Masa kampanye sampai saat pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019 tinggal dalam
hitungan hari lagi. Maka itu kedua calon Presiden, baik 01 Jokowi-Ma’ruf maupun
dari capres 02 Prabowo-Sandi makin giat melakukan kampanye terbuka ke
daerah-daerah.
Sementara
di Jakarta para calon legislatif maupun Team kampanye dari kedua kubu masih
saja selalu sibuk berdebat kusir di acara-acara televisi. Yang menyedihkan ada
pembicara-pembicara yang selalu memulai dengan asumsi-asumsi pribadi yang belum tentu benar mengenai
berbagai hal menyangkut rivalnya
kemudian mengambil kesimpulan. Padahal data-data yang dikemukakan tidaklah
benar bahkan tidak masuk akal. Seakan-akan para pemirsa televisi semua seperti orang-orang yang baru datang dari
desa yang minim informasi. Mendengar asumsi-asumsi yang menyesatkan itu terus
menerimanya bulat-bulat tanpa menimbang-nimbang karena sebelumnya tidak
mempunyai informasi lain sebagai pembanding.
Padahal,
pada abad teknologi infomasi sekarang, orang-orang semakin cerdas karena makin
mudah mereka mendapatkan informasi. Uraian-uraian dari para ahli yang silih
berganti memberikan kupasan mengenai berbagai hal di media televisi, serta mudahnya
mencari informasi di Google dll, membuat mereka makin cerdas dan kritis. Tidak
bisa lagi dicekoki dengan kata-kata yang tidak masuk akal. Justru mereka akan
cepat tahu mana yang hanya bicara omong kosong dan mana yang dapat dipercaya.
Apalagi
kaum muda, atau kaum milenial. Orang muda umumnya lebih kritis. Terhadap
orangtua saja sekarang mereka berani
mendebat bahkan menentang bila yang dkemukakan tidak dapat diterima nalar
mereka.
Tutur
kata, bahasa tubuh para pembicara dari kedua kubu, jangan dikira tidak akan
dinilai calon pemilih. Mereka tentunya akan memilih tokoh panutan yang
dikampanyekan oleh orang yang bertutur dengan santun, ada tatakrama berdiskusi
dan mempunyai pemikiran yang cemerlang. Mereka tak akan memilih calon yang
dikampanyekan orang-orang bergaya jagoan, suka memfitnah, mengancam dan menjelek-jelekan orang.
Sekarang
apa yang perlu dimaksimalkan oleh kedua kubu dalam sisa masa kampanye ke depan
? Menurut penulis, untuk kubu 01 Jokowi-Ma’ruf, modal utama mereka sebenarnya
adalah bukti kerja nyata selama 4 tahun lebih pemerintahan Jokowi-JK hingga
saat ini.
Daripada
menghabiskan waktu dan fasilitas yang disediakan media televisi berjam-jam
dengan debat kusir yang sulit disimpulkan, lebih baik waktu tersebut digunakan memutar
dan mengomentari tayangan audio-visual hasil-hasil yang telah dicapai sekarang
secara berulang-ulang. Jalan-jalan tol baru yang mulus, MRT,
bendungan-bendungan, lapangan terbang baru, Pos-pos lintas batas yang megah,
proyekolah raga seperti Mandalika di NTB dan lain-lainnya.
Ditayangkan
pula wajah baru Tambang Freeport di Papua yang selama bertahun-tahun digadaikan
kepada asing dan kini sudah berhasil dikuasai kembali oleh Indonesia. Demikian
pula Blok Mahakam dan lain-lain yang kini sudah pula kembali dalam pengendalian
Indonesia.
Semua
tayangan ini akan efektif. Biarlah fakta ikut berbicara sendiri yang dengan
mudah dapat dipahami dan dicerna oleh semua lapisan masyarakat tanpa dapat
dibantah. Kaum tua, kaum milenial, emak-emak dari tingkat pendidika doktor/sarjana, tingkat
SLTA/SLTP maupun yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar akan mengerti karena
melihat sendiri buktinya. Kata-kata dapat dapat dibantah tetapi fakta tidak.
Perlihatkan
fakta daripada bicara panjang lebar mengenai statistik, ekonomi makro dan mikro
dan ilmu tinggi lainnya yang hanya dapat dibayang-bayangkan. Data-datanya pun
kerap masih diragukan kebenarannya. Apalagi dijaman suburnya berita bohong (hoax)
sekarang. Memaparkan data statistik dan narasi saja tanpa tayangan visual, sama
saja dengan membaca koran dengan wajah seperti lapangan bola yang gersang tanpa
gambar atau ilustrasi.
Setelah
menayangkan hasil-hasil pembangunan fisk di atas, disampaikanlah tantangan
apakah progam ini perlu dilanjutkan atau haruskah dihentikan ? Dapat
dipastikan, semua warga daerah akan menginginkan seperti apa yang mereka telah
saksikan itu dapat diwujudkan pula di wilayah mereka. Daerah tertingal mana yang tak menginginkan
ada jalan tol di daeahnya. Daerah mana yang tak ingin ada lapangan terbang
didaerahnya. Atau wilayah pertanian mana yang tidak ingin dibangun bendungan di
daerahnya.
