Menjadi pemeluk agama minoritas di suatu negara yang tingkat
solidaritas para penguasa dan masyarakatnya masih rendah, tidaklah mudah.
Demikian pula di tanah air kita NKRI ini. Meskipun konstitusi Indonesia telah
dengan secara tegas menjamin kebebasan bagi setiap warganegara menjalankan
ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya, namun faktanya masih saja ada
tindakan-tindakan intolerat. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Sari
Agung, Petalongan Kabupaten Indragilir Hikur, Riau, jemaat-jemaat yang sedang
beribadah dibubarkan aparat satpol PP atas perintah Wakil Bupati.
Dalam tayangan itu nampak jemaat dan
ibu-ibu yang jatuh histeris yang memohon agar
mereka dapat menyelesaikan ibadah
mereka, tetapi tidak digubris. Di situ nampak
juga aparat yang berseragam polisi turut menyaksikan. Tapi para perempuan
yang menghiba-hiba minta tolong tak juga diindahkan. Sayangnya, ketika tayangan
itu viral, seorang pejabat pemerintah pusat hanya mengomentari “itu urusan
Daerah”. Padahal ini masalah pelanggaran konstitusi UUD 1945 dan pelanggaran
Piagam Pernyataan Hak-hak Manusia PBB (The Universal Declaration of Human Rights)1948 yang juga sudah diratifikasi Indonesia.
Sebuah ibadah dibubarkan Satpol PP !!. Setahu penulis, sesuai ayat (3) Pasal 10
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, urusan agama adalah salah satu dari enam urusan yang tetap menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan tak dilimpahkan Negara pada daerah Otonom.
Nampaknya ada yang salah dengan
peraturan pelaksanaan di bawahnya ! Dan memang ada. Khususnya SKB (Surat
Keputusan Bersama) Menteri Agamas dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun
2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Agaknya SKB inilah yang selama ini menjadi acuan
mereka yang menghambat kebebesan beribadah. Telah dengan sengaja atau tak
sengaja disalahtafsirkan oleh kaum intolerant. Menjadi tidak saja tentang pendirian
rumah ibadah tetapi juga telah melenceng kesana-kemari. Diantaranya melarang beribadah seperti yang
terjadi di Dusun Sari Agung, Petalongan, Indragilir Ilir, Riau tanggal 25 Agustus 2019 tersebut.
Maka ada sedikit harapan ketika Menkopolhukam
Mahfud MD mengisyaratkan akan meninjau kembali SKB tersebut. Apalagi saat ini
figur Presiden, menteri Menkumham,
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama adalah tokoh-tokoh yang tak diragukan lagi penghayatan mereka terhadap Pancasila dan
UUD 1945 khususnya tentang hak kebebasan beribadah bagi setiap warganegara. Ditambah
lagi dengan dominasi PDI Perjuangan san para pendukung pemerintah di DPR, ada
peluang ketentuan tentang peribadatan ini dapat diatur dengan Undang-Undang
yang benar-benar adil bagi setiap warganegara tanpa membeda-bedakan.
Intinya pemerintah dan DPR membuat
undang-undang yang mewajibkan pemerintah menyediakan tempat ibadah bagi semua
pemeluk agama sesuai kebutuhannya di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Bebas
beribadah di mana saja sesuai ajaran agamanya sejauh tidak mengganggu warga
yang lain.
Sama dengan pengajian atau
tasyakuran di rumah-rumah, umat Kristiani juga hendaknya tidak lagi diganggu ketika
melakukan ibadah rumah tangga atau persesekutuan doa di rumah-rumah jemaatnya. Bahkan
juga ketika kebaktian padang, meniru kebiasaan Yesus (nabi Isa) yang mengajar,
menyembuhkan dan berdoa di bukit-bukit, pinggir pantai dan rumah pengikutNya. Apalagi di rumah ibadah yang juga disebut Rumah Do’a.
Sekarang bukan waktunya lagi di
lapangan dilakukan angket-angketan meminta persetujuan warga.
Sekali Pemerintah dan DPR menetapkan Undang-Undang, setiap warganegara negeri ini harus
mematuhinya. Dan pemerintah berkewajiban menjalankan dan menegakkan hukum itu. ***
No comments:
Post a Comment