Tuesday, February 11, 2020

“JANGAN SEKALI-SEKALI MEMBUKA AIB SUAMI”, BENARKAH ???


Ketika mengikuti tayangan acara pernikahan puteri Pak Jokowi, Presiden RI beberapa tahun lalu, ada beberapa tokoh dan sesepuh yang memberi bekal nasehat-nasehat kepada kedua mempelai.

Semula, semua kedengarannya bagus-bagus saja. Tetapi ketika seorang tokoh agama yang sangat terhormat dan terkenal memberi wejangan, saya sedkit terganggu dengan nasehat beliau “agar isteri jangan sekali-sekali membuka aib suami…..”.

Mengingat kebelakang, akan berbagai kasus kejahatan dalam rumah tangga (KDRT), di mana hampir seluruhnya yang menjadi korban para isteri,  gejolak penolakan  dalam hati ini tambah menjadi-jadi. Terlebih ketika seorang adik iparku  yang kemudian diketahui telah mengalami penderitaan lahir batin yang amat sangat dan lama sebelum meninggal.

Adik ipar ini mengunci dengan rapat-rapat semua rahasia aib suaminya kepada keluarga sehingga semuanya mengira berjalan wajar-wajar saja. Si suamipun dengan pintar bermain sandiwara di depan keluarga besar sehingga kami pun tetap menganggap keluarga ini tetap hidup dalam suasana rukun dan damai.

Apa yang terjadi sesungguhnya mulai sedikit terungkap ketika kami melihat keanehan sikap kedua anak pasangan ini. Mereka sudah cukup dewasa dan sudah menikah, tetapi nampak seperti acuh dan kurang peduli terhadap ibu mereka yang sudah berhari-hari terbaring di ruang perawatan darurat (ICU) rumahsakit dengan segala macam kabel peralatan medis melekat  di sekujur tubuhnya.

Beberapa kali ditegur, mereka diam saja. Baru setelah almarhum meninggal, mereka membuka rahasia apa yang terjadi sesungguhnya. Rupanya sementara ibu mereka sakit-sakitan dan keluar-masuk rumah sakit, ayah mereka  menjalin hubungan gelap dengan seorang gadis bekas bawahannya. Semula mereka menganggap semua itu hanya kabar burung. Namun diam-diam mereka berupaya untuk mengecek kebenarannya. Dan memang benar. Beberapa kali mereka lihat sendiri ayah mereka pergi berduaan dengan sipelakor.

Hal ini tambah memperuncing keretakan rumah tangga. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Suatu ketika adik kami yang malang ini melepas semua perhiasannya termasuk yang sedang melekat di tubuhnya. Ia menyodorkan kepada suaminya yang mengancam mau pergi. “Ambil semua perhiasan ini. Dengan polos aku meninggalkan keluargaku untuk mengikutimu, dan dengan polos ini juga engkau harus meninggalkanku…”. Rupanya kata-kata ini masih dapat menyentuh nurani suaminya sehingga dia mengurungkan niatnya minggat entah ke mana.

Ceritera seperti ini tak pernah sampai kepada kami. Rupanya mama mereka, adik kami, meminta dengan sangat kepada anak-anaknya agar jangan sekali-sekali memberitahukan kepada keluarga apa yang dalaminya. Mama mereka sudah berketetapan hati untuk menerima resiko dari keputusannya dahulu. Lebih memilih meninggalkan keluarga dan menikah dengan pilihannya yang tak disetujui keluarga.

Sikap ini tak dapat diterima kedua anaknya. Itulah sebabnya mengapa selama ibu mereka dalam perawatan, mereka menunjukan sikap yang seperti kurang peduli sebagai protes. Namun sesungguhnya  mereka tetap mengasihi dan sangat prihatin dengan  ibu mereka yang menderita lahir dan batin hingga di akhir hidupnya.

Kembali ke pokok  semua, apakah memang benar ada ajaran yang melarang para isteri membuka aib suaminya, sekalipun perbuatan suami kejam, penulis tak mamu menjawabnya. Mungkin saja nasehat sang kiyai kurang lengkap sehingga bisa disalahpahami. Sebab kalau tidak, akan makin banyak para suami yang boleh bertindak semena-mena terhadap isteri yang juga ibu anak-anaknya, tanpa takut aibnya dibukakan pada umum, apalagi diviralkan.***

PERUMAHAN ISLAMI,KRISTIANI,BUDHIS; WAJARKAH ?


