Dalam carut-marut hubungan
KPK-POLRI akhir-akhir ini, Jokowi ditempatkan pada posisi sulit. Dia dituntut
untuk segera mengambil kebijakan dan keputusan. Tetapi keputusan itu bukan
hanya harus dapat dterima oleh kedua pihak, tetapi juga oleh masyarakat umum
dipandang cukup elegan dan benar-benar dapat dilaksanakan.
Telah banyak saran-saran
dikemukakan. Tetapi diantaranya banyak yang bila dilaksanakan, malahan dapat
menimbulkan masalah baru. Diantaranya menyangkut dasar hukum. Sebab kalau salah,
Presiden dapat diinterpelasi. Dan memang itulah yang ditunggu-tunggu oleh
pihak-pihak yang selama ini belum menerima kepemimpinan Jokowi-JK.
Hal ini memang disadari Presiden.
Oleh karena itu ia sangat berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Kalaupun ada,
dianggap terlalu umum, datar, normatif, dan dianggap kurang praktis.
Asal mula
Asal mula dari
perseteruan ini diawali oleh pernyataan pers Abraham Samad dan Bambang Wijayanto selaku
Ketua dan Wakil Ketua KPK tentang telah ditetapkannya Komjen Pol. Bambang
Gunawan (BG) sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Padahal BG baru saja
diusulkan Presiden kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jendpol.
Sutarman yang akan pensiun, bahkan sudah mulai diproses DPR.
Tidak jelas,
mengapa KPK melakukan pada saat itu. Mungkin karena terdesak waktu untuk
mencegah. Sebab bila diumumkan ketika sudah diangkat menjadi Kapolri, dampaknya
akan lebih besar. Mungkin juga sebagai reaksi menolak
kebijakan Presiden, karena sebelum itu, BG sudah diberi catatan merah dan
dilaporkan oleh KPK ke Presiden ketika ia diajukan sebagai calon menteri kabinet.
Memang patut
disesalkan mengapa Jokowi tidak memperhatikan cacatan merah KPK itu, padahal
sebelumnya selalu ditekankannya untuk tidak mengangkat pembantu-pembantunya
yang dikemudian hari hanya akan menimbukan beban masalah yang tidak perlu.
Apapun
alasannya, KPK telah dianggap seperti sedang membuka konfrontasi dengan Presiden.
Presiden pun dipandang tidak lagi menghiraukan peringatan KPK. Dan karena BG adalah mantan ajudan Presiden
ke-5 RI Megawati Sukarnoputri yang sekarang masih Ketum PDI Perjuangan, maka scopenya menjadi tambah melebar.
Spekulasi
beredar bahwa pengusulan BG itu atas tekanan dari PDIP kepada Jokowi. Spekulasi
itu lebih menguat lagi ketika keluar pernyataan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto yang membeberkan
aktivitas politik Abraham Samad (AS) pada masa kampanye Pilpres yang lalu. Hal
ini menyebabkan posisi AS sebagai Ketua KPK terancam.
Dalam suasana KPK
terjepit seperti ini, pihak-pihak yang dirugikan KPK atau tidak menghendaki
keberadaan KPK, mengambil kesempatan untuk tambah melumpuhkan kekuatan KPK.
Laporan demi laporan tentang “tindak pidana” yang terjadi bertahun-tahun lewat,
dituduhkan kepada para pimpinan KPK lainnya. Sesudah Abraham Samad, menyusul terhadap
Bambang Wijayanto, kemudian Adnan Pandu Praja, Zulkarnain dan sesudah
itu entah siapa lagi. Dan anehnya, Bareskrim Mabes Polri dengan senang hati
menyambut saja semua itu dan memprosesnya dengan cepat.
Mestinya Polri
tidak begitu saja asal-asalan menerima setiap laporan untuk diproses. Apalagi
kalau yang menyangkut nama baik seseorang. Sebab kalau nanti semua tuduhan dikalahkan
di pengadilan, hanya akan menurunkan kewibawaan Polri.
Makanya tidak salah
kalau Presiden Jokowi meminta agar para institusi penegak hukum, termasuk Polri
dalam melakukan tugas dan fungsinya bertindak secara profesional dan menjaga
kewibawaannya.
No comments:
Post a Comment