Kalau benar seperti yag diberitakan berbagai
media masa sekitar cara Gubernur DKI Jakarta sekarang Anies Baswedan mencopot
dan mengganti para pejabatnya – memang sungguh memprihatinkan ! Para abdi
negara yang jam terbang mereka cukup panjang di Pemda DKI diperlakukan seperti
memindahkan hewan saja.
Sebagai mantan Auditor Kepegawaian Departemen
Dalam Negeri yang dipekerjakan selama tujuhbelas tahun di Pemda DKI, sejak
menjelang akhir era Gubernur Ali Sadikin sampai masa Gubenur Sutyoso, belum
pernah saya menemukan perlakuan sedemikian buruk.
Dalam pembinaan pegawai negeri sipil
(sekarang ASN), ada tiga hal yang selalu menjadi sasaran audit. Pertama Administrasi
Kepegawaian, kedua, disiplin kepegawaian yang dahulu
diatur dalam PP 30/1980 (sekarang PP 53/2010). Ketiga, kesejahteraan pegawai.
Dalam
hal Administrasi Kepegawaian, ada sekitar 20 buku yang harus ditela’ah.
Mulai dari prosedur perekrutan pegawai, pengangkatan, pelatihan,
pemindahan/mutasi pegawai, hak-hak pegawai, disiplin pegawai, hak-hak pegawai
seperti cuti, hak gaji/tunjangan, hak peningkatan karier, hak pensiun sampai
pemberhentian. Semua ada tata caranya.
Kendala Auditor Kepegawaian dalam upaya
pembinaan tertib administrasi Kepegawaian lembaga pemerintahan , sering kali
berhadapan dengan kondisi ketika ada penggantian pejabat pimpinan baru yang
menangani bidang kepegawaian.
Karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman
pejabat yang baru pada bidangnya, menyebabkan administrasi kepegawaian yang
tadinya dengan susah payah dapat ditertibkan dan dirapihkan, belakangan menjadi
acak-acakan lagi.
Kembali pada pemindahan atau mutasi
pegawai, ada protap (prosedur tetap) yang senantiasa dilalui. Umumnya Pejabat
yang berhak memindahkan/memberhentikan sesuai batas kewenangannya menerbitkan
Surat Keputusan. Ada tembusan yang harus disampaikan kepada pegawai yang
bersangkutan. Dalam SK pemindahan itu
ada setidaknya empat hal yang harus secara tegas dinyatakan : Jabatan lama dan Jabatan baru dan lokasi kerja,
terhitung mulai kapan.
Dalam SK itu juga ada pertimbangan alasan
pemindahan/mutasi, entah menyangkut disiplin, peningkatan karier atau kebutuhan
organisasi.
Manfaatnya bagi pegawai adalah agar ia
boleh menyimak karena itu menyangkut hak dan masa depan kariernya. Kalau ada
yang dipandangnya tidak benar, ia bisa membuat pengaduan. Entah ke atasan dari
atasan langsungnya atau ke Inspektorat sebagai lembaga pengawas eksternal di
unit kerjanya.
Hal
ini dimungkinkan, karena dalam UU Kepegawaian disitu ada rincian hak, kewajiban, dan larangan dari setiap PNS
(ASN). Kepada atasan, ada larangan untuk tidak berbuat sewenang-wenang kepada
bawahan.
Menyangkut alasan mutasi atau pemberhentian
dari jabatan karena disiplin atau kinerja, dahulu ada DP3 (Daftar Penilaian
Pekerjaan Pegawai) yang harus diisi atasan langsung semua pegawai setiap tahun.
Memuat 8 (delapan) unsur penilaian kinerja dengan penilaian kurang, sedang,
cukup, baik dan Amat Baik. Ke delapan
unsur penilaian itu mencakup : Kesetiaan pada Pancasila, kepemimpinan,
kecakapan, inisiatif, ketaatan dan kerjasama.
Semua dinyatakan dalam angka antara
50 s/d 100.
Pesyaratan untuk promosi jabatan dan
kenaikan pangkat, nilai rata-rata harus baik
dan tidak ada unsur bernilai kurang.
DP3 ini harus diandatangani oleh Atasan
Langsung yang menilai, disetujui dan ditandatangani pegawai yang dinilai lalu ditandatangai oleh Atasan
dari atasan pegawai yang menilai.
Nilai DP3 sangat menentukan peningkatan
karier tiap pegawai. Karena itu, bila ia tidak terima penilaian atasannya, ia
boleh menuliskan keberatannya pada ruang yang disediakan sebelum disampaikan ke
atasan pegawai penilai.
Maka taklah mengherankan kalau sebagian
Walikota dan pejabat Pemda DKI mengalami
cara mutasi seperti yang diberitakan, merasa diperlakukan semena-mena, tidak
manusiawi.
Bahwa sikap cenderung otoriter dan kaku
dari Gubernur Anies Baswedan dalam memutasi pejabatnya,
mulai nampak ketika ia mencopot Direktur Dharma Jaya, seorang professional yang
sebelumnya sukses di perusahaan swasta. Personal
Relation kurang diperhatikan ! Sampai-sampai perempuan yang ketika itu dibebani
tanggung jawab menyalurkan daging murah untuk
warga miskin Jakarta harus menangis di hadapan para pegawainya.
Ahok gubernur pendahulu Anies terkenal
kasar dalam tutur katanya kepada pegawai. Tapi ungkapan kekecewaannya
diutarakan secara langsung pada yang berangkutan tanpa tedeng aling-aling. Dengan
alasan-alasan yang jelas. Tidak diam-diam di belakang, cukup dengan telepon,
SMS atau WA.
Ketika harus memutasikan, Ahok tetap melakukannya
sesuai protap. Penerbitan SK, penyerahan SK, undangan Serah terima jabatan.
Jelas status selanjutnya dari pegawai yang dicopot jabatannya.
Maka tidaklah heran pula kalau Mendagri
mengkritisi cara Gubernur DKI kali ini meskipun diakui memutasi pejabat DKI
memang wewenangnya.
Tidak
heran pula kalau Ketua Komisi ASN Sofyan
Effendi menganggap pelantikan pejabat baru DKI tidak sah, melanggar ketentuan PP. 53/2010 tentang
Disiplin PNS. Ia akan mengajukan rekomendsi kepada Mendagri dan Kemenpan RB
untuk meluruskan cara pemutasian tersebut
Para pegawai yang merasa dirugikan, tak
mungkinlah terlalu lugas memprotes kebijakan atasannya, karena nasib karier
mereka tetap tergantung pada atasan mereka itu. Seperti juga pada PP 53/2010
ataupun dahulu PP 30/1980, maupun AD/ART
Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) memang ada kewajiban pegawai untuk
taat pada perintah atasan.
Memprotes kebijakan atasan oleh bawahan dapat
dianggap pelanggaran disiplin oleh atasannya. Dan itu sudah berarti menjadi “kartu
mati” buat karier pegawai yang bersangkutan. Padahal alasan keberatannya mungkin
dapat dibenarkan.***
No comments:
Post a Comment