Di antara iklan-iklan niaga di media masa sesekali kita jumpai iklan yang menawarkan perumahan bernuansa agama dengan berbagai fasilitasnya yang menarik.

Sepintas, seperti terkesan eklusif. Jadi kalau perumahan Islami, kesannya hanya khusus untuk calon pembeli dari keluarga Muslim. Lantas, bagaimana kalau ada perumahan Kristiani. Perumahan Budhis. Janggal bukan ?

Seperti ketika dahulu di beberapa Daerah ada Perda Syariah. Lalu di salah satu daerah di Papua mendadak ada yang disebut Perda Kristiani. Untunglah perda-perda bernuansa agama tertentu dan cenderung ekslusif ini segera dicegah Pemerintah sesuai kewenangannya sehingga tidak meluas dan berakibat membatasi keleluasaan kelompok agama minoritas setempat.

Akan halnya perumahan bernuansa agama ? Masalahnya sedikit lain sehingga penulis dapat menerima keberadaannya. Tetapi dengan satu syarat. Tidak diikat dengan peraturan apapun yang membatasi keinginan dari umat beragama berbeda untuk memiliki rumah dan bertempat tinggal di tempat itu. Tentu saja yang bersangkutan harus  siap mental  untuk menerima resiko sosial yang mungkin terjadi. Dan ini membutuhkan kesabaran dan harus pintar-pintar menyesuaikan diri agar dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya.

Apa segi positif dari adanya lingkungan perumahan bernuansa agama ini ? Satu, menyangkut pendidikan kerohanian anak-anak. Setiap orangtua tentu selalu mengnginkan anaknya menjadi anak yang saleh menurut ajaran agama yang mereka anut. Mengajarkan akhlak baik sesuai ajaran agama. Mereka tidak menghendaki anak mereka menyinpang dan ajaran agamanya. Dan akan sedih sekali kalau sampai anak mereka jadi terpengaruh dengan ajaran keyakinan lain dan menjadi murtad. Semua oragtua dari agama manapun, menurut penulis akan berpikir demikian.

Kedua, bila tinggal dalam lingkungan agama yang sama, tidak akan terjadi  masalah dalam peribadatan di rumah-rumah warga. Contohnya, seperti yang sering terjadi, satu keluarga Nasrani yang akan menyelenggarakan kebaktian keluarga di rumahnya dicegah oleh tetangga-tetangganya yang mayoritas keluarga Muslim. Dan mungkin juga hal yang sama pernah terjadi ketika sebuah keluarga Muslim mau mengadakan pengajian atau tasyakuran di rumahnya yang dikelilingi mayoritas keluarga Nasrani.

Di beberapa Daerah seperti dahulu di kota Poso dan beberapa desa di Sulawesi Tengah, zonatisasi komunitas bernuansa agama itu sudah lama terjadi. Tetapi secara alamiah. Dan biasanya dibatasi oleh sungai dan ditandai dengan suku bangsa komunitasnya. Di Poso misalnya dikenal Kampung Minahasa dan Kampung Lage yang didiami orang Mori  yang beragama Kristen. Sedangkan di Sayo yang kebanyakan dahulu transmigran asal Jawa beragama Islam. Demikian juga kampung Gorontalo yang warganya kebanyakan suku Gorontalo adalah komunitas Muslim. Hal yang sama juga nampak di kota Kolonodale, desa Sampalowo, Tompira dan yang lainnya.

Tidak ada peraturan yang mengharuskan atau melarang seseorang tinggal di suatu lingkungan, semuanya terjadi secara alami. Setiap keluarga baru dengan bijaksananya akan memilih sendiri tempat yang lebih sesuai dengan keinginannya.

