Hal ini disebabkan adanya kecenderungan para awak media pers untuk
memihak pada calon atau partai di mana ia terhisap sebagai anggota atau
pendukung. Padahal mestinya dalam penyajian informasinya kepada
masyarakat harus netral dan benar-benar menyajikan sesuai fakta atau
keadaan sebenarnya.
Ada yang malahan tidak ada faktanya samasekali, bahkan malah bersifat
fitnah. Orang yang masih segar diberitakan telah meninggal. Contohnya,
selebaran gelap "Obor Rakyat" yang mengambil bentuk seperti suratkabar
tabloid.
Satu pelanggaran kode etik jurnalistik yang mendasar adalah tidak dilaksanakannya azas check and recheck
akan kebenaran suatu materi berita yang konroversial sebelum
dipublikasikan. Ia seharusnya mengecek terlebih dahulu kebenaran
informasi itu.
Setiap kali seseorang yang akan terjun dalam media pers, maka terlebih
dahulu ia mesti menguasai kode etik jurnalistik yang sekarang telah
ditopang oleh berbagai undang-undang. Ibarat orang mau turun ke jalan
mengemudi kendaraan, ia terlebih dahulu harus tahu peraturan lalulintas
disamping harus tahu tatacara mengemudi. Sebab kalau tidak, akan fatal
akibatnya. Bukan hanya pada orang lain, kerusakan harta benda tetapi
juga pada diri sendiri. Sanksi hukum pun siap menanti.
Maka adalah sangat mengherankan dan sangat disesalkan bahwa kedua oknum
yang menjadi tersangka pada kasus "Obor Rakyat" ini ternyata pernah
lama menjadi jurnalist di Majalah terkemuka "Tempo" yang dahulu dirintis
budayawan Goenawan Mohamad dan kawan-kawan.
Banyak jurnalist yang kemudian berhasil seperti Dahlan Iskan dan Karni
Eliyas pernah berkiprah di majalah itu. Dan sebagai orang yang juga
pernah aktif di majalah ini pada awal-awal pendiriannya, sangat
menyesalkan tindakan kedua tersangka yang telah mencederai citra majalah
ini - yang kini masih tetap menjadi acuan tepercaya bagi para pembaca
menengah ke atas. Padahal di sana selalu ditekankan adanya keharuskan
untuk selalu mengecek dan mengecek lebih dahulu kebenaran setiap
informasi sebelum dimuat.**
No comments:
Post a Comment