Disamping
senang dengan rencana pengembangan Tanah Mori di Kabupaten Morowali Utara dan
Morowali Raya Propinsi Sulawesi Tengah sebagai dampak akan dibangunnya ibukota
negara yang baru di Kalimantan Timur, timbul pula rasa cemas akan timbulnya
dampak negatif akibat pengembangan
tersebut, khususnya kerusakan lingkungan.
Makanya
jauh-jauh hari sebelum itu terjadi aparat Pemerintahan di daerah, para tokoh
masyarakat bahkan seluruh warga Mori perlu waspada agar kerusakan itu tidak
terjadi. Mulai dari warga Mori sendiri yang mendisiplinkan diri dan setelah itu
mencegah dan melawan setiap kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan
kerusakahn lingkungan.
Jangan
herndaknya terjadi kerusakan seperti yang banyak dapat disaksikan di Pulau Jawa bahkan di Ibukota Jakarta
sendiri saat ini. Sungai-sungai airnya menghitam lebam berbau, samasekali tak
bisa digunakan lagi. Sampah-sampah bertebaran mencemari tempat-tempat wisata.
Sungai Laa
yang mengalir dari hulu di Uluanso Tua melewati kampung-kampung Kumpi Tua, Undoro,
Beteleme, Tompira sampai bermuara di Lingkobu Kolonodale, jaman dahulu
merupakan sarana lalulintas rakit orang
Mori mengangkut damar dan rotan, dua
komoditi niaga yang sangat menguntungkan pada masanya.
Kota Tompira
yang sudah sangat terkenal dengan meti (kerang)nya, yang segar maupun yang
sudah dikeringkan, adalah berkat yang didapat dari dasar sungai Laa. Bukan itu
saja. Keindahan panorama di sepanjang sungai Laa jaman dahulu pernah dipuji dan
dikagumi para ahli peneliti dan pengeliling dunia sebagai “belum pernah kami
lihat sebelumnya”, dikutip dari buku “Het Rjik van Mori” oleh Albert C. Kruyt
(terjemahan Yayasan Idayu) di bawah ini.
Sayang kalau
nasib sungai Laa akan seperti sungai-sungai menghitam di Jakarta. Yang perlu diwaspadai
terutama pembanguan pabrik-pabrik, pertambangan di hulu yang akan menghasilkan
sisa buangan berbahaya dan mencemari
sungai harus dicegah.
No comments:
Post a Comment