Demonstrasi mahasiswa di berbagai
kota di seluruh tanah air mulai marak. Di Cirebon dan kota-kota sekitarnya para
mahasiswa berhasil memaksa DPRD menandatangani petisi menolak Undang-Undang KPK
hasil revisi DPR serta 4 RUU (Rancangan Undang-Undang) lainnya. Di Makasar, para mahasiswa mengultimatum akan menduduki kantor DPRD. Aksi mahasiswa
yang sama juga mulai meningkat di kota-kota pendidikan lainnya seperti Jogyakarta,
Bandung, Sumatera Utara, Bukitinggi dan Ibukota negeri ini sendiri, Jakarta.
Bahkan hari Senin tanggal 23 September 2019 ribuan mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi, baik negeri maupun
swasta bersatu mengerubungi gedung
DPR/MPR di Senayan. Hanya karena kepatuhan pada undang-undang batas waktu demonstrasi saja - maka para
mahasiswa itu kemudian membubarkan diri. Namun mereka berencana pada hari-hari
berikutnya akan datang kembali dengan massa yang lebih besar dan bergabung
dengan rekan-rekan mereka dari Bandung dan sekitarnya.
Teringat kembali aksi-aksi demomstrasi
sejak tahun 1964 ketika penulis mulai tinggal di Jakarta. Ada beberapa peristiwa penting yang membuat para mahasiswa bangkit keluar kampus menyampaikan protes
mereka atas berbagai keadaan dan
menyampaikan aspirasi mereka.
Tahun 1964 dan beberapa tahun
berikutnya, kala itu ada dua golongan aksi massa yang saling berhadapan.
Pertama kelompok mahasiwa berhaluan Marxis. CCGMI (Central Comite Gerakan
Mahasiwa Indonesia) yang didukung ormas-ormas berhaluan komunis lainnya
berhadapan dengan massa aksi dari kelompok
berhaluan nasionalis dan agamis seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia),
PMKRI (Persatuan Mahasiwa Katolik Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia).
Sebenarnya, Bungkarno ketika itu tengah
harum namanya dengan keberhasilannya memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat ke
pangkuan NKRI melalui UNTEA-PBB. Lebih-lebih lagi ketika berani berkata tidak dan keluar dari PBB lalu berhasil
menggalang kekuatan negara-negara berkembang Asia-Afrika dan Amerika Latin
dalam CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) di mana Indonesia menjadi
pemimpinnya. Suatu kebanggaan bagi bangsa ini.
Sayangnya perang dengan Belanda yang
dikenal dengan Trikora ketika itu, operasi-operasi menumpas pemberontakan dalam
negeri seperti PRRI-Permesta, DI di Jawa Barat, TII di Sulawesi Selatan, RMS di
Maluku dan kemudian konfrontasi terhadap British Malaysia telah banyak
menghabiskan anggaran negara sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan.
Harga-harga makin meningkat, inflasi tak terkendali dan kecemasan akan makin
meningkatnya pengaruh komunisme membuat kepercayaan kepada Pemerintah mulai
menurun. Lebih-lebih ketika tuntutan penurunan harga dan pembentukan Kabinet Ampera
dan pembubaran PKI ditolak. Aksi-aksi protes itu kemudian berubah menjadi
perlawanan. Padahal, ketika itu sudah terbukti PKI lah yang mendalangi
pemberontakan 30 September 1965.
Akasi-aksi mahasiwa yang kemudian
menyatukan diri dalam organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) makin
meluas di seluruh Indonesia. Bahkan kemudian menyusul pula puluhan bahkan
ratusan organisasi massa aksi lainnya seperti KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia),KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). KAGI (Kesatuan Aksi
Guru Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buru Indonesia) bahkan ada KAPBI (Kesatuan
Aksi Pengemudi Becak Indonesia). Selama
berminggu-minggu bahkan berbulan hampir-hampir tiada hari tanpa demonstrasi.
Kegiatan belajar-mengajar di kampus-kampus di berbagai kota di seluruh
Indonesia praktis terhenti total.
Dalam kemelut politik ini agaknya
Bung Karno terpengaruh oleh siasat politik kaum Komunis yang berusaha menarik
keuntungan. Mereka menggolkan julukan Pemimpin Besar Revolusi untuk Bung Karno.
