibalah kami di Surabaya. Di pelabuhan Tanjung Perak aku
berjumpa dengan Madison Katili teman sekolah sejak di SMP
sampai SMA. Hanya Madi duduk di kelas
IIIc sedang saya IIIb.
Kami
tak lama bercakap-cakap karena Pak Tonggiro segera mengajak aku ke Hotel.
Besoknya kami berangkat dengan kereta
api dari Stasion Semut. Pengalaman pertama naik kereta api. Penuh
berdesak-desakan. Pak Tonggiro tertidur memangku tas kulitnya sambil terangguk-angguk oleh
goncangan kereta. Pagi-pagi ia terkejut. Ternyata tas kulitnya digores pencuri
dengan silet. Sarung batiknya hilang. Untung dompetnya tempat uang kami dimasukkan masih ada.
Pemandangan
masih gelap ketika kami tiba di Stasion
Gambir,. Kami beristrahat sejenak sambil sarapan dan minum di depan Stasiun. Inilah perkenalanku pertama dengan
Jakarta. Di sebelah barat nampak benda aneh,
besar menjulang tinggi, hitam remang-remang. Bagaikan pohon rindang yang
cabang-cabangnya baru ditebas. Makin terang makin jelas, ternyata itu sesungguhnya sebuah
proyek besar yang sedang dikerjakan.Tiang-tiang penyangganya masih
terpasang tetapi aku belum tahu kalau kemudian akan berupa tugu. Monumen
Nasional. Teman seperjalanan dari Departemen Pertanian membantu kami menawar
becak ke Senayan sedang ia sendiri akan langsung pulang ke rumahnya di Grogol.
Kami lewat depan Balaikota
dan aku pikir kantor Pemerintah Dati II
Poso masih lebih bagus dan lebih luas Di
kiri kanan Jalan Jendral Sudirman masih banyak semak belukar dan pepohonan. Di
Jembatan Semanggi, seorang polisi lalulintas membantu menunjukan kami jalan masuk ke kompleks Istora Senayan lalu mencari jalan
Atletik.
Gedung utama Senayan tentu saja
selalu menjadi perhatianku. Stadion ini terletak tidak berapa jauh diujung
Jalan Atletik tempatku kini menumpang di keluarga kakak sepupuku, anak bungsu kakak
laki-laki tertua ayahku..
Aku
telah membaca, di tempat itulah diselenggarakan Asian Games dan Conefo gagasan
Bung Karno belum lama berselang. Maga, kakakku tentara yang bertugas di Sukabumi pernah mengirimkan Kartu pos yang
bergambar stadion utama Senayan. Memang megah.
Khawatir tersesat, aku belum berani pergi jauh-jauh. Apalagi rumah-rumah di
kompleks ini sama persis semuanya. Baik blok-bloknya, bentuk bangunan, teras. tanaman-tanaman
hiasnya, kursi perabotan didepan rumah semuanya sama, dan tanpa pagar. Nama
jalan dan nomor rumah belum lagi
kuingat, sehingga suatu hari ketika aku disuruh membeli sesuatu aku hampir
tersesat. Untunglah setelah cukup lama hilir-mudik, puteri kakakku yang masih
kecil keluar di teras depan.
Isteri kakak sepupuku seorang Roro, puteri asal Kendal,
Jawa
Tengah. Ia biasa memanggil suaminya Mas Narumi. Mereka telah
mempunyai tiga orang puteri yang masih kecil-kecil. Disitu telah
ada pula Siman, kemanakan Mas Narumi***
No comments:
Post a Comment