Calon Kapolri BG yang kini jadi dilema buat
Presiden Jokowi, apakah harus dilantik atau dibatalkan, ibarat calon mantu
bermasalah, harus dinikahkan atau dibatalkan.
Ada kisah nyata, seorang teman, kakak tertua seorang
jenderal bintang 4, telah lama menduda. Dahulu, kawan inilah yang selalu
mengayomi seluruh adik-adiknya yang tujuh orang semenjak kedua ibu bapa
mereka sudah tiada.
Prihatin dengan kesendirian dan kesepian kakak
mereka yang duda itu, adik-adik mereka bermupakat untuk mencarikan seorang
isteri pendamping baru. Sang kawan ini mengaku akur-akur saja dengan usulan
adik-adiknya. Apalagi calon yang diperlihatkan fotonya, seorang janda muda
tanpa anak. Cukup menawan lagi.
Alkisah, perhelatanpun disiapkan. Keluarga besar
sudah dilibatkan, dan undangan sudah disebarkan. Keluarga rupanya berencana
ingin membuat acara itu agak spektakuler.
Tapi apa daya. Menjelang pelaksanaan, ada laporan
mengejutkan bahwa calon pengantin wanita ternyata seorang wanita penghibur di
sebuah kelap malam. Keluarga diidesak agar pernikahan dibatalkan.
Meskipun sang janda belum tentu “kurang bermoral”,
dan tidak diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi, namun pandangan umum
setempat telah mencap semua wanita penghibur kurang bermoral baik.
Apa boleh buat. Terpaksa semua acara dibatalkan.
Padahal, kata teman yang banyak humor ini, ayam-ayam sudah dipotong. Dan bagi
tradisi Makasar, pembatalan sepihak suatu perjanjian yang sudah dikukuhkan
secara adat bukan perkara main-main. “Tapi mau bagaimana lagi......”, kata
teman ini. Untunglah akhirnya ia dapat dicarikan seorang calon lain yang sesuai.
Bagaimana dengan calon Kapolri BG ? Ia telah
diusulkan Presiden Jokowi ke DPR dengan restu seluruh keluarga besar KIH.
Tiba-tiba ada pengumuman KPK bahwa sang calon ditetapkan sebagai tersangka
korupsi.
Anehnya, DPR yang biasanya kritis, tidak juga mempertanyakan
pengusulan yang bermasalah itu dan ikut
mendukung BG sebagai calon Kapolri.
Sebaliknya Presiden Jokowi seperti diperhadapkan
dengan dilema. Bila tetap melantik, bagaimana dengan status tersangka BG.
Apalagi di KPK tidak dibenarkan adanya penghentian perkara. Bila dilantik, maka
akan tercatatlah di MURI, Indonesia untuk pertama kalinya memiliki seorang
Kapolri dengan status tersangka.
Bila dilantik dan kemudian dinonaktifkan, maka
dapatlah dibayangkan konflik batin apa yang akan dihadapi bangsa ini dan korps
Bhayangkara. Suatu negara besar memiliki lembaga penegak hukum yang pimpinannya
tersangka melanggar hukum !! Bagaimana rakyat dan anggota-anggota Polri akan
taat hukum bila atasan tertingginya disangka melanggar hukum. Dan bagaimana
para pemimpin POLRI secara moral dapat memerintahkan anggotanya untuk menegakan
hukum, bila atasan mereka saja seorang tersangka pelanggar hukum ?
Maka, lebih bijak kiranya apabila Presiden Jokowi
membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri. Karena bila dilantik dan proses
hukum tetap diteruskan, maka mengadili seorang tersangka calon Kapolri dan
mengadili seorang Kapolri non aktif jelas dampaknya berbeda.
Ada beberapa pihak yang bersikeras hendak
memaksakan Presiden tetap melantik BG dengan dalam tempo 20 hari. Kalau tidak
Presiden melanggar undang-undang dan mengingkari kehendak rakyat. Alasannya, DPR
yang telah memberikan persetujuan itu adalah merupakan presentasi rakyat
sebagai wakil rakyat. Alasan ini bisa benar dalam situasi normal, tetapi dalam
kasus ini dapat dipastikan banyak rakyat yang menolak persetujuan DPR itu.
Biarlah BG menjernihkan perkaranya melalui
pengadilan. Dan bila nanti tidak terbukti bersalah, dapat diusulkan kembali sebagai
calon Kapolri pada kesemparan berikutnya.
Mengenai desakan pelantikan dalam 20 hari, rupanya
ada pemutarbalikan informasi. Ketentuan ini berlaku dalam hal pengajuan pengesahan
RUU ke Presiden yang sudah disepakati DPR dan Pemerintah. Demikian pula dalam
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian tidak ada yang menyebutkan Presiden
harus melantik dalam tempo 20 hari calon Kapolri yang sudah disetujui DPR.
Yang ada pada pasal 11 malah sebaliknya. Usulan
calon Kapolri dari Presiden ke DPR harus dijawab dalam tempo 20 hari. Selewat
itu, maka DPR dianggap sudah memberikan
persetujuan.***
No comments:
Post a Comment