Singkat
kata poyek-proyek fisik seperti di atas tetap harus berlanjut. Karena bangunan
fisik seperti inilah yang menjadi simbol adanya kemajuan bangsa. Maka adalah suatu
blunder, apabila presiden mendatang, entah dari kubu 01 atau 02 sampai menyetop
pembangunan jalan tol, perluasan jaringan MRT, pemangunan bendungan-endungan,
pembangunan jakan trans kepulauan seperti trans Sumatera, Trans Sumetera, Trans
Jawa, Trans Kalimantan dan seterusnya. Mungkin prosentasenya sedikit diturunkan
mengingat
Untuk
Capres 02 Prabowo-Sandiaga Uno, kita mengagumi keberanian Prabowo yang gigih
dan tak kenal menyerah. Meki gagal dalam Pilpres tahun 2014 tetap berani maju
tak gentar kembali bertarung dalam Pilpres 2019 ini. Mencerminkan sifat
prajurit Indonesia yang pantang menyerah.
Namun
ada dua catatan penulis untuk kubu Capres 02. Pertama, untuk lebih meyakinkan
para calon pemilih, adalah perlu menjabarkan lebih lanjut mengenai
progran-program yang telah ditawarkan. Terutama mengenai cara-cara mencapai
tujuan program yang telah dipublikasikan serta sumber pembiayaannya. Seperti
halnya proyek, perlu lebih dahulu dibuatkan study kelayakan. Realistis atau
tidak. Menguntungkan atau tidak. Menjanjikan
target muluk-muluk adalah perkara mudah, tapi caranya bagaimana. Masuk akal ?
Jangan
terjadi seperti halnya proyek rumah murah dengan DP 0 % di Jakarta yang tak
pernah kedengaran lagi kabar beritanya. Demikian pula OK-OC yang hanya kita
dengar melalui narasi dan statistik. Benar tidaknya tak pernah diverifikasi.
Tak pernah ditayangkan secara visual seperti apa OK-OC itu sehingga kalau
memang baik dapat menjadi percontohan.
Menghentikan
pinjaman modal asing dan hanya mengandalkan dari penerimaan dalam negeri dengan
meningkatkan pajak, di khawatirkan akan menimbulkan kegongcangan di kalangan
dunia usaha. Menaikan pajak paperusahaan dan lain-lain dapat membuat para
pengusaha merelokasi industri-industi dan modal mereka keluar negeri. Akibatnya
yang terjadi bukan penambahan lapangan kerja tapi makin berkurangnya lapangan
kerja. Bukannya penerimaan pajak bertambah, malahan makin menurun akibat
berkurangnya perubahaan-perusahaan pembayar pajak.
Hal
kedua, adalah kebesaran jiwa menerima hasil Pilpres 2019 nanti. Meski target adalah menang, namun bagaimanapun
harus bersiap menerima pula akibat yang tak diharapkan : kalah. Bagi Prabowo
beban psikologis yang bakal dirasakan bila akibat terakhir ini yang terjadi,
akan terasa lebih berat dibanding kalau
Jokowi mengalaminya. Mengapa ? Disamping telah banyak menguras dana dan daya,
bagi Prabowo ini akan merupakan peluang terakhir mengingat usia yang tak akan
memungkinkannya ikut kontestasi lagi di masa mendatang.
Sedangkan
bagi Jokowi, beban psikologisnya tak akan begitu berat. Dia bisa kembali dengan
lapang hati menjadi warganegara biasa atau sebagai pengusaha. Karena ia telah
meninggalkan karya nyata yang pasti akan selalu diingat banyak orang.
Anadaikata
Prabowo memang beruntung keluar sebagai pemenang, maka tidak diharapkan ia
boleh melakukan kebijakan-kebijakan semacam de-Jokowisasi, yaitu mencoba mengahapus
kebijakan-kebijakan Jokowi yang sudah baik. Tidak tejadi seperti saat Ali
Sadikin dicopot dari jabatan Gbernur DKI Jakarta. Datanglah pengganti dari
Istana yang melakukan de-Bang Alisasi, diantaranya menganulir kebijakan Jakarta Bebas Becak , jalur lambat
untuk sepeda motor, sistim terminal transportasi buskota, proyek Mohamad Husni Thamrin (MHT), yaitu
betonisasi gang-gang becek di perkampungan serta tradisi batikisasi, yaitu
penggunaan pakaian batik setiap Jumat dan Sabtu.
Sikap
Prabowo yang secara ksatria dan legowo menerima kemenangan pesaingnya pada
Pilpres tahun 2014, mudah-mudahan dapat diperlihatkan pula bila hal yang sama
terjadi pada Pilpres 2019 mendatang ini.
***
No comments:
Post a Comment