Zonatisasi alamiah seperti ini tidak pernah membawa dampak negatif apapun. Semua warga hidup dengan rukun dan damai dan berintegrasi dengan baik seperti di pasar-pasar, sekolah dan kegiatan umum lainnya. Kalaupun dahulu pernah terjadi kerusuhan di Poso, itupun disebabkan anasir-anasir dari luar seperti teroris-teroris yang pernah ke Afganistan dan kelompok teroris di Pilipina Selatan. ***


Monday, February 10, 2020

ALTERNATIF PERINGATAN DINI BANJIR JAKARTA


Nampaknya upaya penanggulangan banjir di kota Jakarta belum juga banyak kemajuan. Di saat terjadi hujan lebat di hulu sungai-sungai yang bermuara di Jakarta,  banjir di ibukota negera ini tetap saja tak terhindarkan.
Maka untuk mencegah terjadinya kerugian warga yang lebih besar, baik korban jiwa maupun kerugian harta benda, faktor peringatan dini sangatlah penting. Bila bahaya yang bakal mengancam dapat diinformasikan lebih awal, maka warga Jakarta akan masih memiliki waktu yang cukup untuk bebenah. Memindahkan atau menitipkan  harta benda yang biasanya ditaruh di lantai dasar seperti mobil dan sepeda motor di garasi ke tempat lain seperti di rumah saudara, teman atau tempat lain yang aman dari banjir.
Para pedagang masih sempat memindahkan barang-barang dagangan mereka dari lantai toko ke ke tempat yang lebih tinggi sehingga terhindar dari kerugian. Dan yang paling utama adalah mengungsikan anggota-anggota keluarga yang rawan terserang penyakit akibat banjir.
Pada peristiwa banjir besar setelah keramaian menyambut sukacita tahun baru tanggal 1 Januari malam yang lalu, telah jatuh beberapa korban jiwa. Disamping itu kerugian harta benda cukup besar dan belum pernah terdata.
Belajar dari pengalaman ini Gubernur Anies Baswedan lalu menginisiasi pengadaan alat pengeras suara di tiap kelurahan. Kepada para Kepala Kelurahan diinstruksikan di saat bencana banjir terjadi, mereka harus keluar berkeliling memberi peringatan kepada warganya untuk waspada dan mencari tempat yangg lebih aman serta bersiap-siap dievakuasi bila diperlukan.
Belum ada informasi apakah cara ini cukup efektif. Faktanya, dalam beberapa kasus bencana seperti di Aceh, Palu dan beberapa tempat lainnya, para pamong setempat tak nampak tampil mengendalikan situasi, menguatkan warganya yang tengah mengalami musibah serta memberikan petunjuk-petunjuk apa yang perlu dilakukan. Mungkin mereka sendiri sedang panik dan tengah sibuk menyelamatkan keluarga dan harta miliknya.
Agaknya patut dicontoh apa yang telah dilakukan almarhum Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB yang  memanfaatkan media televisi menyampaikan informasi terus-menerus mengenai berbagai hal  ketika terjadi gempa tsunami dahsyat di Palu. Padahal beliau sendiri sedang dalam perawatan dokter. Hal yang sama juga dilakukan mantan Gubernur Ahok ketika terjadi banjir besar pada masa pemeritahannya di DKI Jakarta.
Ia menempatkan petugas-petugas pemantau banjir di pintu-pintu air Katulampa Bogor, Depok dan Manggarai dan secara terus-menerus menyampaikan perkembangan tinggi air melalui tayangan langsung di televisi sehingga seluruh warga yang  menyaksikan dapat melihat sendiri lalu bersiap-siap mengantisipasinya.
Menurut penulis,  daripada menghabiskan anggaran untuk membeli perangkat pengeras suara lebih baik Pemda DKI mengadakan kontrak kerjasama dengan satu atau dua stasiun televisi nasional yang untungnya semua berlokasi di Jakarta. Agar mereka menyediakan kesempatan penayangan khusus secara terus-menerus perkembangan banjir di musim hujan serta memberikan petunjuk apa yang perlu dilakukan  warga Jakarta, khususnya di lokasi-lokasi yang sudah menjadi langganan banjir. ***

