Sagu adalah makanan
pokok kedua bagi penduduk di beberapa daerah di Indonesia termasuk daerah Morowali
Sulawesi Tengah. Namun cara menyajikannya tidaklah sama pada setiap suku. Begitu juga di wilayah Morowali yang
dihuni berbagai suku kecil juga tidaklah sama pengolahannya.
Ini wajar karena
seperti Indonesia yang terdiri dari
berbagai ragam etnis, budaya dan bahasa, begitu pula di Morowali. Malahan
di sana ada suku Mori yang juga terdiri dari berbagai anak suku seperti Towatu,
Tomobahono, To’impo, Toroda, Tomoiki, Tomolongkuni, Topetasia dan lain-lainnya.
Anak-anak suku ini mempunyai bahasa, dialek dan adat-istiadat berbeda satu sama
lain. Namun suku-suku ini tetap memiliki
bahasa persatuan, yaitu bahasa Mori , menurut dialek Toroda. Bahasa umum ini dipakai dalam
acara-acara pertemuan antar suku dan khotbah-khotbah di rumah ibadah. Di
perantauan, warga berbagai suku di atas, umumnya kalau ditanya, mereka selalu
menyebut diri sebagai orang Mori.
Begitu juga dalam hal
mengolah bahan makanan. Orang Mori Bahono atau Tomobahono, biasanya mengolah
sagu menjadi “dange”, semacam penganan yang diramu dari campuran sagu segar dan
kelapa parut kemudian dimasukan kedalam alur-alur cetakan terbuat dari tanah
lihat yang telah dipanaskan sampai memerah. Alat cetak yang sudah diisi
campuran yang dipadatkan itu ditutup dengan nampan yang tahan panas kemudian
dibalikkan dan ditaruh di atas meja. Sekitar sepuluh menit biasanya cetakan
bisa dibalik dan dangenya boleh dikeluarkan, sia untuk disantap. Rasanya garing
dan biasanya bisa tahan beberapa hari.
Tapi yang akan dibahas
lebih luas dalam tulisan ini adalah cara mengolah sagu menjadi papeda, atau
menurut istilah orang Bahono disebut “dinui”. Orang yang sedang makan papeda
disebut “modui”. Sedang alat makan yang biasa disebut sumpit, orang Bahono
menyebutnya “dui”.
Mengapa istilah-istilah
Bahono ini dikemukakan secara khusus ? Karena
cara menghidangkan dinui pada orang Bahono rupanya lain daripada yang lain.
Tidak persis sama dengan suku-suku lain yang menghidangkannya dalam satu wadah sehingga
nampak seperti cendol. Diolah sekaligus oleh juru masaknya kemudian dihidangkan
dalam satu wadah. Kemudian diseduh oleh masing-masing oleh yang menyantap ke
piringnya.
Cara ini nampak kurang
menarik. Cita rasanya tidak selalu seperti yang diinginkan. Ukuran bulatan-bulatan dinuinya juga terkadang
terlampau besar bagi sebagian orang. Bumbunya atau bumbunya juga terkadang
tidak pas. Lain dengan cara orang Bahono. Setiap orang akan mempersiapkan dan
mencicipi sendiri terlebih dahulu kuah penyedap di piringnya. Dia bisa mengatur
sendiri, apakah perlu menambah sambel biar lebih pedas, menambah terasi atau
menambah asam. Tidak semua orang suka
atau tahan dengan makanan pedas.
Sehingga kalau dihidangkan sama untuk semua, jelas akan sangat menyusahkan sebagian
penyantap yang mestinya ikut menikmatinya dengan sukacita.. Lalu bagaimana
orang Bahono mengolah sagu, menyiapkan bumbu pelengkapnya dan kemudian
menyajikannya menjadi hidangan dinui yang nikmat ?
Namun sebelum sampai ke
sana perlu dikemukakan dulu bahwa orang Bahono umumnya mengosumsi sagu segar dari
pohon sagu yang baru diolah. Biasanya
pohon sagu sudah bisa dipanen atau ditebang pada usia sepuluh tahun. Orang
tua-tua biasanya menyebutnya usia ‘timboro’.
Dulu, pengolahan sagu
diproses secara tradisionil. Belum menggunakan mesin penggiling. Batang sagu
yang sudah ditebang dipotong dengan panjang sekitar tiga meter kemudian
dibelah. Dipotongnya tidak sampai putus,
hanya sebelah pada bagian atas saja. Bagian bawahnya tetap memanjang tak
dipotong. Bagian atas yang sudah potong
sebelah itu kemudian dibelah dua sehingga kedua
belahan menghadap keatas.
Selanjutnya isi bagian
dalam kedua belah potongan itu “disambe” yaitu seperti memacul dengan
menggunakan sambe, semacam pemacul kecil yang diujungnya dipasangi plat besi
yang tajam. Selesai kedua belah disambe, selanjutnya dilakukan pemotongan dan
pembelahan berikutnya dan seterusnya sampai seluruh batang sagu itu habis
diolah.
