Mendengar rekaman pembicaraan Nurdin Khalid dalam perdebatan di layar televisi
seusai Munas Golkar kubu ARB di Bali, saya teringat ucapan lucu di sebuah iklan
TV “Aku ini
berarti nggak sih ?”
Dalam iklan itu ada sepasang suami-isteri muda tengah asyik menonton
pertandingan sepakbola favorit mereka. Tiba-tiba sang isteri memberi aplaus kepada pemain idolanya setelah
berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan.
Tanpa diduga sang suami marah. Rupanya ia cemburu. Sambil membelakangi isterinya
ia mengomel, ternyata benar juga apa kata orang selama ini. Lalu, tiba-tiba ia
berbalik badan lagi dan menukas pada isterinya : “Aku ini berarti nggak sih ?”.
Kaitannya dengan pembicaraan Nurdin Khalid, adalah ketika dalam analisis
politiknya, ia menyimpulkan bahwa dalam kubu KMP sesungguhnya Golkarlah yang
lebih menentukan daripada partai lainnya. Alasannya, karena Golkar sebagai
partai besar memiliki lebih banyak kursi di DPR dari yang lainnya. Sedang dalam
tubuh Golkar sendiri hanya ARB yang dianggap lebih mampu memimpin partai ini ke
depan.
Akan halnya di lingkungan Golkar, biarlah orang-orang Golkar sendiri
yang menilai. Tetapi klaim bahwa Golkar lebih menentukan dalam KMP, agaknya
masih dapat diperdebatkan. Karena masalah siapa yang lebih berperan, tidak
dapat hanya dengan melihat jumlah kursinya. Tetapi juga faktor ketokohan dan
kharisma dalam organisasi.
Dalam blog ini saya pernah menulis, bahwa tanpa Prabowo Subijanto, Ketua
Umum Gerindra, KMP akan buyar. KMP memperoleh kekuatan dari kharismanya. Hal
itu ditandai pula dengan penyebutan kubu Prabowo untuk KMP.
Demikian juga tokoh Amien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Partai PAN yang
penulis yakini sebagai tokoh brilian perancang strategi politik KMP selama ini,
agaknya ikut diremehkan. Padahal Golkar baru bergabung ke kubu Prabowo pada
saat-saat terakhir setelah ARB
kebingungan, setelah bertemu Jokowi di Pasar Gembrong dan ditolak PDIP
karena terlalu banyak syaratnya. ***
No comments:
Post a Comment