Dengan alasan agar rakyat dapat merayakan
Natal dengan tenang, Gubernur Papua
Lukas Enembe dan Ketua DPRD Provinsi Papua Yunus Wonda menjelang Natal yang
lalu meminta agar TNI/Polri mundur sementara dari Kabupaten Nduma.
Bisa
dimaklumi bagaimana serba salahnya posisi seorang pemimpin sipil yg berada
diantara dua kelompok bersenjata yg secara bergantian menguasai wilayahnya.
Ketika satu
kelompok ditarik atau mengundurkan diri dari suatu wilayah, maka kelompok lawan akan masuk menguasainya.
Sewaktu
kelompok pertama berkuasa, mereka minta agar pemimpin sipil dan rakyat patuh
kepada mereka. Demikian pula sebaliknya ketika kelompok bersenjata lain
berkuasa. Itulah yang terjadi ketika terjadi konflik bersenjata dahulu di
beberapa daerah di Sulawesi Tengah.
Dalam posisi
demikian, biasanya para pemimpin sipil di daerah konflik mengambil posisi aman,
yaitu politik “berkepala dua”. Artinya, pemimpin sipil akan tunduk kepada
kelompok bersenjata yang tengah berkuasa. Tidak bisa berpihak secara mutlak
kepada satu pihak, kecuali kalau kekuatan mereka benar-benar sudah dapat
menjamin keamanan secara efektif dan berkesinambungan.
Mungkin
dilema inilah yang dihadapi oleh para pemimpin sipil di Papua antara kekuatan KKB
dan TNI-POLRI yang berupaya melakukan pengejaran.
Namun,
kebijakan Gubernur dan Ketua DPRD Papua yang meminta TNI/POLRI mundur, adalah
suatu hal yang tak masuk akal. Sekalipun alasannya untuk ketenangan ibadah dan
perayaan Natal.
Mestinya
Gubernur dan Ketua DPRD memahami akan doktrin militer. Kata mundur, adalah satu
kata yang paling tidak disukai pihak militer disamping kata menyerah. Apalagi
dengan alasan untuk ketenangan perayaan Natal. Tekesan, seolah-olah TNI/Polri
lah yang selama ini membuat onar di Papua. Padahal, Polri yang didukung TNI
sedang melakukan upaya penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok bersenjata
yang belum lama ini memberondong 31 warga sipil yang tengah mengerjalan
jembatan jalan trans Papua.
Kalau saja Gubernur
dan Ketua DPRD meminta bantuan para tokoh informal yang netral seperti
rohaniwan dan kepala suku, misalnya mengupayakan kesepakatan antara kedua pihak
untuk mengadakan “gencatan senjata” sementara selama perayaan Natal dan Tahun
Baru, mungkin masih dapat diterima. Tidak ada yang kehilangan muka, dan
semuanya dapat mengikuti ibadah dan perayaan dengan damai.Kebijakan
yang demikian sering terjadi dalam masa perang, kesepakaan antar
pemimpin-pemimpin lokal yang sedang berperang, bahkan semasa Perang Dunia II.
Satu hal
lagi. Tindakan kelompok besenjata yang katanya sedang memperjuangkan kemerdekaan,
dengan menyerang dan membunuh 31 warga sipil tak bersenjata yang sedang
mengerjakan jalan merupakan tindakan bodoh. Apalagi kalau bermaksud untuk mendapatkan
simpati dan dukungan internasional.
Akibat
perbuatan itu, bukannya dukungan yang didapatkan tetapi celaan dan kutukan.
Karena mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang hanya dilakukan para
teroris.
Gubernur Lukas
Enembe selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah, mestinya berkonsutasi dahulu
dengan Kapola dan Pangdam sebagai penanggung jawab ketertiban dan keamanan setempat
sebelum mengeluarkan pernyataan yang
kontroversial itu. ***
No comments:
Post a Comment