MENIMBANG-NIMBANG KEPULANGAN MANTAN PENGIKUT ISIS ASAL INDONESIA

Adalah Menteri Agama Fachrul Razi yang pertama-tama melemparkan wacana pemulangan 600 WNI ex. ISIS dari Irak dan Syria. Seperti dapat diduga sebelumnya, masalah ini segera mendapat reaksi pro dan kontra. Namun ada juga yang menganggap tidak masalah. Tidak tegas menyatakan menolak atau setuju.
Pengalaman dari sejumlah ex teroris yang tertangkap, dipidana dan kemudian dicoba dideradikalisasi, ternyata setelah dilepas mereka mengulangi lagi perbuatan mereka. Jaringan teroris yang bergerak di bawah tanah kemudian menyerang kantor-kantor polisi, jemaat yang sedang beribadah, kedutaan asing dan percobaan menyerang pejabat-pejabat pemerintah.  
Lalu, selalu timbul kecemasan. Setiap kali ada demonstrasi dari masyarakat kepada pemeritah atau lembaga negara menuntut hak-hak mereka atau memohon keadilan, selalu timbul kecemasan dari pihak kepolisian, aparat keamanan lainnya, bahkan masyarakat. Khawatir kalau ada penyusupan dari pihak teroris yang tiba-tiba meledakan bom di tengah-tengah massa untuk menciptakan kerusuhan massal dan ketakutan. Dalam suasana chaos itu mereka mau merebut kekuasaan negara dan selanjutnya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain.
Alasan pihak-pihak yang setuju dikembalikan adalah segi kemanusiaan.  Mereka beralasan, WNI ex. ISIS itu adalah orang Indonesia juga. Mereka seperti orang terluta-lunta di negeri asing. Banyak diantara mereka yang sesungguhnya tertipu oleh iming-iming palsu oleh ISIS. Yang dahulu menjanjikan kehidupan lebih baik bila bergabung dengan ISIS. Tapi dalih bahwa mereka masih WNI, ditolak pihak yang kontra. Karena banyak diantara mereka ketika berangkat ke Syria, telah membakar pasport Indonesia mereka. Mereka telah dibai’at setia kepada pemimpin ISIS, menjelek-jelekan Indonesia di luar negeri sebagai negara kafir. Dengan demikian mereka tak layak lagi diakui sebagai WNI.
Kekhawatiran mereka yang menentang dapat dimaklumi. Apalagi tidak lama lagi di berbagai Daerah di Indonesia akan berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada). Seperti pada pilkada-pilkada sebelumnya pada masa kampanye akan banyak sekali  pengerahan massa pendukung. Belum lagi kemungkinan adanya ketegangan politik setelah pengumuman hasil Pilkada akibat protes dari mereka kalah dan tidak puas.
Diantara yang pro dan kontra ini agaknya pendapat para aparat yang bertanggungjawab dalam bidang ketetertiban dan keamanan negara patut pertama-tama didengar. Apakah mereka berani menjamin keamanan dan ketertiban di negeri ini akan tetap terpelihara bila bekas-bekas pengikut ISIS diijinkan kembali. Karena merekalah yang harus tanggungjawab dalam hal ini.
Ketulusan orang-orang ex. pengikut ISIS asal Indonesia ini memang agak meragukan. Kalau mereka mengatakan sebagai korban penipuan ISIS, mengapa baru sekarang mereka mau pulang. Ketika ISIS sudah kalah perang. Ketika Pemerintah Irak konon akan menghukum mati semua ex. pengikut ISIS termasuk dari negeri asing. Mengapa ketika dahulu sudah tahu apa yang diiming-imingkan itu ternyata bohong, mereka tidak langsung memutuskan pulang ke Tanah Air. Kalau saja ISIS memenangkan perang mereka pastilah ceriteranya lain.
Makanya, kalau pada akhirnya pemerintah memutuskan juga untuk menyetujui kepulangan ex pengikut ISIS asal Indonesia itu, maka mutlak harus dilakukan seleksi ketat. Pertama-tama, saatnya sebaiknya setelah Pilkada selesai. Kedua, setiap ex anggota ISIS itu harus diketahui peranan dan keterlibatannya dalam aksi-aksi ISIS selama berkuasa. Acuannya adalah keputusan pengadilan setempat. Ketiga, baru pemerintah melakukan seleksi siapa yang bisa diloloskan dan siapa yang tidak. Penelitian khusus (litsus) dilakukan oleh sebuah Tim yang ditetapkan berdasarkan keputusan Presiden dari unsur-unsur yang terkait. Litsus dapat dilakukan di kawasan teritorial Kedutaan Besar RI di negara setempat. Mereka yang lolos, tidak langsung dipulihkan kembali ke warganegaraan mereka sebagai WNI. Harus diberi masa tenggang. Selama masa tenggang itu mereka diberi ijin tinggal dengan status stateless. Masa tenggang itu sekaligus juga sebagai masa percobaan. Selesai masa tenggang, mereka dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan status WNI. Bila menurut penelitian, selama masa tenggang mereka berkelakuan baik dan bersedia bersumpah setia kepada Pancasila dan NKRI, barulah mereka boleh diberikan status WNI.***

