Ketika terjadi bencana tsunami dan
tanah tenggelam di Palu dan sekitarnya, saat itu masa kampanye Pilpres baru
dimulai.
Sekejap, perhatian semua massmedia
tertuju ke Sulawesi Tengah. Hampir-hampir tak ada ujaran mengenai pemilihan
legislatif atau Pilpres.
Tetapi ketika reportase bencana di
Sulteng mulai berkurang, mulailah terdengar istlah-istilah ‘jenderal kardus’,
‘kecebong’, ‘kampret’ ‘politikus sontoloyo’ dan seterusnya Sebelumnya ada
pernyataan bahwa Indonesia akan bubar 30 tahun lagi.
Semua istilah-istilah yang
diucapkan didepan publik itu menurut hemat saya tak lebih dari akal-akalan
untuk mendapatkan publikasi yang luas tanpa bayar alias gratis. Ya, mirip-miriplah dengan artis sinetron atau artis penyanyi yang sudah mulai turun pasaran. Dia buat gosip, mengucapkan sesuatu, atau aksi yang rada nyentrik sehingga media masa kembali memberitakannya.
Sebab sudah seperti hukum kebiasaan, bahwa
nyamuk-nyamuk pers tanpa diundang dan tanpa dibayar kemudian akan datang
sendiri mengerubungi si pengujar. Bak semut mengerubungi gula, paling sedikit
untuk konfirmasi lebih lanjut tentang ucapannya itu. Ditujukan kepada siapa,
maksudnya apa, apa sebabnya dan sebagainya.
Nah, di situlah si pengujar
mengambil kesempatan untuk banyak bicara mengenai gagasan-gagasannya, kelebihan
dan kebolehannya sehingga layak dipilih sebagai pemimpin atau anggota
legislatif yang layak mewakili rakyat di Parlemen. Terkadang juga menyerempet membicarakan
kekurangan pribadi saingannya.
Kalau yang meliput media televisi
lebih menguntungkan lagi. Karena dengan itu tampangnya dapat dikenali lebih
banyak calon pemilih. Makin sering tampil di layar televisi makin
menguntungkan. Asalkan tidak membuat blunder.***
No comments:
Post a Comment