Hasil paculan nampak
seperti campuran semen kasar berwarna merah muda dan basah. Namanya “bure”.
Adonan bure ini ternyata sangat ampuh untuk membersihkan peralatan-peralatan
dari kuningan atau tembaga. Diperam beberapa jam saja dalam bure, nanti akan
menjadi bersih mengkilat lagi.
Untuk memeras bure
sampai menghasilkan sagu segar, biasanya dibuat para-para setinggi sekitar dua
meter dengan ukuran dua kali dua meter
persegi. Lantainya tidak terlalu rapat sehingga air masih bisa lancar mengalir turun
ke bawah.
Letaknya harus dekat
sumber air yang bersih agar mudah menyedot air dari atas parra-para. Di atas
para-para ditempatkan sebuah
keranjang besar yang disebut “landaka”. Biasanya terbuat dari anyaman rotan
dengan diameter sekitar satu setengah meter. Di bagian dasarnya dilapisi
anyaman ijuk sebagai saringan. Demikian pula di sekitarnya setinggi kira-kira
setengah meter.
Untuk menimbah air,
dibuat gayung dari kulit pelepah sagu berbentuk kerucut ukuran ember sedang.
Tangkainya dari batang bambu kecil sepanjang sekitar tiga meter.
Gumpalan bure kemudian dimasukan ke dalam landaka setebal
tinggi ijuk penyaring di sekelilingnya. Selanjutnya
pengrajin membersihkan kaki lalu masuk ke dalam, menimba air dan menggenangi
bure didalamnya sambil menginjak-injaknya berkeliling. Maksudnya untuk memeras
tepung sagunya. Sekali-sekali ia menambahkan air lalu membanting ke kiri dan
kekanan dengan maksud mengaduk, agar yang di atas turun ke bagian bawah dan
sebaliknya. Air perasan bure yang sudah tersaring oleh lapisan ijuk mengalir ke
bawah ke tempat penampungan.
Tempat penampungan
dipasang di bawah dan disamping para-para. Dibuat dari dua pelepah sagu besar yang kedua pangkalnya disambung sehingga
nampak seperti perahu. Di bagian terendah dari kedua pinggirnya dipasangi
penahan air terbuat dari potongan-potongan pelepah sagu berbentuk segi empat
selebar tapak tangan. Semuanya dibelah sampai
setengah bagian lalu dipasang berderet di kedua pinggir penampungan seperti kita
memasang klip kertas. Biasanya wadah penampungan dibuat dua pasang berjajar.
Bila pati sagu dalam
penampungan sudah mengendap dengan sempurna dan airnya sudah memisah ke atas, penahan air dilepas sampai airnya habis keluar.
Pati sagunya yang sudah mengental dan berwarna merah muda disendok dan
dimasukan dalam “basu”, yang juga dibuat dari kulit pelepah sagu. Bentuk basu
seperti kerucut besar yang dipotong bagian atasnya kemudian dibalik sebagai
dasar.
Warna dinui dari sagu
yang baru diolah seperti itu biasanya nampak menarik dengan warna merah muda
dan kenyal.. Tidak seperti dinui yang dibuat dari sagu atau tepung ubi kayu
yang sudah dikeringkan yang berwarnah putih ke abu-abuan. Terkadang juga kurang
kenyal.
Menghidangkan Dinui khas Bahono
Perlengkapan :
-
Sebuah
baskom sedang diameter sekitar 25 cm.
-
Sandu
atau pengaduk dengan ujung gepeng dari kayu,
-
Dui,
atau sumpit terbuat dari bambu atau kayu.
-
Sendok
makan (bagi yang perlu).
Bahan
:
-
Sagu
segar atau sagu kering yang sudah dibasahkan sekitar satu liter (cukup untuk 3
orang).
-
Air
4 liter.
-
Ikan
basah secukupnya, sebaiknya ikan tongkol putih atau ikan kakap.
Cara
mengolah :
-
Air
sekitar 3 liter dimasak sampai mendidih.
-
Sagu
dalam baskom diencerkan dengan air sedikit demi sedikit.Tetapi harus dijaga
agar tidak terlalu encer. Bila adonan sudah bisa diaduk keliling baskom sudah
cukup.Jangan ditambah air lagi. Kalau terlalu encer dapat menjadi lem.
-
Sementara
adonan tetap diaduk keliling perlahan, air yang masih mendidih disiramkan
sedikit demi sedikit ke atasnya sampai nampak seperti memadat. Bila sudah
memadat dan tak bisa diaduk keliling lagi, siraman air panas harus dihentikan.
- Selanjutnya
adonan yang sudah memadat itu diaduk sekeliling, dibolak-balik ke atas dan
kebawah sehingga bagian-bagian yang nampak masih seperti adonan sagu dapat
bercampur merata menjadi papeda atau dinui.
