Tayangan televisi mengenai kriminalitas akhir-akhir ini sering membuat
kita terenyu. Bagaimana tidak. Begitu ringannya tangan orang
menghilangkan nyawa manusia sesamanya dengan cara sadis.
Pada beberapa kejadian, bukan saja satu dua orang yang menjadi korban,
tetapi sampai belasan orang. Ada yang jasadnya disayat-sayat atau dimutilasi,
ada yang dibuang di lubang WC, bahkan ada yang sampai memotong-motong dagingnya
lalu menjualnya bak daging hewan, dan orang yang tak tahu memakannya.
Sungguh mengerikan !! Padahal, satu dari lima dasar negara kita Pancasila,
adalah Kemanusiaan yang adil dan BERADAB.
Di beberapa tempat, sering diberitakan ada majikan yang menyekap
para pencari kerja yang tertipu bahkan sampai ada yang meninggal. Seperti
kasus keluarga Syamsul Anwar di Medan yang diberitakan beberapa waktu lalu
menghabiskan nyawa beberapa pembantu rumah tangga (PRT). Di Brebes ada anak
yang tega-teganya membunuh kedua ibu bapanya hanya karena permintaannya untuk
dibelikan motor oleh orangtuanya tidak dapat dipenuhi.
Begitu murahkah sekarang nyawa manusia di zaman ini. Belum lama
ini dunia kembali dikejutkan dengan pemberondongan 132 anak-anak
sekolah usia SD berikut 9 guru mereka di Pakistan oleh sekelompok teroris
Taliban.
Padahal manusia adalah ciptaan Tuhan yang termulia dari segenap
makluk bumi yang dijadikan. Sampai-sampai diciptakan menurut
“rupa dan gambar”-Nya. Kemudian mereka ditaruh di tempat yang khusus pula,
sebuah tempat yang indah, Taman Firdaus.
Sesudah seluruh umat manusia kecuali keluarga Nuh
dimusnahkan karena Tuhan melihat kejahatan manusia telah memenuhi muka
bumi, Tuhan lalu membuat perjanjian dengan Nuh dan keturunannya. Salah satunya,
agar manusia tidak menumpahkan darah sesamanya, karena dalam darahlah terlekat
nyawa manusia.
Larangan itu, begitu sungguh-sungguh, dari manusia Allah
akan menuntut nyawa sesama manusia yang dikorbankannya. Siapa yang menumpahkan
darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia sebab, “ Allah membuat
manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Bahkan kepada segala binatang pun,
yang melakukan penghilangan nyawa manusia Tuhan akan menuntut balas. (Kejadian
8 : 5-6).
Perintah untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap sesama ini
dipertegas lagi pada zaman nabi Musa di Gunung Torsina ketika Tuhan
menurunkan ”Hukum Sepuluh”.Pada urutan ke-6 dari perintah itu tertulis
“Jangan Membunuh”.
Lalu, kalau selama ini masih saja, bahkan orang makin ringan tangan
saja untuk membunuh, siapa yang harus bertanggungjawab ? Selain diri pribadi
masing-masing pelaku, tentu tidak lepas pula orang-orang terdekat,
seperti orangtua yang bertanggungjawab mendidik sejak awal, para
pendidik, khususnya para rohaniwan di mana seseorang senantiasa mendapatkan
tuntunan untuk berbuat baik.
Jadi, kalau suatu ketika ada kejadian seperti di atas, maka patut
pula dipertanyakan sejauh mana lembaga keagamaan tempat yang bersangkutan
menjadi jemaahnya telah melaksanakan fungsinya. Semestinya pimpinan
Gereja, Masjid, atau rumah ibadah agama lainnya merasa malu, apabila ada
anggotanya yang tersangkut tindak pidana, apalagi kriminal.
Dalam Yehezkiel 33 : 11, sebetulnya Tuhan sendiri tidak
menghendaki kematian orang jahat/fasik. Ia menghendaki pertobatan, pertobatan
dan bertobat dari kelakuannya supaya hidup. Mengapa manusia harus
mati ??
Dalam kaitan ini kepada setiap orang diwajibkan
mengingatkan sesamanya yang diketahuinya berbuat atau akan berbuat
kesalahan yang akhirnya akan berakibat mencelakakan orang lain atau
mencelakan dirinya sendiri. Apabila orang itu tidak diingatkan dan kemudian ia
kehilangan nyawa dalam kejahatannya, maka nyawa orang itu kelak akan dituntut
pula pertanggungjawabannya kepada orang yang tidak berbuat apa-apa untuk
menyadarkannya.( ayat 8-9).
Bagaimana dengan kejahatan kemanusiaan dalam praktek politik, seperti
pada peristiwa kerusuhan 1988, peristiwa Trisaksti, Semanggi I, II,
kematian Munir pembela hak-hak azasi mansia dan kehilangan
sejumlah aktivist pada waktu lalu ? Pengadilan dunia mungkin tak akan dapat
menyelesaikannya secara tuntas. Dan para pelaku yang bertanggungjawab
mungkin tenang-tenang saja di dunia ini. Apalagi sebagian dari para
penuntut keadilan untuk merek a kini sudah berkurang karena sudah meninggal
dunia.
Tetapi satu hal darah mereka, yaitu nyawa mereka, seperti juga darah
Habil yang dibunuh kakaknya, terus-menerus berteriak menuntut keadilan dari
Yang Maha Kuasa. Dan apabila saat pembalasan Tuhan itu datang saatnya,
maka siap-siaplah mengalami apa yang dilukiskan dalam lagu “Insyaflah”
seperti yang dilantunkan oleh Ida Laela.
Satu-satunya jalan yang ditunjukan Kitab Suci untuk terhindar
dari hukuman abadi itu adalah pertobatan seperti disebutkan diatas yang
didahului oleh pengakuan bersalah. Berdamailah dengan Allah yang empunya
pemegang hak pembalasan itu sebelum terlambat.
Bertepatan, Presiden Jokowi berkeinginan untuk menyelesaikan
semua kasus kemanusiaan yang terus menggantung itu hingga kini melalui
pengadilan. Dan setelah diputus Pengadilan, Presiden menjajikan untuk
memberikan pengampunan dalam rangka rekonsiliasi.
Apabila dalam pengadilan pihak yang bersangkutan mengakui
kesalahannya dengan tulus dan memohon maaf, kita percaya para keluarga korban
juga akan memaafkan, karena bangsa kita terkenal dengan budaya pemaaf. Apabila
itu terjadi, akan terciptalah kelegaan. Baik bagi negara karena dapat
menyelesaikan tunggakan masalah yang rumit dengan tuntas dan damai, bagi
para keluarga korban lega karena kasusnya telah mendapatkan kepastian
hukum, dan bagi yang merasa salah, proses hukum duniawi / negara
sudah mereka lewati. Sedangkan ganjaran dari Yang Maha Kuasa, kita percaya
Tuhan akan mengampuni. Ini bisa terjadi apabila kita mengimani janji
Tuhan dalam Kitab Nabi Yesaya 1 : 18 yang mengatakan : “ Marilah, baikah
kita berperkara !- firman TUHAN. Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan
menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain
kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”.
No comments:
Post a Comment