Inginnya sih,
mungkin KPK bentukan Undang-undang KPK baru No.19 Tahun 2019 mau menunjukkan
prestasi dan sekali gus menunjukkan tidak benar kalau KPK dengan undang-undang
baru ini akan melemah seperti yang banyak ditudingkan.
Sejenak
memang terkesan mengagumkan. Seorang petinggi KPU yang selalu disegani itu berani
mereka tangkap dan menjebloskannya ke dalam jeruji besi setelah dilakukannya
operasi OTT (operasi tangkap tangan). Lalu seorang kader partai utama pendukung
pemerintah PDI Perjuangan dimasukkan dalam daftar buronan setelah minggat ke
luar negeri.
Hanya sayang
operasi tangkap tangan KPK pimpinan Firli Bahuri ini dinilai menimbulkan banyak
misteri dan tanda tanya. Demikian pula di sekitar upaya penggeledaan di kantor
PDIP yang gagal dan penahanan penyidik KPK di PTIK. Tak ada informasi yang
tuntas dari KPK. Kalaupun ada satu dengan yang lain saling bertentangan. Misalnya,
sudah ada atau tidaknya surat ijin dari Badan Pengawas KPK di tangan penyidik
KPK ketika penggeledahan dan penyitaan akan dilakukan. Tentang keberadaan
tersangka Harun Masiku, kader PDIP ketika akan dilakukan penangkapan simpang siur. Masih di dalam negerikah atau
sudah berangkat ke luar negeri. Benarkah Badan Pengawas KPK lamban memberikan
surat ijin. Benarkah ada perbedaan diantara angota Bawas mengenai ijin
penggeledahan dan ijin penyitaan. Dalam satu paketkah atau sendiri-sendiri ?
Beda dengan
ketika Johan Budi dan kemudian diganti Febri Diansyah masih menjadi juru bicara
KPK. Informasi dan penjelasan mereka yang didukung pimpinan KPK mengenai OTT yang baru atau sedang dilakukan KPK
cukup jelas. Lengkap dan tuntas. Sehingga tidak menimbulkan banyak tanda tanya,
simpang-siur informasi dan salah paham.
Ada sejumlah
tanda tanya, kalau tak bisa dibilang misteri, yang perlu penjelasan sekitar OTT
tersebut. Mungkin sebagian nanti akan menjadi jelas dengan sendirinya ketika
Harun Masiku(HM) sudah tertangkap dan “bernyanyi” siapa-siapa saja yang
terlibat dan menginisiasi pemberian uang suap 90 milyard rupiah yang konon diminta
WH kepada HM sebagai imbalan untuk meloloskan dirinya menggantikan
kader PDIP Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia di DPR-RI.
Padahal,
menurut Undang-undang, yang berhak menggantikan almarhum adalah Riezky Aprilia
sebagai pengumpul suara terbanyak kedua. Alasan PDIP mengusulkan Harun Masiku
meskipun perolehan suaranya jauh di bawah Riezky adalah sesuai Keputusan dan
fatwa Mahkamah Agung yang telah memberi
hak kepada pimpinan pusat partai itu mengalihkan jumlah perolehan suara almarhum
kepada kadernya yang lain. Tetapi KPU secara resmi menolak klaim PDIP itu dan
bersikukuh yang berhak adalah Riezki Aprilia yang menduduki urutan kedua.
Hal lain
yang menjadi tanda tanya mengenai keberadaan penyidik KPK di gedung PTIK yang
kemudian berujung pada penahanan petugas negara itu selama beberapa jam bahkan
sampai diperiksa urine. Ada informasi yang mengatakan mereka hanya menumpang
shalat di sana. Tetapi informasi lain menyebutkan ada kaitannya dengan
keberadaan Hasto Kristianto, sekjen PDIP yang beberapa kali disebut-sebut dalam
kasus pengusulan HM sebagai pengganti antar waktu (PAW) Nazarudin Kiemas
almarhum.
Kehadiran
Menkumham Yazona Laoly yang juga fungsionaris PDIP dalam pengumuman pembentukan
Tim Hukum PDIP oleh sejumlah pengamat
dinilai tidak etis walaupun tidak melanggar hukum. Kedatangan tim itu ke Mabes
Polri menyangkut pemberitaan massmedia, ada yang menilai seperti mau
menakut-nakuti massmedia. Padahal, kejadian sebelumnya yang mencegah para
penyidik KPK melakukan penggegedahan di kantor PDIP sehingga gagal, telah memberi kesan kurang simpatik kepada partai
pendukung utama pemerintah itu.
Janji para
juru bicara KPK yang baru Ipi Maryati dan Ali Fikri saat konperensi pers mereka
pertama 27 Desember 2019 yang lalu bahwa akan tetap menjaga keterbukaan
informasi publik dan akan lebih bijak ternyata tidak jadi kenyataan.
Banyak lagi
yang membuat orang dibingungkan oleh simpang-siur informasi. Seperti polemik antara
KPU di satu pihak dan PDIP dan MA di lain pihak mengenai dasar hukum yang tepat
untuk kasus PAW anggota DPR dalam kasus ini. Argementasi KPU yang mendasarkan
Undang-undang (UU No.7/2017 tentang Pemilu pasal 426 dan UU MD3 psl 242) atau
PDIP yang berdasarkan Keputusan dan fatwa MA ? Setahu penulis yang bukan orang hukum,
MA hanya berwenang menguji peraturan di bawah Undang-undang. Lain dengan
Mahkamah Konstitusi yang fungsinya memang menguji Undang-undang. Semua ini
mesti dijernihkan agar masyarakat tidak terus-menerus dibuat bingung. (Sam Lapoliwa mantan wartawan bid. Hukum dan
PNS)***
No comments:
Post a Comment