Kuah
lauk ikan sangat menentukan kenikmatan
hidangan dinui. Dinui nikmatnya disantap waktu masih panas-panas. Karena itu sebelum
papeda dibuat, sebaiknya kuahnya disiapkan lebih dahulu Memasak lauk ikan untuk
mendapatkan kuah yang pas untuk hidangan dinui tentu saja memerlukan
bumbu-bumbu. Yang tak boleh ketinggalan adalah terasi dan asam. Sebaiknya untuk
asam digunakan jeruk dan bukan cuka,
asam jawa atau yang lainnya. Demikian juga tidak memberi cabe karena ada orang
yang tidak tahan atau suka dengan yang
pedas-pedas. Bagi yang suka pedas dapat disediakan pada mangkok tersendiri.
Cara menghidangkan :
-
Setiap penikmat mengambil kuah
secukupnya ke dalam piringnya. Dan biasanya mereka akan mencicipi lebih dahulu
apakah asamnya atau terasinya sudah
terasa pas menurut seleranya. Kalau perlu rasa pedas, ia bisa menambahkan
sambel pada piringnya.
-
Dengan menggunakan dua sumpit di kiri
kanan, kita melilitkan sedikit sagu yang masih panas itu melingkar arah ke dalam pada kedua ujung dui sampai
membentuk bulatan sekitar sebesar telur bebek..Bulatan itu kemudian dilepas dalam
piring yang sudah diisi kuah asam.
-
Selanjutnya dibolak-balik dan dipotong-potong
dengan menggunakan kedua dui (sumpit) sampai masing-masing sebesar telur burung
puyuh atau lebih kecil agar mudah ditelan.
- Cara memakannya bisa dengan menusukan
ujung sumpit ke bulatan-bulatan kecil itu dan memakannya satu persatu layaknya orang makan
sate. Namun bulatan-bulatan itu tidak dikunya tapi langsung ditelan.
-
Sebagian orang memakai sendok makan
sehingga lebih banyak kuah yang masuk. Karena kunci kenikmatan menyantap dinui
atau papeda khas Bahono ini sebetulnya terletak pada kuahnya.
-
Sebagai pendamping dinui, tentu saja
tetap dihidangkan lauk ikannya.
Adakalanya ada juga yang menyudahi
makannya dengan menambah nasi sebagai penutup terutama bagi mereka yang belum
terbiasa hanya makan dinui.
Sedikit ceritera
tentang “modui”
Isteri saya dari keluarga campuran Sangir, Timor dan Sunda. Dua tahun pertama masih tinggal di rumah “Mertua Indah”. Terbiasa dahulu makan selang-seling nasi dan dinui, rasanya bosan dengan makan nasi melulu. Maka suatu hari, saya memberanikan diri membuat hidangan dinui. Karena sebagai orang Mori-Bahono, tidak tahan dengan hanya makan makanan pokok nasi melulu. Kontan, jadilah saya tontonan mertua, Isteri,serta adik-adik dan neneknya duduk menyantap dinui, yang baru sekarang kunikmati lagi. Melihat begitu asyiknya saya menikmatinya, beberapa diantaranya ikut mencicipinya. “Seperti makan lem’, kata mereka menertawakan.
Namun, diam-diam ada juga yang rupanya ketagihan. Seorang adik ipar yang datang berlibur ke Indonesia dan tinggal bersama kami seminggu bersama suami bulenya, sekembalinya ke Belanda, menelpon menyesal ada yang terlupa selama di Indonesia. Apa yang terlupa ? Rupanya lupa minta dibuatkan “makanan lem” seperti dulu.
Sekarang sang isteri pun sering mengambil
inisiatif sendiri membeli ikan khusus untuk mempersiapkan hidangan dinui. Dan setiap ada kerabat orang Mori datang berkunjung ke
rumah, seringkali kami hidangkan dinui untuk santap bersama.
Bukan itu saja. Kalau ada pertemuan warga Mori di Jakarta, kadang-kadang juga disediakan pula hidangan dinui. Memang dinui bisa membuat orang ketagihan sehingga tidak harus tergantung pada makanan pokok beras. Ini tidak berarti, warga Bahono kekurangan beras. Persediaan beras selalu ada, bahkan sebelum panen baru, sisa padi atau gabah kering di lumbung masih banyak. Lumbung jarang kosong.
Ada kelebihan lain dari menyantap dinui
daripada makan nasi atau yang lainnya. Karena dinui dimakan ketika masih
panas-panas, segera terasa badan lebih hangat bahkan sampai keringatan. Baik
sekali untuk orang yang dalam pemulihan sesudah sembuh dari sakit. Hal itu
disebabkan juga sagu menghasilkan kalori yang cukup tinggi.Dalam
seratus gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata
terkandung 94 gram karboohidrat disamping kandungan lainnya.***
No comments:
Post a Comment