Presiden Jokowi kini dalam posisi
sulit. Antara harus mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang) untuk membatalkan undang-undang KPK atau tidak. Terjepit antara
desakan DPR, sebagian besar partai politik dan sejumlah pejabat eksekutif ex.
partai disatu pihak, dan kelompok aksi mahasiswa, aksi pemuda pelajar,
perguruan tinggi, para rohaniwan dan para tokoh sepuh nasional dan sejumlah
budayawan di lain pihak.
Kelompok pertama bersikukuh agar
Presiden segera memperlakukan undang-undang KPK hasil revisi tersebut sedangkan
kelompok kedua mendesak untuk segera membatalkannya dengan mengeluarkan Perpu.
Semula Presiden enggan untuk mengeluarkan
Perpu. Pertama, mungkin Presiden berpikir akan sia-sia saja karena bila DPR
tidak setuju mereka dapat bersidang dan membatalkannya. Namun, setelah bertemu
dengan tokoh-tokoh sepuh nasional, tokoh agama dan sejumlah budayawan beberapa
waktu yang lalu, Presiden mulai melunak dan berjanji akan mempertimbangkan
kembali penerbitan Perpu UU-KPK dan akan mengumumkan keputusannya dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Atas perubahan sikap itu, sejumlah
politisi di DPR menganggap apabila Presiden mengeluarkan Perpu berarti itu
merupakan penghinaan terhadap DPR. Namun pada saat yang sama unjuk rasa atau
demonstrasi menuntut pembatalan UU KPK hasil revisi makin meningkat dan meluas.
Bukan saja dari para mahasiwa yang tergabung dalam BEM-SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh
Indonesia), tetapi juga secara tak terduga di hari berikutnya ribuan pelajar
dan anak-anak pramuka mengepung gedung DPR/MPR di Senayan. Dan sementara itu
diberbagai kota di Indonesia seperti Padang, Surabaya, Semarang, Bandung, Makasar,
Cirebon, Medan dan beberapa kota lainnya demonstrasi mahasiswa makin menjadi-jadi. Disayangkan di
antara para pendemo itu telah menyusup para
pendemo liar yang berperilaku brutal dengan melakukan pengrusakan,
pembakaran bahkan menyerang petugas sehingga aparat Kepolisian yang dibantu TNI
terpaksa menyemprotkan gas air mata, semburan air. Dibeberapa tempat sejumlah
oknum petugas terpancing emosi sehingga melakukan kekerasan. Akibat bentrokan itu banyak para pengunjuk
rasa ditangkap dan luka-luka sehingga harus diangkut ke rumah sakit.
Sebaliknya, banyak pula anggota polisi yang cedera akibat lemparan batu, bom
molotov bahkan ada yang terkena anak panah. Yang sangat menyedihkan, telah
jatuh dua korban jiwa dari mahasiswa di Kendari. Satu orang tewas akibat
tertembus peluru tajam yang mengenai paru-parunya dan yang seorang lagi
meninggal sehari kemudian akibat pukuan benda keras di kepala. Padahal menurut
pihak Kepolisian seluruh aparat telah dilarang menggunakan senjata api dengan peluru
tajam. Tiga selongsong peluru telah ditemukan di lokasi penembakan dan kini
masih dalam proses penelitian. Peluru dari senjata jenis apa dan siapa
pemiliknya.
Kembali kepada kedua pilihan, terbit
atau tidaknya Perpu, agaknya Presiden perlu bertemu dan bermusyawarah dengan
para pimpinan Parpol untuk mencari solusi yang terbaik. Karena segala keputusan DPR
umumnya adalah sejalan dengan garis politik para pimpinan partai yang diinstruksikan
kepada setiap anggotanya di DPR melalui fraksinya. Hal ini perlu agar bila
Presiden mengeluarkan Perpu tidak
dibatalkan lagi oleh DPR. Kedua, agar DPR tidak kehilangan muka atau merasa
terhina. Dan lebih dari itu asas musyawarah dalam segala permasalahan sesuai
anjuran konstitusi tetap dijalankan.
Menurut hemat penulis, nampaknya pilihan
terbaik dan efektif untuk membendung gelombang demnstrasi akhir-akhir ini harus
dikeluarkan Perpu secara utuh. Idealnya atas hasil kesepakatan bersama tersebut
di atas.
Kalau tidak dikeluarkan, atau
dikeluarkan Perpu setengah-setengah, maka dapat dipastikan gelombang unjuk rasa
akan kembali berlanjut bahkan akan lebih masif. Berapa korban jiwa lagi yang
akan jatuh. Berapa ratus lagi yang akan luka-luka diangkut ke rumah sakit dan berapa
banyak lagi kerugian harta benda yang habis musnah.
Keuntungan bila Perpu dikeluarkan,
maka kepercayaan terhadap konsistensi Presiden dalam memberantas korupsi dapat dipulihkan kembali. Selain itu situasi
politik maupun sosial akan kembali tenang dan perekonomian akan kembali normal.
Tetapi kalau Presiden mengeluarkan Perpu dan DPR menolak, maka DPR mungkin akan mengancam
membatalkannya lagi. Bahkan bisa jadi para pimpinan partai akan
menginstruksikan anggota-anggotanya di DPR/MPR untuk memboikot pelantikan
Presiden terpilih Jokowi-Ma’ruf Amin dengan tidak menghadiri sidang sehingga
tidak tercapai quorum persidangan.
Kalau ini yang terjadi, maka rakyat
akan marah. Unjuk rasa sangat masif akan terjadi. Sasarannya mungkin bukan
hanya ke DPR/MPR tetapi juga bisa ke kantor-kantor DPP partai yang memboikot. Karena mereka akan dianggap bertanggungjawab. Dan
siapa bisa menjamin bahwa demontrasi massa rakyat yang sedang marah itu tak
akan anarkis. TNI pun yang telah berikrar akan menghadapi siapapun yang
coba-coba menggagalkan pelantikan Presiden/Wakil Presiden pilihan rakyat akan
tergoda untuk bertindak. Dan dalam situasi yang demikian, mungkin Presiden akan
terpaksa mengeluarkan Dekrit Presiden sebagai Kepala Negara seperti yang pernah
dilakukan Presiden Sukarno dahulu. (Sam
Lapoliwa, SP, mantan wartawan)***
No comments:
Post a Comment