Makin dekat masa pendaftaran peserta
Pilpres 2019 yang akan datang, pergerakan konsultasi dan penjajagan partai-partai
politik untuk membentuk koalisi hari-hari ini makin meningkat.
Sampai-sampai Ketua
Umum Partai Demokrat SBY dikabarkan harus masuk rumah sakit akibat kelelahan.
Sedianya SBY yang juga Presiden ke 6 RI itu akan bertemu dengan Ketua Umum Partai
Gerinda Prabowo Subianto dalam
kaitan kemungkinan berkoalisi.
Sejauh ini baru terpolarisasi dua kelompok bayang-bayang koalisi,
yang tentu saja masih bisa berubah yaitu koalisi pendukunng Capres Joko Widodo dan koalisi pendukung
Capres Pabowo Subyanto.
Koalisi pertama terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, Golkar,
Hanura, Perindo, PPP, PKPI, PSI dan PKB. Sedang pendukung Prabowo terdiri dari
Partai Gerindra, PKS dan PAN.
Semula pihak PAN dan Partai Demokrat giat mengupayakan pembentukan
koalisi ke tiga. Namun nampaknya sulit untuk direalisasikan. Pertama, akibat
penentuan Capres dan Cawapres yang masing-masing mau mengajukan kadernya serta
kesulitan memenuhi persyaratan minimal memiliki 20 kursi hasil Pemilu 2014
untuk dapat mendaftarkan Capres/Cawapres nya.
Upaya pendekatan Partai Demokrat ke PDIP untuk membangun koalisi,
nampaknya masih terkendala berkenaan masih belum berakhirnya
ketidakharmonisan hubungan pribadi kedua
Ketua Umum partai ybs. Akibat perbedaan-perbedaan pandangan pada Pilpres-pilpres sebelumnya.
Dengan alasan yang sama, upaya pendekatan Prabowo Subianto ke
PDIP masih tetap terkendala oleh bayang-bayang kekecewaan Prabowo akibat tidak
dicalonkan dirinya oleh PDIP sebagai
Capres pada Pilpres 2014 sesuai dengan Perjanjian Batutulis 2009.
Sekiranya Prabowo atau Partai Demokrat dapat merapat ke koalisi pengusung Capres Joko Widodo sedang koalisi baru tidak
dapat dibentuk, maka ada kemungkinan
akan terjadi Pilpres Capres Tunggal, di mana Joko Widodo akan berhadapan
dengan kotak kosong.
Seberapa banyak pendukung
dan yang menolak Joko Widodo
untuk melanjutkan masa baktinya yang kedua, akan terlihat pada jumlah suara di kedua jenis kotak suara itu. Tapi
nampaknya kemungkinan ini sangat kecil akibat kedua kendala pribadi para tokoh di
atas.
Oleh karena itu yang sangat mungkin terjadi , pada akhirnya
Partai Demokrat akan merapat ke kubu Prabowo dalam koalisi Partai Gerindra, PKS
dan PAN. Sehingga pada Pilpres 2019
nanti hanya ada dua Capres yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Namun koalisi baru ini nampaknya agak rentan. Pertama, disana
ada perbedaan kecenderungan ideologis masing-masing partai. Ada yang cenderung
agamis dan yang lainnya nasionalis. Kerentanan kedua, adanya sikap ngotot dari
partai-partai yang bersangkutan menyangkut Cawapres pendamping Prabowo
Pihak PKS misalnya
ngotot supaya Cawapres dipilih dari salah satu dari sembilan nama yang mereka
ajukan. Sedangkan pihak Partai Demokrat mengadang-gadang agar Agus Harimurti Yudoyono (AHY) menjadi
Cawapresnya. Sedangkan PAN juga menginginkan hal yang sama.
Memang dilema bagi Prabowo. Dia seperti didesak-desak bahkan
seperti diultimatum . Kalau Cawapres bukan dari PKS , maka mereka tidak mau
jadi penonton penggembira saja dan lebih
baik tidak jadi bergabung.
Prabowo mau membatalkan kesediaannya ikut dalam Pilpres 2019
sebagai Capres, juga tidak etis. Karena ia telah telanjur menyatakan janji kesiapannya
menjadi Capres apabila dikehendaki partainya, Partai Gerindra.
Lagi pula sudah telanjur dibuka rekening kepada umum yang mau ikut memberikan dukungan
dana untuk kampanye. Dan kabarnya sudah terkumpul sekian milyard. Dan satu
lagi. Apabila ia mengundurkan diri atau menunjuk calon Capres yang lain,
pendukungnya akan merasa terpukul dan merasa dikhianati. ***
No comments:
Post a Comment