Thursday, February 6, 2020

Pemeritah Harus Tegas Tegakkan Kebebasan Beribadah


Menjadi pemeluk agama  minoritas di suatu negara yang tingkat solidaritas para penguasa dan masyarakatnya masih rendah, tidaklah mudah. Demikian pula di tanah air kita NKRI ini. Meskipun konstitusi Indonesia telah dengan secara tegas menjamin kebebasan bagi setiap warganegara menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya, namun faktanya masih saja ada tindakan-tindakan intolerat. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Sari Agung, Petalongan Kabupaten Indragilir Hikur, Riau, jemaat-jemaat yang sedang beribadah dibubarkan aparat satpol PP atas perintah Wakil Bupati.

Dalam tayangan itu nampak jemaat dan ibu-ibu yang jatuh histeris yang memohon agar  mereka dapat menyelesaikan  ibadah mereka, tetapi tidak digubris. Di situ nampak  juga aparat yang berseragam polisi turut menyaksikan. Tapi para perempuan yang menghiba-hiba minta tolong tak juga diindahkan. Sayangnya, ketika tayangan itu viral, seorang pejabat pemerintah pusat hanya mengomentari “itu urusan Daerah”. Padahal ini masalah pelanggaran konstitusi UUD 1945 dan pelanggaran Piagam Pernyataan Hak-hak Manusia PBB (The Universal Declaration of Human Rights)1948 yang juga sudah diratifikasi Indonesia. Sebuah ibadah dibubarkan Satpol PP !!. Setahu penulis, sesuai ayat (3) Pasal 10 UU  No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan agama adalah salah satu dari enam urusan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat dan tak dilimpahkan Negara pada daerah Otonom.

Nampaknya ada yang salah dengan peraturan pelaksanaan di bawahnya ! Dan memang ada. Khususnya SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agamas dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Agaknya SKB inilah yang selama ini menjadi acuan mereka yang menghambat kebebesan beribadah. Telah dengan sengaja atau tak sengaja disalahtafsirkan oleh kaum intolerant. Menjadi tidak saja tentang pendirian rumah ibadah tetapi juga telah melenceng kesana-kemari.  Diantaranya melarang beribadah seperti yang terjadi di Dusun Sari Agung, Petalongan, Indragilir Ilir, Riau tanggal  25 Agustus 2019 tersebut.

Maka ada sedikit harapan ketika Menkopolhukam Mahfud MD mengisyaratkan akan meninjau kembali SKB tersebut. Apalagi saat ini figur Presiden, menteri  Menkumham, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama adalah tokoh-tokoh yang tak diragukan  lagi penghayatan mereka terhadap Pancasila dan UUD 1945 khususnya tentang hak kebebasan beribadah bagi setiap warganegara. Ditambah lagi dengan dominasi PDI Perjuangan san para pendukung pemerintah di DPR, ada peluang ketentuan tentang peribadatan ini dapat diatur dengan Undang-Undang yang benar-benar adil bagi setiap warganegara tanpa membeda-bedakan.

Intinya pemerintah dan DPR membuat undang-undang yang mewajibkan pemerintah menyediakan tempat ibadah bagi semua pemeluk agama sesuai kebutuhannya di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Bebas beribadah di mana saja sesuai ajaran agamanya sejauh tidak mengganggu warga yang lain.

Sama dengan pengajian atau tasyakuran di rumah-rumah, umat Kristiani juga hendaknya tidak lagi diganggu ketika melakukan ibadah rumah tangga atau persesekutuan doa di rumah-rumah jemaatnya. Bahkan juga ketika kebaktian padang, meniru kebiasaan Yesus (nabi Isa) yang mengajar, menyembuhkan dan berdoa di bukit-bukit, pinggir pantai dan rumah pengikutNya. Apalagi  di rumah ibadah yang juga disebut Rumah Do’a.

Sekarang bukan waktunya lagi di lapangan dilakukan angket-angketan meminta persetujuan  warga.  Sekali Pemerintah dan DPR menetapkan Undang-Undang,  setiap warganegara negeri ini harus mematuhinya. Dan pemerintah berkewajiban menjalankan dan menegakkan  hukum itu. ***

Contact Form

Name

Email *

Message *