Hari-hari ini ramai diperbincangkan boleh tidaknya umat Muslim
mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani. Alasannya dulu, karena
fatwa MUI mengharamkannya.
Tetapi bbrpa waktu lalu, Ketua Umum
MUI menegaskan MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa demikian. Bahkan
sebuah video yg sdh menyebar, beliau sendiri sdh mengucapkan Selama
Natal.
Yg benar, kata beliau, yg difatwakan MUI adalah larangan umat Muslim mengikuti peribadatannya umat Kristiani.
Sebetulnya pemimpin-pemimpin umat Kristiani sdh lama paham akan hal ini.
Makanya pada setiap Hari Natal sering diadakan dua jenis acara. Satu, IBADAH NATAL dan dua, PERAYAAN NATAL.
Yg pertama, susunan acaranya (Liturgi) disusun secara ketat. Pujian,
pembacaan Kitab Suci, doa dan sakramen lainnya. Perjamuan Kudus ( makan
roti dan minum anggur), misalnya, tidak semua jemaat boleh ikut. Hanya
mereka yg telah lulus mengikuti pendidikan Katekisasi dan diteguhkan
sebagai warga sidi. Bagaimana mungkin umat lain bisa ikut peribadatan
ini ? Jangankan umat Muslim. Antar sesama umat Kristiani saja belum
tentu bisa ikut cara perbadatan di gereja yg berbeda denominasinya.
Misalnya Katolik ke Protestan dan sebaliknya.
Kedua, PERAYAAN.
Acara ini biasanya sesudah Ibadah Natal. Acaranya, tidak seketat
liturgi. Lebih bernuansa ucapan syukur, sukacita dan gembira. Boleh
menggunakan band serta artis-artis penyanyi kidung Rohani .
Nah
pada kesempatan inilah biasanya tamu-tamu dan para sahabat non Kristiani
didaulat ikut. Intinya tidak ada tata ibadah yg harus diikuti. Tapi, dalam berbagai komentar bbrp hari ini, nampaknya ada yg tak bisa membedakan kedua acara ini.
Seperti yg ditegaskan Ketua Umum MUI dlm ketika diwawancarai Rosi dari
Kompas tv bbrp waktu lalu, yg dilarang adalah mengikuti Ibadah. Hal yg
sesungguhnya oleh pihak gereja sendiri dianggap tidak etis, kecuali atas
keinginan sendiri dan diijinkan.
Kesimpulannya, sebelum berkomentar, perlu tahu dulu perbedaan ini agar tak dikacaukan.***
No comments:
Post a Comment