Pada
pertengahan tahun 70-an, salah satu masalah yang cukup memusingkan para
petinggi di Pemda DKI Jakarta adalah masalah genangan air di lapangan Monumen
Nasional (Monas). Mengapa ? Karena tempat itu bukan saja pas berhadapan dengan
istana Merdeka yang menjadi salah satu simbol negara, tetapi juga menjadi obyek
wisata dengan adanya tugu Monas yang selalu ramai dikunjungi orang. Sedang di
satu masa, saat musim panas, sekitar Jakarta Pusat terasa makin panas dan
polusi udara makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan
yang setiap jam menghembuskan gas buangannya.
Untuk
mengalirkan genangan air keluar dari bekas
lapangan Ikada atau yang pernah juga populer dengan lapangan Gambir itu tidaklah
gampang. Kondisi lapangan yang rata bahkan di beberapa lokasi ada lekukan
menyebabkan air di musim hujan susah mengalir ke dalam parit sekeliling yang
sudah digali dalam-dalam.
Maka
kemudian ditemukanlah solusi, yaitu dengan melipatgandakan penanaman
pohon-pohon pelindung. Diharapkan pohon-pohon itu, kebanyakan akasia karena bisa
tumbuh dengan cepat, akan dapat
menghisap habis genangan-genangan air itu di musim hujan. Dan dimusim panas
dapat mengurangi panasnya hawa di sekitar serta mengurangi polusi udara.
Selang beberapa
tahun terbukti pohon-pohon yang sudah rindang itu memang mampu menghilangkan
genangan air di kala musim hujan. Melihat hasilnya yang efektif, maka tak tak
tanggung-tanggung. Jakarta Fair Monas yang letaknya strategis dan selalu ramai
dikunjungi warga dari segala penjuru, siang dan malam, digusur habis. Dipindahkan
ke Kemayoran yang letaknya dirasa kurang strategis dari segi transportasi umum.
Bekas lokasinya dipandang lebih
menguntungkan bila dihijaukan dengan pepohonan.
Semua itu
saya tahu karena sejak era gubernur Ali Sadikin, saya telah menjadi
konstributor pemberitaan untuk Majalah Media Jaya, Cinta Ibukota dan majalah
Kotapraja yang diterbitkan Biro Humas Pemda DKI Jakarta. Bahkan sebelum
diangkat menjadi pegawai organik di Inspektorat Wilayah Propinsi DKI Jakarta,
sempat menjadi staf redaksi Majalah semi ilmiah “Widyapura” yang diterbitkan
PPMPL (Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan) DKI yang dipimpin
Dpl.Ing. Liem Bianpoen. Pakar lingkungan hidup ini, yang kebanyakan stafnya
pada ahli dari Universtas Indonesia sehari-harinya melakukan penelitian. Mulai
dari pengukuran polusi udara, polusi air, ketinggian banjir di musim hujan,
penelitian masalah sampah bahkan sampai rencana jaringan lalulintas di masa
depan.
Maka
sangatlah mengherankan kalau gubernur yang sekarang membabat habis ratusan
pohon-pohon pelindung di Monas untuk kemudian digantikan dengan bangunan beton.
Kalau Jakarta Fair Monas saja, yang dahulu sangat digandrungi rakyat bisa digusur
demi perbaikan lingkungan, masakan sekarang pohon-pohon itu diratakan lagi demi
bangunan yang belum begitu jelas apa manfaatnya.
Gubernur sekarang nampaknya sudah lupa di waktu musim panas yang lalu kota Jakarta dinilai dunia sebagai kota dengan polusi tertinggi di dunia. Sampai-sampai akan diprogramkan penanaman massal sejenis tanaman yang dapat mengurangi polusi udara.
Gubernur sekarang nampaknya sudah lupa di waktu musim panas yang lalu kota Jakarta dinilai dunia sebagai kota dengan polusi tertinggi di dunia. Sampai-sampai akan diprogramkan penanaman massal sejenis tanaman yang dapat mengurangi polusi udara.
Agaknya niat
bongkar-membongkar yang gagal seperti yang pernah dirancangkan untuk Taman
Izmail Marzuki (TIM) Cikini sedang beralih ke Monas. Mungkin sebentar lagi area
tugu Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng akan menyusul di“vitalisasi”. (Sam Lapoliwa, mantan wartawan/PNS)***
No comments:
Post a Comment