Dukungan tanpa reserve. Lalu presisden seumur hidup dan garis politik Manipol
(Manifesto Politik) Bung Karno. Setiap lembaga negara dan organisasi harus manipolis. Artinya dalam
lembaga itu harus ada tiga unsur : Nasionalis, Agama dan Komunis. Hal ini jelas menguntungkan PKI. Karena di
wilayah atau lembaga yang belum ada unsur komunisnya, harus segara diadakan.
Termasuk di basis-basis keagamaan yang kuat.
Keengganan pemerintahan Bung Karno yang
kala itu disebut Orde Lama membubarkan
PKI, membuat dukungan ABRI yang dipimpin
Jenderal AH. Nasution makin berkurang. Pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun
1948 dan kemudian peristiwa G30S/PKI tahun 1965 yang mengobankan sejumlah Pati
dan Pamennya, telah membuat ABRI makin
gelisah. Terlebih ketika PKI mengusulkan kepada Bung Karno pembentukan Angkatan
Bersenjata ke 5 di samping ketiga unsur TNI dan Angkatan Kepolisian
ketika itu - yang akan dipersenjatai RRT. Untuk membendung pengaruh PKI itu,
Nasution juga bahkan ikut menginisiasi pembentukan Sekber Golkar (Sekretariat
Golongan Karya) bagi ormas-ormas kaum Nasionalis dan Agamis. Dan meskipun
secara organiatoris Nasution harus
tunduk kepada Presiden selalu Panglima Tertinggi ABRI, namun de facto
jajarannya sebagian lebih condong
berpihak pada aksi-aksi demonstran anti pemerintah, khususnya terhadap Kesatuan
Aksi Mahasiawa, KAMI. Namun sebagian lagi masih tetap setia dan mendukung Bung
Karno tanpa reserve. “Hitam kata Bung Karno, hitam kata………,” begitu kata panglima
sebuah kesatuan elit saat itu.
Disaat-saat situasi politik itulah
rekan kami, reporter Zaenal Zakze, tewas tertembus sangkur ketika melakukan
peliputan demontrasi di Monumen Nasional
depan Istana Merdeka. Padahal malam sebelumnya kami masih
bercengkerema di percetakan koran kami.
Sore harinya penulis masih menemukan jaket Harian KAMI yang bertulis “PERS” besar-besar
di dada, telah berlumuran darah dengan
lobang besar bekas tusukan di belakang.
Ceritera di atas hendaknya menjadi
peringatan bagi Presiden Jokowi beserta para pendukungnya agar jangan
mengabaikan suara rakyat yang masih murni. Agar tidak bersandar pada dukungan
pihak-pihak yang syarat dengan kepentingan kelompok, apalagi mereka yang diduga
telah terkontaminasi suap. Jangan terlena dengan dukungan mayoritas pada
Pilpres atau karena prestasi masa lalu atau sebelum kasus revisi UU KPK ini.
Karena dukungan besar dapat seketika berubah. Pendukung jadi anti. Bung Karno
yang presiden semur hidup harus berakhir hidupnya dengan menyedihkan. Suharto
yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan pada Pemilu terakhirnya menang telak
hampir 100 %, tapi harus mengakhiri jabatannya secara memalukan.
Hemat penulis, sebelum korban jiwa
berjatuhan, sebaiknya Presiden Jokowi mengubah pikirannya, membatalkan revisi
UU-KPK dengan pengeluarkan PERPU. Alasan bahwa revisi UU KPK itu hasil
inisiatif DPR, kurang berdasar. Apalagi sudah demikian banyak informasi yang
disuarakan rakyat tentang keanehan-keanehan dalam proses pengesahan nya serta
berbagai kontroversi dalam materi revisi undang-undang KPK itu. Sebab kalau
tidak, maka aksi-aksi sekarang bisa
makin meluas. Para mahasiswa dan rakyat bisa kembali mengorganisir diri seperti
era tahun 60-an yang kesemuanya itu
dapat menghambat program pembangunan pada
masa pemerintahan kedua
mendatang.(Sam Lapoliwa SP, mantan wartawan).
No comments:
Post a Comment