Salah satu masalah kontroversial dalam pro
kontra terhadap Undang-undang KPK hasil revisi adalah masalah SP3 (Surat
Pemberhentian penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) terhadap perkara tersangka
kasus korupsi berlarut-larut yang ditangani KPK. Ada beberapa kasus di mana
tersangka tak pernah dapat diajukan ke pengadilan selama bertahun-tahun bahkan
ada yang sampai meninggal – karena bahan-bahan pembuktian dianggap masih belum
lengkap. Karena itu dalam revisi UU KPK, masa penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan itu dibatasi satu tahun. Lewat dari itu tersangka harus dibebaskan
demi hukum.
Masalah SP3 ini nampaknya merupakan salah satu
bagian yang tak terpisahkan dari paket penolakan UU KPK hasil revisi sehingga
tak dapat ditemukan penyelesaiannya. Apabila soal SP3 ini ada solusinya maka
salah satu pasal yang dipertentangkan dapat dikurangi.
Kalau dicermati, pasal 6 huruf a dan b UU
No.30 tahun 2002 tentang KPK, tugas KPK antara lain melakukan koordinasi dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (tpk) serta melakukan supervisi atas pelaksanaan
tugas mereka.
Sedang pada
pasal 7 huruf a ditegaskan kembali wewenang KPK antara lain mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tpk. Selanjutnya, dalam tugas melakukan supervisi pada pasal 8 ayat
(2) KPK diberi kewenangan mengambil alih penyidikan dan penuntutan tpk yang
sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan dengan berbagai alasan seperti yang
dirinci pada pasal 9. Namun dalam ketiga pasal ini tak ada disebutkan tindakan
sebaliknya, yaitu tentang penyerahan atau pelimpahan perkara TPK dari KPK ke
Kepolisian atau Kejaksaan.
Tetapi dalam
praktek pengadilan tpk, ada kasus di mana KPK harus melimpahkan penyidikan dan
penuntutan perkara TPK kepada Kejaksaan, yaitu dalam perkara Budi Gunawan (BG).
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi telah
mengabulkan permohonan gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi
Gunawan. Dalam putusannya, Rizaldi menilai, penetapan status tersangka Budi
Gunawan oleh KPK tidak sah. Berkas perkara kasus Budi Gunawan kemudian
dilimpahkan KPK ke Kejaksaan pada 10 Maret 2015. Pelimpahan itu menjadi solusi
yang diambil KPK setelah pengusutan kasus tersebut mandek.
Selanjutnya,
pada 2 April 2015, Kejaksaan ternyata telah melimpahkan kembali penanganan
kasus Budi ke Polri. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, alasan penyerahan
penanganan berkas Budi karena adanya nota kesepahaman di antara KPK-Kejaksaan
Agung-Polri yang mengakomodir pengambilalihan perkara.
Sementara itu, dari
pihak kepolisian, Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan ketika itu mengisyaratkan
akan dihentikannya pengusutan kasus Budi. Anton mengatakan, berkas yang
didapatkan dari kejaksaan tidak laik untuk ditindaklanjuti karena tidak ada
dokumen penyelidikan dan penyidikannya. "(Berkas) itu hanya LHA dan itu
fotokopian. Bagaimana kita bisa tetapkan tersangka dengan berkas seperti itu?
Ada surat pemeriksaan, tapi nama yang akan diperiksa enggak ada. Kami kesulitan
dong," ujar Anton.
Proses pengalihan perkara BG ini memang sempat mengundang kontroversi
diantara para praktisi hukum. Namun pada akhirnya semua mereda sampai akhirnya
BG diangkat menjadi Kepala BIN (Badan Intelijen Negara).
Kembali pada kontroversi SP3, nyatanya KPK telah melakukan
pelimpahan perkara TPK ke Kejaksaan Agung dalam kasus BG. Solusi itu dianggap
sebagai satu-satunya pilihan karena KPK tidak ada kesempatan naik banding. Meskipun
pelimpahan balik oleh KPK ini tidak ditemukan dalam UU KPK No.30 Tahun 2002
namun prosesnya tetap berjalan sehingga kemudian dapat diklasifikasikan sebagai
yurispridensi. Maka daripada ribut-ribut
memaksakan KPK diberi kewenangan
menerbitkan SP3, mengapa KPK tidak dianjurkan menggunakan yurispundensi ini saja
untuk melimpahkan perkara yang berlarut-larut ke Kejaksaan atau Kepolisian yang
telah mempunyai kewenangan menerbitkan SP3 ?. Tentu saja sesuai kewenangannya KPK
dapat menyertakan syarat, bila diberikan SP3, perkara dapat dibuka kembali kalau
ditemukan alat bukti baru. Gitu aja repot…*** (Sam Lapoliwa SP, mantan wartawan).