Rupanya bukan hanya Napoleon
Bonaparte, Jenderal besar Perancis yang
adi daya pada jamannya di abad 18 takut dengan wartawan.
Katanya, “saya lebih takut kepada
10 ( sepuluh ) wartawan daripada 100
devisi tentara musuh”. Pada kesempatan lain dia, Kaisar yang pernah
mengharu-birukan Eropa bahkan sempat menduduki ibukota Rusia dan mengirim
Daendels yang kejam itu ke Indonesia berujar : “Saya lebih takut kepada 4
suratkabar daripada 1000 bayonet musuh”.
Mengapa, karena wartawan atau
suratkabar yang menjalankan fungsinya dengan benar, antara lain selalu mengungkapkan
kepada publik segala sesuatu yang tidak sesuai dengan konstitusi, hukum dan
norma-norma kepatutan secara rinci.
Dan sebagai seorang kaisar
otoriter, dapatlah dimaklumi Kalau Napoleon Bonaparte melakukan itu.
Pemberitaan pers dapat menurunkan moral dan semangat pasukan tempurnya.
Tetapi anehnya, ketakutan itu
rupanya masih tetap menjangkiti segelintir penguasa atau mantan penguasa “jaman
now” Sebutlah Jendral Purn. ER yang Ketua Umum PSSI yang menepis secara kurang
bersahabat seorang wartawan televisi yang ingin mewawancarainya sekitar
carut-marut di kepengurusan PSSI.
Mantan Panglima pasukan elit ini
mempertanyakan hak si wartawan mewancarainya. Dan daripada menimbulkan akibat
buruk, sang wartawan mengurungkan maksudnya.
Padahal rakyat Indonesia berhak
mendapatkan informasi mengenai kemelut di kepengurusan PSSI ini. Bukankah PSSI
membawa-bawa nama Indonesia ? Merah
Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya selalu dibawa-bawa dilaga sepakbola
antar negara ?
Lebih-lebih ketika Louis Mila
mantan pelatih PSSI yang digandrungi para anak-latihnya itu membuka di mata dunia aib management sepakbola Indonesia yang “sangat
buruk. Padahal para pemainnya bagus-bagus. Ini sangat memalukan. Dan mestinya Ketua PSSI harus
memberikan konfirmasi kepada rakyat Indonesia.
Dan sayangnya lagi, tak lama
kemudian seorang calon presiden yang juga mantan panglima pasukan elit
menunjukan antipatinya pada wartawan. Malah dia menganjurkan agar masyarakat
tidak perlu lagi meladeni wartawan. Karena wartawan dituduhnya tidak lagi menjalankan fungsi mereka sesuai
kode etik mereka. Padahal, dalam UU Np.40 Th.1999 tentang Pers sudah ada
cara-cara untuk menanggapi pelanggaran kode etik pers.
Tapi hati-hati. Wartawan dan perusahaan media massa itu mempunyai organisasi profesi. Ada PWI (Persatuan Watawan Indonesia ), ada AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) dan beberapa lagi. Perusahaan suratkabar ada SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Kalau mereka balas menginstruksikan semua anggotanya untuk memblokir semua kegiatan kampanye pihak yang menyakiti mereka, apa akibatnya. ***
Tapi hati-hati. Wartawan dan perusahaan media massa itu mempunyai organisasi profesi. Ada PWI (Persatuan Watawan Indonesia ), ada AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) dan beberapa lagi. Perusahaan suratkabar ada SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Kalau mereka balas menginstruksikan semua anggotanya untuk memblokir semua kegiatan kampanye pihak yang menyakiti mereka, apa akibatnya. ***
No comments:
Post a Comment