Akhir-akhir
ini di wilayah NKRI bermunculan banyak kerajaan-kerajaan fiktif.
Ada Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Sunda
Empire di Bandung dan lain-lainnya. Pemunculan parade kerajaan di keraton
Purworejo oleh baginda Raja Toto Santosa dan Permaisuri Fanni Amidadia dengan
menunggang kuda serta dipagari para maha menteri dengan seragam mereka cukup
indah membuat para pemirsa televisi sejenak terpukau. Belum lagi sidang
kerajaan yang semarak itu.
Para
politisi dan para aparat keamanan serta penguasa di seantero negeri sontak
terkesima. Ada negara asing di NKRI ? Maka polisipun mulai bergerak. Sang raja
dan ratu pun diambil. Dan kedua pasangan ini, yang ternyata bukan suami isteri
resmi, danh mengaku bukan keturunan bangsawan, akhirnya mengaku kerajaan mereka
hanya fiktif serta meminta maaf.
Diskusi-diskusi
para ahli dan tokoh masyarakatpun ramai memperbincangkan apa gerangan yang
terjadi. Ada yang berpendapat semua itu timbul karena alasan politik. Kecewa
dengan situasi negara saat ini. Ada pula yang berpendapat karena tekanan
ekonomi. Tapi menurut penulis ini tak lepas dari dorongan kebutuhan seperti
dikemukakan Abraham Maslow yang coba menganalisis delapan tingkat kebutuhan
manusia.
Mulai dari
kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, perumahan, keamanan, kesehatan,
pendidikan dan terakhir aktualitas diri. Nampaknya yang paling menonjol dalam
permasalan ini adalah motif kebutuhan aktualitas diri. Ingin dihargai. Mau menunjukkan bahwa dia pun ada dan juga pantas dapat kehormatan. Meskipun ada sedikit
motif ekonominya.
Bayangkan.
Dengan modal hanya beberapa juta, seseorang perangkat desa bisa tampil dalam
seragam berwibawa berbintang tiga dengan jabatan Maha Menteri ! Lebih mentereng daripada seragam kebesaran
perwira tinggi TNI/Polri bahkan dari pakaian baginda raja di manapun. Apalagi
diiming-iming dengan gaji dalam mata uang dollar dan menjadi penguasa dunia !!
Rakyat yang ikut heran dan tertarik, ramai-ramai datang ingin melihat dan tahu lebih banyak tetang kerajaan aneh
ini.
Maka tak
heran kalau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo malahan nampak rada senang juga
dengan peristiwa langka ini. Ia ikut gembira melihat keberuntungan rakyatnya di
sekitar lokasi. Para pedagang kecil, pemilik lahan parkir, penjual souvenir
serta makanan dan minuman omzet mereka naik berlipat ganda. Rumah-rumah sekitar
mendadak jadi penginapan. Maka terbetiklah idee untuk menjadikan keraton
jadi-jadian itu sebagai obyek wisata dan mewanti-wanti aparat keamanan agar
tidak ditutup. Malahan ia merencanaman untuk dikembangkan. Tentu saja dengan melakukan
beberapa perubahan. Mengarahkannya semata-mata hanya untuk hiburan, seni dan
kebudayaan pada umumnya.***
No comments:
Post a Comment