Kalau
ditelusuri peta Nusantara (Indonesia), kita tak bakalan menemukan Pulau Mori seperti yang telah
ditawarkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjahitan kepada Putra
Mahkota Uni Emirat Arab, Pangeran Mohamed Bin Zayed. Yang ada adalah Tanah Mori
yang berlokasi di Kabupaten Morowali
Utara dan Morowali Raya Propinsi Sulawesi Tengah.
Meskipun ini
tentunya hanya kepleset lidah, tapi akibatnya bisa fatal. Kalau saya saja yang
orang Mori asli tak dapat menemukan Pulau nan indah permai itu di peta, apatah lagi
sang Pangeran Arab yang diiming-iming akan menenamkan modalnya triliunan dolar
itu. Jangan sampai sang Pangeran mencari-carinya di peta dan tak menemukan lalu
bilang Pulau Mori fiktif.
Tanah Mori
adalah bekas kerajaan Mori yang sepanjang sejarahnya selalu berseteru dengan
Belanda yang berusaha mencaplok wilayah yang indah dan kaya itu. Perang dengan
Belanda bermula ketika raja Mori dan Belanda bersepakat membangun jalan antara
Kolonodale dan Istana raja di Matanda'u. Tetapi pihak Belanda memperlakukan rakyat yang dipekerjakan
di proyek itu dengan kasar dan kejam. Rakyat mengadu pada raja. Ditambah lagi
dengan kelancangan Belanda mulai menagih-nagih pajak. Seolah-olah mereka sudah
menjadi penguasa Tanah Mori.
Pada perang
pertama pertengakan abad 19 raja Marunduh gelar Ratu ri Tana menunjukan
keahliannya mengatur siasat yang brilian bersama para Tadulako (panglima)nya sehingga
kurang lebih empat puluh tentara Belanda bersenjata lengkap tewas. Hal ini
menyebabkan Belanda marah besar. Mereka lalu mengirimkan tiga kapal perang dari
Ternete dan Makasar dengan pasukan khusus Marsosenya. Perang besar segera
berkecamuk, seperti perang di benteng Ensa Ondau dan terakhir di benteng
Wulanderi. Disitu raja Marunduh terus bertempur hingga titik darah penghabisan. Mestinya dia
layak dihargai sebagai Pahlawan. Setelah raja mereka gugur perlawanan rakyat
pun berakhir.
Selain
kekayaan alam yang melimpah dan potensi wisatanya, penduduk Tanah Mori juga
mempunyai kharateristik yang mirip-mirip penduduk Indonesia secara nasional. Beraneka
ragam tetapi menjadi satu. Hampir tiap kampung mempunyai bahasa lokal dan
adat-istiadat masing-masing yang berbeda-beda sesuai dengan sukunya seperti
bahasa Impo, bahasa Towatu, Tomolongkuni, Toroda,Timobahono, Tomoiki dll. Namun
dalam pertemuan-pertemuan umum, seperti acara resmi, ibadah dan sekolah, tetap menggunakan bahasa Mori umum disamping Bahasa
Indonesia. Di perantauan, orang-orang Mori selalu menyebut diri suku Mori. Pertemuan-pertemuan
paguyuban mereka biasanya mereka awali
dengan menyanyanyikan Mars “Wita Mori”.
Dalam salah satu baitnya, disebutkan Pohon Apali (Beringin) sebagai simbol
kekuatan pemerintahan Tanah Mori. Jauh hari sebelum Golkar dan Departemen Dalam
Negeri menggunakan pohon rindang dan
kokoh itu sebagai lambangnya. Bahkan jauh sebelum pohon itu dijadikan salah satu
simbol dalam lambang negara Garuda Pancasila kita.***
No comments:
Post a Comment